— unveil.

aurevoiruna
11 min readNov 16, 2024

--

“Loh ada Sena?” Suara keheranan sekaligus senang itu muncul dari arah Gendhis — ibu dari Alika. Alika tersenyum miris, “Iya, Mi. Dia katanya mau ketemu Mami lagi setelah sekian lama.”

Gendhis tersenyum penuh suka cita. “Memang calon menantu satu ini bener-bener tiada tandingannya ya. Kamu keren, Nak, bisa dapetin hatinya dia.” Tepukan pelan di kepala Alika bak belati yang dipaksa ditancap untuk membelah dirinya menjadi keping-keping kecil. Gendhis masih belum mengetahui kenyataan bahwa ia dan Sena adalah saudara satu ayah. Mungkin saking banyaknya Gendhis berhubungan dengan laki-laki, gadis itu sendiri tidak yakin siapa ayah dari Alika. Tapi, sedari kecil, Alika hanya sering bertemu dengan Ghandara Hayat — ayah dari Sera — yang juga selalu Alika anggap sebagai ayah kandungnya, tanpa mengetahui bahwa sebenarnya dirinyalah yang menjadi anak dari hubungan haram itu.

“Aku ada urusan sebentar ke label. Mami turun dulu terus sama Sena dulu ya? Gapapa kan, Mi?”

Senyum sumringah Gendhis membuat Alika semakin tersenyum pahit. “Gapapa dong, Mami malah seneng banget bisa dianter kemana-mana sama Sena. Yaudah sana, diurus dulu soal kerjaan kamu.”

Alika mengangguk. Gadis itu menurunkan kaca mobilnya, melambaikan tangan ke arah Sena yang sedang bersandar di mobil pemuda itu sendiri. Sena bergegas mendekat dan menyapa mereka berdua, “Halo, Mami. Halo, Lik. Alika udah bilang ke Mami soal aku yang bakalan temenin Mami dulu buat jalan-jalan?”

“Udah dong, Nak. Yaudah yuk.” Gendhis segera turun dari mobil Alika. Pemuda itu lantas memberikan gestur oke kepada Alika agar gadis itu bisa pergi. Cengkraman Alika pada kemudinya mengerat, setidaknya, ini harga yang harus ia bayar karena perilakunya kemarin. This is the least that she can do.

Persidangan berlangsung dengan alot. Seluruh bukti yang diberikan Ajeng — Mama dari Sera — untuk memperjelas alasannya ingin bercerai dengan Ghandara Hayat — Papa dari Sera — selalu dapat dibantah oleh laki-laki itu dengan nada angkuh sekaligus meyakinkan itu. Kepala Ajeng benar-benar sudah terkulai lemas. Pengacaranya pun terlihat sudah kehabisan kata-kata. Kenapa sesulit ini untuk pergi dari hubungan yang sangat tidak sehat ini?

Jawabannya tentu karena masalah aset Ghandara Hayat yang akan hilang dalam sekejap akibat perjanjian pra nikah yang sudah dibuat di awal. Bahwa laki-laki tersebut akan kehilangan seluruh asetnya apabila terbukti berselingkuh dan tidak bisa menjaga keharmonisan rumah tangga yang ia bangun bersama Ajeng.

“Bagaimana bisa foto-foto ini menjadi barang bukti yang kuat? Bagaimana jika wanita itu hanya rekan kerja saya yang memang berhubungan di banyak bidang pekerjaan saya? Bukankah jika begitu saya bisa bilang bahwa Ajeng juga melakukan hal yang sama?”

Ajeng mendongakkan kepalanya lantas memandang laki-laki di sebelah kanannya itu dengan tidak percaya sekaligus jijik. Bagaimana bisa Ghandara menjadi selicik ini?

“Apakah Anda bisa menghadirkan saksi untuk hal ini? Orang yang bisa memvalidasi hal ini atau dokumen lain?”

Pengacara Ajeng berdiri dengan tenang. Dirinya berjalan ke hadapan hakim dengan langkah yang mantap. Senyum tipis terulas di bibirnya. “Apakah bukti ini masih kurang cukup bagi Anda, Tuan Ghandara?”

Foto pemberkatan Ghandara dan Gendhis 30 tahun lalu terkuak di layar. Mendatangkan tarikan nafas tertahan dari seluruh hadirin di ruang sidang. Ghandara memandang ke arah Ajeng dengan nyalang.

