– warn.
Sera sedang tercenung menunggu pesanan sate taichannya di daerah Senayan yang penuh hiruk pikuk orang-orang. Semakin malam malah semakin ramai, cocok menenggelamkan pikiran dan batin Sera akan kata ‘kesepian’. Rasa kosong di dada semakin terpatri jelas kala Sera mengamati satu per satu senyum tersungging di bibir orang-orang yang berlalu lalang. Jarang sekali ada yang datang sendiri ke tempat ini, semuanya beramai-ramai. Entah bersama teman kerja sepulang kantor, teman satu geng, kekasih, selingkuhan, apapun itu.
Warung sate taichan pinggir jalan ini menjadi salah satu tempat favoritnya bersama Sena dulu ketika mereka masih sama-sama berada di Jakarta. Lebih tepatnya, Sena sudah lama menjadi langganan kemudian mengajak Sera menjadi pelanggan tetap juga. Kalau kata abang penjualnya sih, Sera itu perempuan pertama yang dibawa Sena setelah sekian lama pemuda itu cuma makan ditemani Meng – kucing liar yang suka menyambangi Sena ketika makan.
Sera menghembuskan nafasnya pelan dan menutup matanya erat. Mau sekukuh apapun tekadnya untuk tidak memikirkan Sena, ternyata tetap saja ketika waktunya lowong, semua memori bersama pemuda itu terputar sendiri layaknya roll film di dalam kepalanya. Tanpa sadar, langkah kakinya pun membawa ke tujuan yang lekat memorinya dengan Sena. Seperti halnya warung tenda sate taichan ini.
Tangan Sera mencengkram rambutnya sendiri erat-erat, frustasi. Apa memberikan Sena kesempatan kedua adalah pilihan yang baik jika menimbang nasihat Haza kemarin? Atau pendiriannya akan tidak pernah kembali untuk orang yang sama akan menjadi hal yang paling tepat? Entahlah, Sera rasanya ingin kabur saja sekarang.
Gadis itu benar-benar benci harus memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan perasaannya. Ia lebih memilih merasa stress karena banyaknya keputusan yang harus ia ambil dalam melakukan pekerjaan dibandingkan untuk sesuatu yang personal, sebenarnya untuk dirinya sendiri juga.
“Kak, ini ya.”
Suara piring diletakkan di atas meja serta uap sate yang baru saja dibakar membuat Sera lantas membuka matanya dan melempar senyum kepada Sang Penjual, “Thank you ya Mas.”
“Kok sendiri aja, Kak? Biasanya sama Mas Sena kan?” Sera mengerjapkan matanya terkejut mendengar Sang Penjual ternyata masih mengingatnya dengan baik walau sudah setengah tahun ia tidak berkunjung. “Iya nih, Mas. Lagi pengen tapi Kak Sena lagi gak di Jakarta.”
“Oh gitu.. Kemarin-kemarin Mas Sena sempat balik ke Jakarta ya berarti setelah di Paris lama?”
Alis Sera naik sebelah, “Kemarin-kemarin tuh kapan Mas?”
“Dua bulan lalu deh kalau gak salah Kak. Dia kesini sama Mas Aldi.”
Jangan heran jika mas-mas penjual sate taichan ini bisa kenal dan hafal dengan semua orang yang dibawa Sena. Sena dan mas-masnya memang sudah berteman erat ditambah mas-masnya juga merasa loyalitas Sena tidak main-main. Aset pelanggan tetap yang harus dijaga. Oleh karena itu, servicenya juga harus extra dengan cara mengingat setiap kehadiran Sena beserta teman yang datang bersamanya.
“Mas Aldi yang produsernya Kak Sena itu ya?” tanya Sera balik. Mas penjualnya meringis, “Waduh kalau itu saya gak hafal, Kak. Mungkin boleh tanya Mas Sena nya langsung.” Sera mentertawakan dirinya sendiri. Iya juga kenapa gue jadi kayak interogasi masnya gini.
“Oke deh, Mas. Makasih yaa,”
“Sama-sama Kak Sera. Saya permisi dulu ya mau nganter pesenan lagi ke yang lain.”
“Eh-eh iya sorry, silahkan Mas.”
Beberapa detik kemudian, Sera langsung khidmat memakan sate di hadapannya. Gadis itu beberapa kali membelalakkan matanya karena baru menyadari kenikmatan duniawi sate memang tidak ada tandingannya. Ternyata ia rindu sekali makanan seenak ini. Semua makanan di London rasanya terlalu hambar bagi Sera. Atau mungkin kalau bagi semua orang Indonesia yang tinggal di luar negeri, pendapatnya akan kurang lebih sama. Makanannya kurang micin.
“Eh? Mbak Sera?”
Suara itu membuat Sera sontak mengalihkan fokusnya ke arah suara. Sorot mata gadis itu menegang kala melihat sosok yang menyapanya berlari kecil menghampiri. Tanpa sadar, tangannya terkepal kencang. Sera memaksakan seulas senyumnya.
