– yang belum kamu tahu.
Binar mata Sera memancar terang kala ia melihat siluet sahabatnya sedang duduk di dalam kafe yang sudah redup itu. Sudah waktunya tutup namun Sera malah dengan leluasa dapat masuk ke dalamnya, karena memang tempat itu kepunyaan Karina Amarabel — sahabat dari Sera semenjak SMA. Suara dencing lonceng membersamai kala pintu depan itu dibuka, membuat Karina yang sedang sibuk akan sesuatu itu lantas menoleh secara spontan.
Sera merentangkan tangannya lebar-lebar kala melihat Karina menghampirinya, setengah berlari, jelas menampilkan antusiasme. Detik berikutnya, pelukan hangat dan erat pelepas rindu segera mendekap tubuh Sera dengan mantap. “I miss you so bad!” pekik Karina, tidak dapat membendung rasa bahagianya. Digoyangkannya dekapan itu sehingga Sera terhuyung ke kiri dan kanan mengikuti gerakan brutal Karina.
“Miss you to, hoe. Thanks banget loh udah ngeluangin waktu buat gue hari ini,” ucap Sera ketika pelukan mereka berakhir. Karina mencebik malas, “Harusnya gue yang bilang gitu gak sih soalnya kan yang super sibuk tuh lo, bukan gue.” Sera tertawa pelan sebagai balasan, “Kita berdua sekarang sibuk. Itu lebih pas sih kayaknya.”
“Right.. Gimana tadi trial nya? Your dad really rejected all of the evidences from Mama?” tanya Karina sembari menyodorkan satu latte hangat ke hadapan Sera. Gadis itu mengangguk sebagai jawaban, “Papa minta dihadirkan saksi kunci yang memang bersedia memberikan kesaksian kalau Papa memang selama ini istrinya dua..”
“Pihak anak-anaknya yang dari istri lain tuh sebenernya tahu gak sih kalau Papa mereka itu punya anak yang juga seumuran sama mereka?”
Sera menggeleng, “Belum ada yang ngasih tahu deh rasanya. Pun kalau mau ngasih tahu, it’s Bang Jovan or Kak Maraka’s job since they said to leave it to them.”
Mulut Karina membulat, mengeluarkan suara ‘ohh’ sebagai tanda mengerti. “Wait, kalau saksi kunci, siapa yang mungkin buat didatangkan? Anak-anaknya dia? Istrinya?”
“Kayaknya kalau anak-anak sama istrinya gak akan mau dateng juga sih. Soalnya mereka juga gak akan mau repot-repot dateng ke Indo.”
“Memangnya mereka dimana sekarang?” tanya Karina lagi, heran.
Sera tersenyum miring, “Anaheim.”
Mata Karina membulat sempurna, “Your favorite place?”
Gadis bernama lengkap Sera Vivianne itu hanya dapat tertawa miris dan menganggukkan kepalanya lemah, “Ironis memang. And you know what? They stay at the same home as what my family did back then.”
“Wow.. that’s crazy. I’m so sorry to hear that, sis.” Karin mengulurkan tangan dan mengusap punggung tangan Sera lembut. Sera hanya dapat mengangguk-angguk, sinar matanya yang meredup cukup menggambarkan bahwa ia masih selalu berduka atas takdir yang harus ia terima ini. “Well, I guess it’s time to talk about anything besides your parents divorce things.”
“Gimana kalau kita ngomongin kabar lo aja sekarang?” Sera melontarkan pertanyaan yang disambut dengan suara Karina tersedak cappuccino yang sedang diseruputnya. “Gue? Gue sih gak ada cerita yang ribet kayak lo. Things went really good lately. The job, the business, my daily routine — ”
“The love?” potong Sera cepat. Karina menelan ludahnya sendiri melihat pandangan jahil Sera dilayangkan ke arahnya, “Except that one.” Karina menyelesaikan kalimatnya yang tadi terpotong. Sera tertawa, “Lo masih sukanya sama Kak Maraka?”
