– why don’t we try it first?

aurevoiruna
8 min readJul 11, 2023

--

Satria Adiwijaya — Nata’s bestfriend (or a one sided lover?) for almost 3 years

Sudah sekitar 10 menit Nata dan Satria berjalan menyusuri tepi pantai yang ada di depan bagian hotel tempat para kontingen subject ekonomi bermalam. Di OSN, para kontingen mendapatkan tempat bermalam yang berbeda untuk setiap subjectnya dikarenakan memang jumlah peserta yang banyak tidak akan mungkin ditampung dalam satu hotel yang sama. Hal ini membuat Satria mau tak mau harus berjalan 3 kilometer menuju hotel tempat Nata tinggal karena memang mereka berdua berbeda subject.

Nata akhirnya memilih untuk duduk di atas pasir yang lembut seraya memicing memandang jauh ke arah laut yang seolah tak ada batasnya itu. Gelap, hanya kegelapan tak berujung yang bisa Nata lihat. Satria pun ikut mendudukkan diri di samping Nata. “Apa yang ganggu pikiran lo, Nat? Jujur, selama gue kenal sama lo, lo bahkan gapernah segelisah ini walaupun Mami marah besar sampe-sampe waktu itu lo nyaris diusir dari rumah.”

Is it that bad?” Nata meringis, menoleh ke arah Satria. Pemuda itu mengangguk yakin, “I believe anyone that might know you for a long time would notice it quickly.”

Nata menghela nafasnya panjang seraya kembali melempar pandangannya nun jauh ke tepi lautan tak berujung. “Hari ini peringatan kematiannya Kak Louis, Sat.”

“Iya, I remember about it. Lo udah kirim bunga buat ke tempat persemayaman? Tadi pagi sih gue minta tolong sekretaris Mama buat kirim bunga juga kesana atas nama lo, in case you forgot about it.”

Sudut bibir Nata tertarik sedikit mendengar ucapan Satria barusan, “As expected, Satria Adiwijaya and his full-prepared self even if it’s not always about him.” puji Nata, sejujurnya sedang sedikit trenyuh. “When it comes about you, guess it’s always about me too, Nat.” ucap Satria dengan nada suaranya yang setenang air menggenang.

Lagi, Nata menghela napasnya berat. Dia kini mengerti jika memang manusia satu spesies seperti Kenzo – a hard simp – does really exists in this world. Nata baru saja menertawai Kenzo tadi siang karena perilaku jatuh cintanya yang penuh pengorbanan itu untuk Winter. Namun nyatanya, Nata juga punya sosok yang sama, yang rela mengorbankan apapun untuk dirinya. Nata hanya selalu menjadi denial selama ini. Karena ia takut kehilangan lagi.

Nata paham betul bahwa konsep hidup di dunia adalah menyambut dan mengikhlaskan orang-orang yang datang di saat yang memang tepat dan dibutuhkan. Jika mereka pergi, berarti memang tugas mereka dalam hidupmu sudah selesai. Nata paham betul akan itu, but yet, she’s still suffering from a painful goodbye. Harus berpamitan paksa dengan Kak Louis tanpa peringatan, begitu pula berpisah dengan Elios Zhao – Papanya – dalam jarak yang berentet, sungguh membuat palung trauma menganga dalam hati gadis kecil itu dulu. Itu juga alasan yang membuat Nata tidak mau mengubah apapun yang ada di antara dirinya dan Satria. Cukup, semua yang ia dapatkan dari Satria sungguh cukup dalam status saat ini. Ia tidak mau kehilangan sahabatnya nanti jika memang mereka perlu berpisah jalan karena perasaan yang sudah tidak sama.

Kini, lagi-lagi Nata tetap harus merasakan kehilangan atas Tezar, satu hal yang sebenarnya bisa ia cegah untuk tidak terjadi dulu. Dengan memilih tidak pernah memulainya. Nata hanya bisa mengasihani dirinya sendiri yang bodoh juga gegabah. Oleh karena itu, sungguh, ia tidak mau kehilangan Satria pula dengan mengiyakan ajakan pemuda itu soal menaikkan tingkat hubungan mereka, menjadi lebih dari sekadar sahabat.

You know how hard it is to stay sane during a painful farewell right? I’m in that condition right now.” Suara Nata memecah keheningan yang tadi sempat menyelimuti beberapa menit. Satria memang sengaja memberikan gadis itu ruang agar dapat mengekspresikan diri. Satria cukup duduk di samping Nata seraya memerhatikan gadis itu lamat-lamat, terlihat begitu cantik di bawah sinar rembulan yang membuat malam ini cukup terang untuk sekadar melihat Nata tanpa penerangan apapun.