Tatapan matanya jelas menggambarkan ‘bagaimana-kamu-bisa-mendapatkan-foto-itu-?’

“Foto semacam ini tidak dapat dijadikan bukti terlebih ini foto ini termasuk privasi saya. Bagaimana bisa Anda menguak hal yang bersifat privasi seperti ini di depan umum? Apakah Anda sudah dapat izin? Karena saya tidak pernah ingat memberikan foto ini ataupun memberikan izin kepada Anda untuk menggunakannya di depan umum.” cerocos Ghandara dengan nada marahnya, membabi buta.

“Ibu Ajeng sudah mendapatkan izin dari salah satu pemilik foto ini. Jika memang Anda tidak merasa, berarti.. hanya tersisa satu orang lagi bukan yang bisa memberikan izin?”

Mata Ghandara membelalak begitu lebar hingga rasanya bola mata pria itu bisa keluar. Genggaman tangannya begitu erat hingga buku tangannya memutih. “Apakah saya bisa memanggil saksi tambahan, Yang Mulia?”

“Saya persilahkan.” ucap hakim pemimpin sidang. Pintu ruang sidang lantas terbuka pelan, menampilkan sosok Gendhis yang masuk dengan mata memerah.

Iya, Gendhis dibawa kesini oleh Sena sehabis pemuda itu ‘menculiknya’ dari Alika. Selama perjalanan, Sena dengan alot berdebat dengan Gendhis dan akhirnya membuat kesepakatan.

Sena mengancam Gendhis terkait penggelapan dana Bitna sekitar 10 tahun lalu, sebelum Yumna – ibu dari Sena – akhirnya bercerai dengan Adi Bentala. Salah satu alasan Yumna untuk bercerai dengan Adi Bentala selain karena memang Adi Bentala berselingkuh dengan Gendhis adalah karena penggelapan uang yang juga dilakukan keduanya. Sesaat setelah bercerai, Yumna tadinya ingin memasukkan perkara penggelapan uang ini ke pengadilan. Namun, lagi-lagi, sifat Yumna yang terlalu baik dan juga karena rasa sayangnya pada Adi Bentala sesungguhnya masih ada, Yumna memilih untuk tidak melakukan apapun.

Atas ancaman ini, akhirnya Gendhis memilih tawaran yang diberikan Sena. Yaitu untuk menjadi saksi kunci dalam persidangan Ajeng – ibu dari Sera – terkait hubungan sahnya secara agama dengan Ghandara. Gendhis sama sekali tidak menyangkal ketika Sena menodongnya dengan pernyataan bahwa Ghandara adalah suaminya sejak 27 tahun lalu. Rasa cinta Gendhis memang sebesar itu sejak lama, namun ia terpaksa ‘mengalah’ karena perjodohan antara Ghandara dan Ajeng.

“Silahkan duduk.”

Gendhis duduk di kursi pemeriksaan. Ia memandang takut-takut ke arah Ghandara yang jelas sekali sudah terbakar api emosi. Pria itu terlihat seperti akan lepas kendali. Gendhis sungguh takut sebenarnya, namun ancaman Sena lebih menakutkan baginya. Ia tidak ingin mendekam di penjara.

“Penasehat hukum bisa menyampaikan pertanyaan secara langsung. Saya persilakan.”

“Yang Mulia, pertanyaan yang ingin saya lontarkan sebenarnya sederhana saja. Apakah betul Nyonya Gendhis telah menikah secara agama saja dengan Tuan Ghandara dan hingga detik ini belum mengakhiri hubungan?” Pengacara Ajeng berjalan mendekat ke arah Gendhis, dengan senyum tipis yang mengguratkan kemenangan.

“Baik, Nyonya Gendhis, Anda dapat langsung menjawab.”

“Betul. Saya dan Ghandara masih dalam ikatan pernikahan sah secara agama.”

Tarikan nafas tertahan terdengar dari arah bangku hadirin sidang. Ajeng hanya bisa tersenyum pahit. Walaupun sejak lama ia telah mengetahui hal ini, tetap saja, jika ada yang bisa mendengar suara hatinya sekarang, suara retakan di dalam sana begitu nyaring.