“For god sake! Kakak lo tuh ngebingungin banget tau gak?? I can’t understand what’s going on his head everytime we got the chance to talk. Gue beneran gak tahu hati dia buat siapa sebenernya. Gue? Atau Kak Arin? Kalau pun doi bilang Kak Arin cuma temen kerjanya, temen kerja apa yang diajak beach date waktu day off? Temen kerja apa yang niat bikin birthday surprise sampe nanya kado apa yang biasanya cewek suka? Gue kasih detail soal birthday surprise yang sederhana tapi ngena — which is my dream surprise karena gue kira dia tuh lagi sok-sokan nanya gue buat ngelakuin itu pas gue ulang tahun. Taunya buat Kak Arin?? Mana ternyata tanggal ulang tahun gue sama Kak Arin sama persis.” Karina benar-benar mengatakan semuanya dengan merepet, dibarengi dengan emosi yang selama ini dipendam. Membuat Sera terlongong sejenak karena bingung harus merespons seperti apa.
“Udah?” Malah kata itu yang keluar dari mulut Sera, tentu saja disambut dengan pandangan sengit Karina yang sebal. “UDAH??? Sera be serious. Gue nih lagi beneran bingung. Terus lo cuma ngerespons dengan udah??”
Baru saja Karina akan melanjutkan omelannya ketika dencing pintu kafe terdengar, membuat Karina dan Sera sama-sama teralihkan atensinya. Siapa yang datang malam-malam begini dan jelas-jelas sudah ada tanda tutup?
“Sorry we’re closed for now — ” Karina tertegun kala mendapati siapa yang dengan percaya dirinya tetap meneruskan langkah masuk dan menghampiri meja mereka. “Lo ngapain kesini?!” pekik Karina. Haza cuma melempar senyumnya, “Loh? Bukannya tadi kamu bilang aku boleh dateng jemput kamu?”
“Kapan gue bilang??” balas Karina ngotot. Haza tidak mengindahkan lagi ucapan gadis itu.
Sera mengulum senyumnya melihat scene di hadapannya yang terlihat cukup dramatis. Karina masih membeku dengan ekspresi terkejutnya sementara yang membuat terkejut sudah terlebih dahulu mengulurkan tangan di depan wajah Sera.
“Hello, Ms. Vivianne. Glad to see you in person now. Gue Haza.” ucap Haza memperkenalkan diri. Sera sedikit mendongak untuk dapat melihat wajah Haza dengan jelas karena tinggi Haza yang dibilang menjulang ditambah Sera berada dalam posisi duduk. Sera tersenyum lembar lantas menyambut uluran tangan Haza dan menggoncangkannya singkat, “Glad to see you too, Haza. I’ve heard about you a lot.”
“Dari Sena?” tanya Haza.
Sera memiringkan kepalanya heran, “Lo kenal Sena?”
Haza tertawa ringan, “Jelas kenal banget soalnya gue tuh orang yang dia telfon pas mabuk berat gara-gara ditinggal orang yang dia sayang katanya. Turns out, gue ngedengerin dia nangisin nama lo semaleman. Malam yang sama waktu gue nemuin Karin mau loncat dari rooftop bar.”
Baik Sera maupun Karina melebarkan matanya, benar-benar terkejut akan fakta itu. “Wait what? Kak Sena mabuk berat?” Suara kaget Sera sungguh kentara.
“Ini gue boleh duduk dulu gak sih?” sela Haza karena obrolan ini nampaknya akan menjadi panjang. “Eh iya-iya, duduk sini.” Sera menepuk kursi kosong di sebelahnya namun Haza sudah terburu duduk di sisi Karina. Sera cuma bisa kembali mengulum senyumnya melihat pemandangan lucu di hadapannya. Karina yang salah tingkah dan Haza yang terlihat santai dan cukup slengean itu.
“So where should we start ya?” gumam Haza sendiri seraya terlihat mengingat-ingat apa yang terjadi malam itu. Karina mendengus karena tahu kebiasaan Haza menjeda kalimatnya hanya ditujukan untuk meningkatkan rasa penasaran dan antusiasme lawan bicaranya, “Buruan ah! Kebiasaan banget lama ngomongnya.” omel Karina yang malah disambut dengan senyum lebar Haza.