Do you just need to be heard or do you want me to comfort you?” Satria selalu menawarkan pilihan. Apapun itu keadaan dalam hidup Nata, mau sebuntu apapun keadaan gadis itu, Satria selalu datang dengan membawa pilihan yang mempermudah segalanya.

Please listen to me first then comfort me later, after I finish it all.

Satria mengangguk, “Go ahead.”

Guess you already knew who is it, about the farewell.” Nata menoleh ke arah Satria, melakukan kontak mata. Yang ditatap sedikit gelagapan.

“Uh-huh.. It’s quite obvious. But I chose to stay silent because you seem don’t like it when we talked about it.” Satria berhasil membalas dengan mengesampingkan detak jantungnya yang menggila akibat tatapan dari mata jernih Nata.

I’ve never thought that I have to go under this kind of situation again. Losing someone is never been an easy thing. I’m stupid enough to know that fact and still proceeded to take him into one different chapter in my life.” Kepala Nata terkulai lemas, merasakan matanya juga ikut memanas. Walaupun Satria merupakan sahabat terdekatnya, pemuda itu sama sekali belum pernah melihat Nata menangis selama mereka saling mengenal.

Satria selalu mengenal Nata sebagai pribadi yang tahan banting dan tidak terlalu melibatkan emosi dalam setiap tingkah lakunya. Ia tidak pernah melihat gadis itu dalam kondisi paling rapuhnya. Oleh karena itu, Nata memilih menundukkan kepalanya, tidak ingin Satria melihat dirinya sebentar lagi menangis.

You love him that much, Nat?” Suara Satria tercekat. Rasanya ia perlu menelan bola duri untuk mengeluarkan pertanyaan itu. Nata mengangguk tanpa suara. Air matanya meleleh tanpa dapat ditahan. Rahang Satria mengeras melihat respon sahabatnya itu. Ia sudah tahu persis apa jawaban Nata, namun tetap saja, benteng pertahanannya untuk tidak merasa hancur, luluh lantak juga.

Kepingan hati Satria kini sama berserakannya seperti kepunyaan Nata. “Why he had to come if all what he wanted from the start is to leave me?” Suara parau Nata kentara menunjukkan jika air mata yang keluar semakin mengalir deras.

Satria mengulurkan tangannya ke atas kepala Nata, namun ia meragu untuk menaruhnya atau tidak. Niat itu diurungkan, membiarkan Nata untuk menumpahkan seluruh emosi yang dirasakan dulu. Mengingat Nata tadi sudah bilang dia hanya perlu didengar dan ditenangkan jika memang sudah selesai.

I hate to see people are start walking away from my life, Sat. That’s why I keep you as my bestfriend. I can’t lose you too. Gue mau narik omongan gue yang ngebingungin lo waktu kita kemarin berangkat dari Jakarta. About why don’t we try it first.”

Satria tersentak kala mendengar Nata mulai membicarakan soal mereka. Bukan lagi hal yang sedang terlalu dirisaukan Nata. Atau dirinya juga termasuk ke dalam hal yang dirisaukan?

Why don’t we try it out first, Nat?” Batin Satria terasa tergelitik untuk menyampaikan hal ini.

Nata akhirnya mendongak, membiarkan manik mata Satria dapat mengamati dengan jelas seberapa merah dan bengkaknya matanya sekarang. “I can’t lose you, Sat. I just can’t.” ulang Nata lagi. “But what if I promise to never leave you even if the worst possibility is happened?” Satria masih bertahan pada posisinya, untuk bisa lebih dari ini.

People tends to break their promises, Sat. We all know it well.”

But I won’t!”

“Siapa yang bisa jamin?” tegas Nata. Satria mengusak rambutnya frustasi, “Memangnya kalau masih di posisi ini, lo yakin gue gak akan walk away juga?”

Sorot mata Nata menegang. Satria menyeringai tipis, mencemooh Nata. Cukup menggambarkan betapa porak porandanya emosi pemuda itu karena Nata. “Memangnya lo bisa menjamin gue gak akan walk away from you in order to protect myself from a bigger harm?” ulang Satria, menegaskan apa yang memang perlu disampaikannya, seharusnya sudah sejak lama.

“Sat..” lirih Nata. Tangan gadis itu berusaha menjangkau tangan Satria, seperti mau menahan. Satria menghindar cepat, membuat Nata benar-benar terhenyak. Nata menatap tangannya sendiri dengan nanar.

Maybe staying still in this situation might ease your feelings, but not mine, Nat. I will always going through sleepless night just to think that I won’t ever be enough to take care of you as a man. As a man who has love abundantly for his only person. Have you ever feel that miserable for something that you know you won’t ever get control of it? I feel it everyday, Nat.”