“Hanya sah secara agama? Boleh disebutkan kapan Anda melakukan pemberkatan?”

“15 Oktober 1994.”

Maraka yang juga ikut duduk di bagian hadirin sidang, membelalakkan matanya. Pemuda itu sungguh terkejut bukan main. Apabila Karina di sampingnya tidak terus mencengkram erat pergelangan tangan pemuda itu, mungkin Maraka sudah meringsak ke depan dan menonjok ayahnya sendiri. Bagaimana bisa Ghandara melakukan pernikahan dengan orang lain ketika istrinya sendiri sedang berulang tahun? Gila. Semuanya tidak masuk di akal.

Ajeng sebenarnya juga terkejut bukan main mengetahui kapan tepatnya pemberkatan itu dilakukan. Ini juga kali pertamanya untuk mengetahui fakta tersebut. Ah.. jadi ini yang bikin Ghandi dulu gak bisa ngerayain ulang tahun aku yang pertama kali semenjak menikah..

“Berarti pemberkatan dilakukan setelah Anda menikah dan menandatangani perjanjian pra nikahnya ya, Tuan Ghandara. Baik Yang Mulia. Itu saja pertanyaan saya. Terima kasih.”

Pengacara Ajeng dengan santai kembali duduk di samping kliennya. Ghandara mukanya merah padam. Amarah yang membludak kepada Gendhis dan Ajeng rasanya tidak bisa dibendung lagi. Terutama kepada Gendhis. Laki-laki itu merasa dikhianati oleh selingkuhannya itu. Padahal tinggal satu bulan lagi menunggu hingga akhirnya ia bisa mendapatkan aset besar keluarga Ajeng. Semua perjuangannya rasanya sia-sia. Perjuangannya untuk pura pura mencintai Ajeng selama ini.

Pemimpin sidang akhirnya mengetuk palu dan memutuskan bahwa Ajeng dan Ghandara resmi berpisah disertai dengan pembagian harta sesuai dengan perjanjian pra nikah yang telah ditandatangani. Dimana Ghandara tidak mendapatkan sepeser pun harta dari Ajeng karena ia terbukti telah berselingkuh. Ajeng kini bersyukur ia menuruti perkataan Ayahnya dulu untuk membuat perjanjian pranikah ini. Jika tidak, semuanya akan begitu kacau.

Begitu seluruh orang keluar dari ruang sidang, Ajeng dengan lunglai langsung memeluk Maraka dan Sera erat-erat seraya menangis tersedu. Beliau merasa sedih, namun rasa bahagianya juga lebih besar karena pada akhirnya, ia bisa lepas dari sesuatu yang tidak ditakdirkan untuknya. Walaupun pasti akan berat menghilangkan rutinitas yang selalu dijalankan bersama Ghandara, Ajeng lebih lega karena ia tahu, ia tidak perlu memaksa seseorang lagi untuk pura-pura mencintai dirinya.

Langkah kaki Ghandara berderap melintasi lorong panjang pengadilan agama itu. Gendhis di belakangnya tergopoh mengikuti langkah Ghandara.

“Ghandi! Ghandi! Babyyyy!” teriak wanita itu seraya masih terus mengejar untuk mengikis jarak. Ghandara nampaknya acuh dengan kehadiran Gendhis. Kepala laki-laki itu rasanya mau meledak.

Namun, mata Ghandara otomatis membulat begitu mendapati sesosok gadis yang ia juga sayangi di depannya. Tidak lain adalah darah dagingnya juga — Alika Shamara. Langkah Ghandara terhenti total. Apalagi tatapan nanar Alika begitu menusuknya.

So, this is the reason that you’ve always absent these days in our dinner? In our special days? Because in fact, we’re not the main thing in your life ya, Pa? We’re the side chicks.”

“Alika! Watch your words!” seru Gendhis. Alika tidak peduli. Bibirnya tersenyum miring, miris.

Ghandara langsung menghampiri Alika dengan air mata. Tangannya dengan gemetar berusaha memegang erat tangan gadis itu. “No.. no.. I’m sorry.. But you’re still the one that I love the most all these times, Alika. You’re a child from a woman that I will always longing for. I love you more than I love Sera.”