“That’s it. That’s what I want to get.” ucap Haza dengan nada senang kemudian mengusak puncak kepala Karina. Senyuman lebar bertengger secara otomatis di bibir pemuda itu.
Karina membulatkan matanya, pipinya merona dengan cepat, salah tingkah. Sera cuma bisa menggelengkan kepalanya sendiri. Menyadari sahabatnya juga sama tidak pekanya akan diri sendiri. Jelas sekali, Karina lebih jatuh untuk Haza dibandingkan Maraka. Tindak tanduknya sama sekali tidak bisa berbohong.
“Gue bassist band pengiringnya Sena setiap kali dia tour. We match each other’s interest jadinya bisa ngobrol banyak hal tapi gak dengan hal-hal pribadi. Sampai akhirnya malam itu, Sena mendadak nelfon gue tengah malem, suaranya bener-bener udah ngelantur nadanya, naik-turun. Udah fix banget sih itu mabuk. Mabuk berat soalnya omongannya beneran gak jelas sama sekali.”
“Tapi Kak Sena gak suka mabuk.” ucap Sera. Haza menjentikkan jarinya, “That’s my point. Makanya waktu gue denger dia kayak gitu plus dia minta gue temenin dia, gue gak mikir dua kali lagi buat pergi. Waktu gue dateng dia beneran udah wasted banget. Mana cuma sendirian.”
Sera menelan ludahnya sendiri. Karina terlihat memikirkan sesuatu, “Kalau memang kejadiannya malem itu, bukannya dia menyudahi semuanya sendiri dan nyuruh lo pergi ya ketika dia yang nahan lo duluan tadinya pas lo mau pergi gak sih, Ra?” tanya Karin ke arah Sera yang duduk di hadapannya. Sera mengangguk sebagai jawaban.
Garis vertikal tergambar di dahi Haza, kedua alisnya hampir menyatu karena sedang bingung dengan kalimat Karina. “Maksudnya?” tanya pemuda itu menuntut penjelasan lebih lanjut.
“Waktu Sera dulu sadar sama perasaannya sendiri, dia tuh udah mau pergi duluan gitu loh. Ditambah memang dia juga udah mulai ada job modelling nya, jadi dibanding gabisa nahan perasaan sendiri, Sera mau milih buat pergi. Tapi ditahan sama Sena yang liciknya waktu itu bilang Sera gabisa ninggalin Sena gitu aja karena Sena yang bikin Sera bisa mulai karir modellingnya. Kalau ninggalin Sena gitu aja sama aja kayak gak ada rasa terimakasihnya. At the end, malah Sena yang pergi gitu aja setelah cium Sera di konsernya The 1975 di Bali.”
Haza terlongong, “So the rumor is true?”
Mata Karina menyipit, “Rumor apa?”
“Kalau Sena sama Sera awalnya mulai dari selingkuh?”
Karina menggigit bibirnya. Kalau mengingat status Sena yang masih menjadi tunangan Kayla saat itu, tidak salah jika disebut sebagai perselingkuhan. Tapi di balik hal yang ‘terlihat’, ada hal lain yang melandasi itu yaitu Sena tahu perilakunya salah dan akan mengakhiri semuanya.
“If you want to put it that way, gak salah juga.” ucap Sera akhirnya, buka suara kala melihat Karina ragu-ragu harus berkata apa. Haza mengangguk-angguk, “Kayaknya Sena waktu itu mabuk berat juga karena sadar kalau ternyata semua tindakannya sia-sia. Dia udah pergi dari lo, udah mati-matian berusaha ninggalin perasaannya buat lo tapi ternyata malah Kayla yang selingkuh selama ini. Hari itu juga kan muncul berita kalau Kayla selingkuh?”
Sera mengangguk lantas melirik ke arah Karina yang jelas sekali sedang melewati flashback kurang menyenangkan. “Kayaknya hari itu berarti muram banget ya buat lo semua kecuali buat gue.”