“Loh, Alika? Kok kamu di Jakarta? Paris gimana?”
“Aku boleh duduk disini gak, Mbak?” tanya Alika namun belum dijawab pun, gadis itu sudah duduk di kursi plastik yang ada di hadapan Sera. Sera cuma bisa memutar matanya malas.
Begitu pandang mereka sudah bertemu kembali, Alika baru sadar ada pertanyaan yang harus dijawab. “Ah, aku udah resign dari Bitna, Mbak.”
Kening Sera mengerut, “Bukannya kamu masih dateng ke show aku kemarin itu ya? As a representative of Bitna?”
“Itu aku dateng kesana karena mau ketemu sama CMO barunya Bitna aja sih Mbak. Nothing more.”
“Terus kamu di Jakarta sekarang ngapain?”
“Oh, preparing my own album. Kak Sena helps me to do this. We usually spent our friday night together to discuss about my music. Kayaknya Sena sih kangen ya buat bikin musik lagi. He’s passionately give me feedbacks.”
Sera mengeraskan rahangnya mendengar penjelasan Alika yang terang-terangan menceritakan keadaannya dengan Sena. Oh, she got the nerves, batin Sera sendiri. Garis itu menelan ludahnya sendiri untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Ada satu hal yang ingin sekali ia tanyakan, namun gadis itu takut sendiri untuk mendengar jawabannya. Kakinya mengetuk ke atas tanah dengan tidak beraturan.
Alika cukup jeli dalam menelaah ekspresi Sera, “Is there anything that you want to ask me, Mbak?”
Kaki Sera berhenti mengetuk karena terkejut. Gadis itu lantas memaksakan seulas senyumnya, agar ia terlihat kuat. “I do,” jawab Sera segera. Ia lantas mencondongkan badannya lebih maju.
“You love him, Alika?”
Mata Alika membulat sempurna karena tidak pernah menyangka Sera akan berani menanyakan langsung hal itu depan mukanya. “Pardon, Mbak?”
“Do you love Kak Sena, Alika Shamara?” Sera memberikan penekanan ke dalam setiap kata di kalimat tanyanya. Jemari Alika menguncup menjadi kepalan tangan yang cukup erat. “Answer me right away.”
Alika tidak pernah menyangka pribadi Sera yang sangat lembut di depan banyak orang bisa menjadi super mencekam seperti saat ini. “Just be honest with me, Alika. And I will help you out.”
“Yes, I do. I do love him abundantly, Mbak.”
“Then, you’re wrong.” balas Sera cepat. Alika memandang Sera dengan tidak mengerti, “Wrong?”
“You know that Sena is engaged with me and yet you still stay close to him, give your heart for him just to know that you will get hurt?”
“Or maybe he gave you some false assurements that he will be by your side more in the future after he cuts tie with me?” lanjut Sera karena melihat emosi Alika mulai naik di balik kilat matanya itu. Jelas sekali, Alika mati-matian menahan dirinya sendiri.
“My feelings are not wrong, Mbak.”
Sera mengangguk sebagai tanggapan atas pernyataan Alika, “I didn’t say that your feelings are wrong, Alika. Your thoughts and your acts about this that are wrong. I didn’t invalidate your feelings because I know it well, that you love him.”
“If you know it well, why do you bother to ask then?” balas Alika, tangannya semakin mengepal erat menahan emosi yang bergemuruh. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Because I want to let you know that your thoughts about getting Kak Sena by your side isn’t true. I won’t cut my ties with him. I won’t let him go.”
Mata Alika mendelik, “Sena doesn’t love you anymore, Mbak. Wake up.”
Sera mencebik, “Seyakin apa kamu sampai berani bilang seperti itu?”
“Kalau misalnya dia masih sayang sama Mbak Sera, he won’t bother my affection. Dia secara sadar bakalan nolak aku yang jelas-jelas kelihatan ngasih hati buat dia.”
“He’s dumber than you think, Alika. Dia gak bisa menyimpulkan perasaannya sendiri dengan baik, makanya dia ngirim mixed signals ke kamu.”
Gadis yang duduk di hadapan Sera ini, terlihat tertohok. “So think twice about it. Think for your own sake. Aku pergi dulu.” Sera merogoh tasnya beberapa saat, menemukan dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan.
“Nih, pake buat bayar nanti. Disini gak terima pembayaran selain cash, in case you don’t know about it. Aku nitip sekalian punyaku ya. Kembaliannya kasih ke mas-masnya aja. See you and good luck for your album release later ya, Alika.”
Sera berlalu begitu saja, membuat mata Alika semakin memanas karena emosinya semakin membludak. Dia benar-benar merasa rendah karena seluruh tindak tanduk Sera yang pasif-agresif tadi.
“Ah fuck, gue benci banget sama orang yang kayak gini.” Alika mencengkram rambutnya sendiri dengan frustasi lantas menunduk karena ingin menyembunyikan air matanya yang mulai mengalir. Pertahanannya runtuh juga.