Alika rasanya seperti tercekik. Udara di sekitarnya mendadak terasa begitu menyesakkan. “Do you love me just because I’m part of your blood?” Pertanyaan yang paling Alika takutkan akhirnya ia lemparkan juga. Ghandara memandang Alika dengan tidak mengerti.

I will always love you as my child no matter what.”

Are you sure, Pa? Papa bukan sayang sama aku karena Papa merasa aku anak kandung Papa saja kan?”

“Kamu ngomong apa sih, Alika! Kenapa tiba-tiba begini? I’m sorry that I’ve hid all of these truths. Tapi tetep, Papa selalu sayang sama kamu, Alika.”

Alika melepaskan cengkraman tangan Ghandara dari pergelangannya. “Let’s see if you still love me after you read this, Pa.”

Ghandara menyambut amplop yang diserahkan Alika. Gendhis yang kini sudah berdiri di samping Ghandara juga ikut penasaran. Kejutan apa lagi?

Ghandara dan Gendhis membelalak spontan begitu mereka sampai pada akhir isi dari surat tersebut. Gendhis seperti ingin kabur dari sisi Ghandara namun laki-laki itu dengan cepat mencengkram lengan Gendhis. Matanya nyalang menatap Gendhis dengan penuh amarah yang semakin membludak.

What the fuck is this, Gendhis? Tell me.”

Gendhis menundukkan kepalanya dalam-dalam. Seluruh tubuhnya bergetar karena ketakutan sekaligus terkejut. Ia sudah pernah memiliki feeling terkait hal ini. Namun, ia selalu membantah perasaan tersebut karena baginya, fakta lain terasa lebih dekat di sekitarnya.

“GENDHIS!” bentak Ghandara. Cengkramannya pada lengan Gendhis semakin mengerat, membuat perempuan itu mengerang kesakitan, “Ghandi, please, let me go first.”

No. Tell me about this bullshit first. How are you going to explain that Alika isn’t my biological daughter??? How are you going to explain that Alika’s father is Bayu Bentala?” Tangan Ghandara menghentak tubuh Gendhis, seolah berusaha menyadarkan perempuan itu dari rasa panik yang menguasai.

Sera yang sedari tadi menguping huru hara ayahnya dan Alika dari kejauhan, membeku total di tempatnya. Hatinya sudah remuk kala Ghandara mengatakan bahwa ayahnya itu lebih menyayangi Alika dibandingkan dirinya — anak dari Ghandara yang selalu mati-matian mencapai seluruh prestasi hanya demi dilirik dan mendapatkan atensi dari Sang Ayah. Namun, rasa sedihnya tidak bertahan lama karena tergantikan oleh perasaan takut. Seumur hidup, Sera tidak pernah melihat ayahnya mengamuk sebesar ini. Ghandara di mata Sera selalu menjadi sosok paling sabar dan pengertian walau begitu acuh dengan sekitar.

Namun, perasaan lega sekaligus ‘menang’ langsung menjadi obat penawar juga. Wajah penuh rasa terkejut di air muka Ghandara seolah menjadi bayaran yang cukup bagi Sera. Ia puas melihat ayahnya juga remuk karena laki-laki itu tidak menyangka jika orang yang ia sayangi ternyata juga mengkhianatinya.

Karma.

Hanya satu kata itu yang bisa menggambarkan keadaan yang diterima Ghandara sekarang. Juga keadaan yang diterima oleh Gendhis setelah sekian lama Ajeng juga tersakiti.

Are you cheating on me? Answer me, Gendhis.” geram Ghandara. Gendhis bergetar ketakutan. Tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya Ghandara bisa semenakutkan ini jika sedang marah.

Seperti apa yang diketahui Sera juga, Gendhis juga mengenal Ghandara yang nyaris tidak pernah memarahi orang-orang kesayangan di sekitarnya. Gendhis menatap lekat manik mata Ghandara dengan ribuan kilat emosi yang semrawut, tumpang tindih satu sama lain. Namun, dua emosi yang paling dominan – kecewa dan juga marah.

Is it even fair that you called me a cheater like that, Ghandi? While you – yourself – still being so fond towards your ‘official’ family? Dulu katanya kamu akan cari cara gimana pun biar bisa pisah sama Ajeng, tapi nyatanya apa? 27 years just passed like that.

You know what are my reasons, Dhis! Yang bener aja kamu masih bahas itu sekarang?