“Good for you lah.” Karina menimpali. “Kamu gak mau nanya kenapa hari itu gak muram bagi aku? Padahal aku seharian beneran kena banyak masalah loh?”
“Ih? Kebiasaan banget mau ditanya? Kalau mau cerita ya cerita aja.” balas Karina galak. Haza terkekeh pelan, “Hari itu cukup buruk sih buatku soalnya mendadak dibilang posisi aku as a bassist mau digantiin sama orang lain. Tanpa sebab. Tahunya karena orang yang mau gantiin tuh keponakannya yang ngurus band pengiring ini. Bete banget lah aku. Belum ditambah kabar adek nabrakin mobil kesayangan aku di sekitaran komplek karena lagi belajar nyetir. Kucingku masuk vet. Satu-satunya hal yang bisa bikin merasa all of those hassle was nothing ya waktu aku ketemu kamu, Rin.”
Sera hampir saja menyemburkan latte yang baru masuk ke mulutnya. Harus ia akui Haza benar-benar tipe orang yang super flirty namun tetap saja terdengar sungguh-sungguh, bukan hanya bualan buaya belaka. Wajah Karina merah padam.
“Thank you udah selamatin gue malem itu, Za.”
“No biggy. Sayangnya harusnya malem itu aku juga sadar kalau hati kamu udah punya orang lain jadinya aku gak perlu jatuh buat kamu.” Haza berbicara dengan serius, tatap matanya lekat pada Karina yang dengan spontan membuang muka. Tidak membiarkan Haza melihat rona pipinya dengan jelas.
“Waduuuuh, gue denger-denger lo temennya Dam ya?”
Sera to the rescue.
Arah pandang Haza teralih, “Dam? Matt maksud lo?”
Sera mengangguk, “Matteo Damian. Kata Karina kalian temenan dari lama?” Haza menyeringai menyadari arah perbincangan mereka. “Lo mau nanya Matt beneran suka sama lo dari lama atau enggak?”
Kini, giliran Karina yang hampir menyemburkan air mineral dalam mulutnya karena terkejut mendengar pernyataan Haza. Ucapan pemuda satu ini memang tidak bisa diterka. Sera dengan tenang mengendikkan bahunya, “Bukan itu sih. But if you want to convince me, go ahead.”
Jemari Haza mengetuk beberapa saat di atas meja, terlihat bimbang. “You’re still engaged with Sena right?” tanya Haza, ketidakyakinan terpampang jelas dalam raut wajahnya. “In the middle of reconsidering my own choice, Mr. Rianza.”
“Sena won’t look away from you, Ra.”
Kening Sera mengerut dengan pernyataan yang keluar dari mulut Haza. Bukan seperti apa yang ia perkirakan. Bukannya mau ngomongin Dam ya tadi?
“Gue mungkin gak selama itu temenan sama Sena, tapi gue paham banget sama wataknya. Kalau dia gak akan melanggar prinsip yang dia tetapkan sendiri. He’s a loyal man. He wants himself to be that way. And he did. Gue tahu gimana keadaan Sena waktu pacaran sama Kayla. Gue juga udah dari lama tahu kalau Kayla tuh tukang selingkuh karena dia pernah tidur bareng temen gue. Gue pernah ngasih tahu soal ini ke dia. But guess what? He said that he will always be loyal to his choice. And he chose Kayla. Loyal dalam pikiran Sena mungkin nyerempet ke arah bodoh juga sih. Karena dia tahu dia berhak buat bisa dapet lebih dari itu, but he chose to stay.”
Haza menjeda ucapannya, menelisik kilat mata Sera yang putus asa dalam keingintahuan. “Sampai akhirnya dia ketemu sama lo. Gue akuin, his mood changes way better than I’ve ever expected. Selama dia bareng sama Kayla, hidup dia rasanya cuma being a hopeless romantic for Kayla dan gak ada lagi goals lain dalam hidupnya.”