Air mata Nata kembali menggenang melihat ratusan bahkan ribuan kilat emosi yang tergambar pada manik mata Satria saling tumpang tindih, berebut untuk diterjemahkan namun pemuda itu, Nata tahu, tidak mampu. Hanya mampu diterjemahkan lewat suara bergetar yang sarat menahan sakit.

Nata sudah akan membuka mulut ketika Satria mendahuluinya lagi, “Don’t be sorry to me, Nat. It makes me way more miserable than ever. Stop saying sorry to me. You’ve done it a thousand times. I’ve got enough.”

Bibir Nata otomatis terkatup rapat karena memang hal itu yang ingin Nata sampaikan tadi. “What can I do to make you feel better, Sat?”

Just don’t stop me from walking away if one day I decided to do so. Maybe I haven’t reach my limit now, but I will definitely fed up with this situation later.”

Jujur saja, hati Nata mulai berdenyut sakit mendengar suara Satria yang semakin terasa hopeless itu. Apa gue memang sejahat itu ya selama ini sama Satria? Apa gue bener-bener seacuh itu soal perasaan dia?

So.. as for now.. does leveling up our friendship into lover will enlarge the possibility that you will stay longer beside me, Sat?” Nata merutuki dirinya sendiri karena pertanyaan ini benar-benar terdengar bodoh. Satria yang sedari tadi terlihat dikuasai oleh emosi, mendadak kembali tertarik atensinya ke arah Nata lagi.

I don’t know. Lo sendiri juga yang bilang, suatu janji gak akan bisa menjamin apapun. But as for now, I guess yes.

I won’t ever give up on someone that I love. That’s the thing I know about myself most.” lanjut Satria. Ia gentar juga kala melihat Nata tercenung, terlihat menimbang-nimbang.

You sure about it?”

Satria mengangguk yakin. Nata menggigit bibirnya gugup. Bingung. Apa iya menerima Satria akan menjadi keputusan tepat baginya untuk menyembuhkan diri sendiri? — setidaknya itulah isi pikiran Nata yang terus berputar sekarang.

Are you sure — ”

If you’re not sure about me, don’t force yourself to believe it, Nat. But you also can’t impose your own will to make me stay.” Satria memotong nada meragu Nata yang terus terdengar.

It’s not that I’m not sure about you, Sat. I’m not sure about myself. I’m afraid I will hurt you more.

“Gaada yang bisa tahu Nat lo bakalan nyakitin seseorang atau gak kalau memang gapernah menjalani apapun sama sekali. Semuanya berhenti di angan-angan sendiri.”

Nata tertohok. Benar. Satria ada benarnya.

Satria akhirnya memilih untuk bangkit dari duduknya, merasa dadanya sebentar lagi meledak karena situasi menyesakkan ini. Terombang-ambing di tengah ketidakpastian kala ia sendiri sudah susah payah membuat perahu yang pasti.

It’s getting late. You better go to your room now and take a rest. It’s also getting windy. You can catch a cold.” Satria mengulurkan tangannya untuk membantu Nata berdiri. Nata menatap Satria dengan ratusan perasaan berkecamuk dalam batinnya. Melihat Satria masih menawarkan bantuan — walaupun hanya hal sekecil ini — setelah mereka melakukan pembicaraan yang sulit, serta senyum yang masih terkembang di bibir merah muda itu, Nata sungguh tidak habis pikir. Bagaimana bisa selama ini dia menyia-nyiakan hal yang begitu berharga seperti ini?

Let’s try it out, Sat.”

Satria mengerjapkan matanya, terlalu terkejut hingga kehilangan kemampuan merespons. “But please be patient to me.. It’s hard for me to start all over again about something that wound me a lot.” jelas Nata lagi karena melihat Satria terdiam saja.

Gadis itu akhirnya berdiri dengan menyambut uluran tangan Satria yang sejak tadi masih dalam posisi sama. Nata mengulas senyumnya, ia menangkup wajah Satria yang masih terkejut total. “I promise I’ll try my best. Please stay, ya?”

Hangat tangan Nata sedikit demi sedikit membawa Satria kembali dari keterkejutannya. Detik berikutnya, Nata menemukan dirinya sudah dibawa ke dalam dekapan sahabatnya itu — that maybe can turn into the greatest lover that she ever had later. Maybe.

“Ayo gue anter ke lobi.” Satria melepas dekapannya lantas merangkul gadis mungil yang selalu pas dalam jangkauannya itu. Nata tersenyum merasakan kehangatan kembali menyambangi. Setidaknya.. untuk saat ini, di tengah dingin yang menghantui relung hatinya, kehangatan dari Satria datang untuk menyelamatkannya.

Semoga.

--

--

aurevoiruna
aurevoiruna

Written by aurevoiruna

kindly check my writings at twitter @aurevoiruna

No responses yet