– yakin, leon?
“I’m home,” Suara nyaring merdu khas kepunyaan Stefany Liu menggema memenuhi seluruh sudut rumah kecil itu tanpa terkecuali. Tezar atau Leon Liu yang sedang bersantai di sofa ruang tengah hanya menggerakkan sedikit lehernya untuk melongok ke arah Stefany dari balik sandaran sofa, “You’re late.”
“Iya, banyak yang harus dikerjain sekalian tadi dinner sama supervisor aku.”
“Cie, your crush itu?”
“Bukan! Beda lagi kalau itu. This one is super annoying supervisor tapi hari ini lagi baik.”
“Is he single?” tanya Tezar santai.
“Yes.”
“Is he in the same age as you?” tanyanya lagi.
“Nope. 5 years older.” Lagi-lagi, Stefany menjawab pertanyaan adiknya dengan sigap.
“Nice gap,” tanggap Tezar datar namun diksinya cukup menggelitik Stefany untuk tidak melemparkan bantal sofa ke arah adiknya, “Stop jadi nyebelin kayak gitu, bisa gak?”
Tezar mengendikkan bahunya santai seraya memasukkan satu keping chips yang sedang dicemilnya sedari tadi. Netranya terpaku pada layar televisi di hadapan. “Blazer aku udah diambil belum?”
“Belum selesai katanya.”
Mata Stefany membulat, “BELUM SELESAI?? SERIOUSLY?”
“Ngapain aku bohong sih, Ci? Nih tiket keretanya.” Tezar menunjukkan bukti pembelian tiket keretanya dari Worcester ke Boston tadi siang menjelang sore. Stefany mengacak rambutnya frustasi, “Gimana dong? Besok ada pitching ke client.”
“Memangnya gak ada blazer lainnya apa?”
“Adaaa, but I save this one for this special meeting because my supervisor said that my client is a lil bit sensitive towards everyone’s outfit.”
“Duh.. ribet amat sih.” keluh Tezar. Stefany lantas menghampiri adiknya dan menjitak keningnya itu, “DUH CICI APAAN SIH!”
“Kamu udah tanya belum selesainya jam berapa?”
“Besok, 30 menit setelah buka katanya.”
Helaan nafas lega terdengar dari Stefany, “KENAPA GAK BILAAANG, aku udah jantungan banget begini. Besok bawain ke tempat meeting aku ya tolong, Le.”
“Memangnya meet jam berapa dan dimana? Besok aku kebagian shift sore ke malem soalnya, Ci.” Tezar akhirnya mengalihkan pandangannya dari tontonan kemudian menatap Cicinya dengan serius. “Besok sih meet nya around 10 a.m. Tailor nya buka jam berapa ya aku lupa??”
“8 a.m. Blazer Cici berarti selesai around 8.30 a.m. Harusnya masih bisa dipake sih, Ci.”
“Thank God. Yaudah, besok aku minta tolong lagi ya. Berangkat jam 7 berarti dari sini. Kamu mau bareng aku? I need to reach Boston at 7 sih, jadinya aku berangkat jam 6.”
Tezar memutar matanya malas, “Gamau ah, nanti aku bengong sejam disana tuh ngapain.”
“Lebih enak loh kalau naik mobil sendiri dibanding kereta.”
“Gamauuu, aku gamau bengong bingung disana terus hilang tujuan.”
Stefany jadi ingat akan sesuatu, “Terus tadi kamu begitu tahu blazer aku belum jadi, kemana? Langsung pulang?”
Tezar menelan ludahnya mendapatkan pertanyaan tak terduga itu. Mata Stefany menyipit cepat, menyelidik, “What’s with that reaction, Leon Liu.”
“Nothing! Memangnya mukaku kenapa?” bantah Tezar cepat lantas memalingkan wajahnya. Senyum Stefany terlukis tipis melihat salah tingkah adiknya. Walaupun raut wajah Tezar tetap datar, ia tahu, mengalihkan pandang selalu menjadi tanda Tezar sedang salah tingkah.
“Denger-denger IEO lagi diselenggarain di Boston sih.” pancing Stefany. Tezar mulai bergerak-gerak gelisah. Gadis yang paling tahu bagaimana membaca gerak gerik seseorang dapat langsung mengerti apa yang dilakukan adiknya itu.
“I ate mille crepes at Flour and got my caffeine intakes there.”
Alis Stefany nyaris menyatu karena keheranan, “Since when you like sweets like that?” tanyanya sangsi. Tezar mengerang, “Memangnya gak boleh?!”
Stefany tertawa pelan, “Kamu nyamperin cewek itu ya. Yang mantan kamu itu? Siapa namanya? Natasha?”
Tezar menoleh terkejut. Matanya membelalak sempurna, “Gaaak! Siapa yang mau ketemu sama mantan??”
Tawa Stefany semakin kencang. Adiknya yang jarang sekali berekspresi itu sekalinya terlihat emosinya benar-benar lucu. “Udahlah, Leon. Aku kan memang tahu banyak soal itu. Apalagi katanya dulu dia musuh bebuyutan kamu soal rank di sekolah ya? Jelas aku tahu lah.”
“Siapa yang musuhan? Orang aku ngerjain apapun kayak biasa kok. Orang-orang aja yang berlebihan.”
Stefany mengendikkan bahunya, “Iya deh. Beneran gamau berangkat bareng aku besok nih jadinya? Siapa tahu mau nyamper Natasha lagi. Toh, kamu putus sama Natasha karena tahu those ill fates between our family right? Bukan karena udah gak cocok atau apapun itu?”
“Duh ah! Gak usaaah dibahas boleh gak?” rengek Tezar, memohon. Benar-benar seperti bayi besar. “Iyaaa, iyaaa. Maaf deh. Udah sana tidur. Aku tahu kamu pasti nungguin aku pulang.”
“Geer. Orang aku mau bangun aja sih.” bantah Tezar cepat dengan nada gengsi. Stefany cuma bisa tersenyum melihat kelakuan adiknya yang sama sekali tidak berubah itu – penuh dengan gengsi.
“Yaudah, good night. Aku mau langsung tidur habis mandi.” ucap Stefany lantas berlalu ke dalam kamarnya. “Yakin nih gak mau berangkat bareng aku terus nyamper Natasha lagi?” Kepala Stefany menyembul dari balik pintu, kembali bertanya kepada Tezar. Pemuda itu menggeram sebal, “GAAAKKK CIII.”
“Oh.. yaudah. Your loss.” gumam Stefany sendiri lantas menutup pintu kamarnya. Suara pintu berdebam membuat Tezar kembali larut dalam pikirannya.
Apa iya besok nyamperin Nata lagi?