“Dia juga kayaknya baru sadar kalau dia loyal buat orang yang salah waktu Kayla akhirnya hamil yang bukan anaknya kan? Kalau gak ketahuan itu bukan anaknya dia, I guess he will stay being loyal to her. Loyal nyerempet bego memang itu anak satu. Jadi gue rasa, harusnya Sena gak akan selingkuh dan ninggalin lo kayak gitu aja, Ra. He will stay the same. Even if, one day, he realizes that he doesn’t love you anymore, he will remind himself that he chose to love you and he should stay loyal to his choice.”
“Kalau lo mau mempertimbangkan Matt as a replacement for Sena. Just don’t. Matt kalau gak bisa sama lo sekarang pun gak akan terlalu bikin dia hancur karena dia baru mau mulai. Tapi, kalau Sena? Think about it again, Ra. Dan satu lagi yang harus lo tahu — ”
“Apa?” sahut Sera.
“Sena gak pernah nangisin Kayla sampai kayak gitu seberat apapun masalahnya sama Kayla. Waktu dia tahu dia diselingkuhin aja, dia biasa aja. Keliatan sedih sedikit, tapi sama sekali gak ada efek yang bener-bener memengaruhi dia. Sementara buat lo? Dia beneran nangisin lo seolah-olah gak akan ada hari esok yang cukup baik buat dia hidup. Gue sebagai teman dari dua-duanya cuma mau nyampein ini ke lo, objectively speaking.” Haza akhirnya mengakhiri pernyataannya.
Atmosfer diantara ketiga muda mudi ini memberat. Cukup membuat sesak. Sera menghela nafas panjang.
“Tapi kalau memang Kak Sena kayak gitu, bisa aja dia udah gak bahagia sama gue but he chose to stay and remained silent about his own feelings, right? Bayangin kalau terus gue tahu dia selama ini gak bahagia sama gue?? Apa gue gak ancur, Za?” Emosi mulai menggulung di dalam diri Sera, naik hingga tergambar jelas dalam getar suaranya.
“Ask him. You have to ask him. Sena memang orangnya kayak gitu. He just can’t pour his heart out easily. Harusnya lo paham akan itu karena udah tunangan hampir mau dua tahun kayak gini.”
Sera terdiam total mendengar nasihat Haza. Pernyataan terakhir ini benar-benar menjadi bukti nyata bahwa Haza memang mengenal pribadi Sena dengan baik. Hanya sedikit orang yang dapat menyimpulkan Sena kesulitan mengungkapkan perasaannya kepada siapapun.
“Kalau lo kasihan sama Matt karena dia udah bisa stay loyal about his own feelings ke lo selama hampir 19 tahun ini, just don’t. Gue tahu Matt masih bertahan karena dia merasa belum pernah punya kesempatan untuk dapat jawabannya sendiri. Some kind of unfinished business. Don’t worry about him and stay true to your own heart, Ra.” Lagi-lagi, senyap menjadi pengisi yang dengan senang hati hadir begitu kalimat selesai.
Hingga akhirnya terdengar bunyi perut keroncongan dari arah Karina. Gadis itu membelalak terkejut. Haza tertawa pelan, “Laper? Yuk gultik. Wah, ngobrol ngalur ngidul gini mendadak jam setengah satu pagi. Kalian berdua memangnya gak ada schedule besok?”
“Eh ralat deh, hari ini maksudnya.” sambung Haza lagi sebelum Karina dan Sera sempat menjawab. Akhirnya, kedua gadis itu cuma menggeleng.
“Yaudah. Ayo ke gultik aja. Eh, kita ke gultik yang kamu bilang enak itu lagi aja kali ya, Rin? Gak terlalu rame tapi rasanya lebih enak dibanding yang terkenal.”
Karina cuma bisa meringis dan kembali mengangguk karena sebenarnya masih malu. “Let’s go girls, gue yang bakalan nganterin kalian balik juga nanti.”
p.s. kalau kalian lihat Haza ngomong gue-lo dan aku-kamu ganti-gantian kayak gitu, sebenarnya bukan karena aku yang nulisnya gak konsisten tapi memang secara otomatis Haza pasti switch ngomong pakai aku-kamu kalau lawan bicaranya tuh Karina. Iya, dia cuma begitu ke Karina.