But at the end you also lose everything that you’ve been chasing for, right?” Suara Gendhis benar-benar bergetar menahan tangis. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Ia kini merasa perasaannya kepada Ghandara seperti sampah – tidak akan pernah bermakna apapun bagi laki-laki itu.

I don’t lose everything. I still have you and Alika.” Nada suara Ghandara melembut, menyadari bahwa dirinya sudah terlewat batas. Gendhis tersenyum miring – merasa miris. Dengan paksa, ia menyingkirkan tangan Ghandara yang ada pada lengannya.

Who said that? Who said that I'll stay?”

Bagaikan tersambar petir di siang bolong, Ghandara rasanya remuk menjadi ribuan keping. Pandangannya mulai berkabut. Laki-laki yang tidak pernah menangis itu – nyaris pecah tangisnya.

“Jangan bilang kamu selama ini bertahan hanya karena aku bisa kasih materi apapun yang kamu mau?”

What if I say yes?”

Ghandara terduduk lemas di atas marmer lorong yang dingin. Matanya masih menatap Gendhis dengan tidak percaya. “You never love me, Dhis?”

I loved you. Aku sayang sama kamu sampai akhirnya aku lihat Jovan lahir. Aku sadar aku gak akan pernah rela lihat kamu bahagia yang bukan karena aku. Kamu sadar gak kalau sebenarnya kamu selama ini benar-benar jatuh cinta sama Ajeng? Sedangkan aku cuma pemuas kamu. You’ve never treated me as someone that you love. You just came to me as someone that can fulfill your biological needs.”

Gendhis menarik nafas sebentar. Akhirnya, seluruh beban di dalam dadanya sedikit demi sedikit dapat dikeluarkan. “That’s the point where Bayu saved me, Dhi.”

I knew it wasn’t right. But.. anger just controlled me. Kalau kamu bisa bahagia dari orang lain, kenapa aku enggak? Bayu was there to make sure I’m happy. I was being my truest self with him. Guess it’s where Alika then come to me.”

Alika benar-benar sudah kehilangan kata-katanya sekaligus merasa malu. Bagaimana bisa hubungan dua orang dewasa di hadapannya ini begitu berantakan? Air mata Alika mengalir tanpa bisa ditahan. Ia begitu bingung harus bagaimana. Kini rasanya, lebih baik untuk membenci keduanya.

Di waktu yang tepat, Sena datang menyelamatkan adiknya itu. Tangan hangat Sena pada pundak gadis itu menyadarkan Alika dari pikirannya sendiri yang begitu kusut. Alika menoleh, terlihat begitu lelah. Sena menepuk kepala Alika pelan, “Udah yuk. Let the adults solve their own problems by themself. Kamu ikut makan bareng sama aku dan Sera. Kamu udah pucet banget ini kayaknya kurang makan.” Sena mencoba berkelakar sedikit. Tentunya dengan lelucon garingnya itu. Namun, senyum Alika tetap mengembang.

Bagaimana pun, Sena memang selalu bisa menghadirkan rasa aman dan nyaman bagi Alika. Kini Alika mengerti kenapa pemuda itu seolah begitu familiar baginya saat mereka pertama kali bertemu. Karena memang, mereka satu darah.

“Yuk, Lik.” Sena sudah berada di depan Alika beberapa langkah. Alika tersenyum tipis, “Iya, Kak. Tapi kamu yang traktir kan?”

“Tenang, kakak kamu satu ini selalu bisa diandalkan kok.” Sena mengusak puncak kepala Alika.

Semakin jauh, suara riuh Ghandara dan Gendhis semakin mereda. Suara riuh dalam kepala Alika pun sedikit banyak ikut mereda. Gadis itu menghela nafasnya lega. Ia menatap Sena di sebelahnya dengan tatapan kagum. Jika bukan karena Sena, mungkin Alika tidak akan pernah bisa melangkah ke dalam lembaran baru. Jika bukan karena Sena, mungkin Alika akan terus berada dalam kepura-puraan.

Thank you ya Sen.. Ah.. Abang sounds more right. I really love to have him as my big brother, batin Alika.

--

--

aurevoiruna
aurevoiruna

Written by aurevoiruna

kindly check my writings at twitter @aurevoiruna

No responses yet