– turning point.

aurevoiruna
8 min readJul 25, 2023

--

“Mau turun di lobby atau di basement aja Mas Theo? Dua-duanya ada akses buat yang nerima invitation kok.” Serena, manager baru Matteo, melongok ke arah jok belakang. Matteo dan Sera yang sedari tadi hanya saling berdiam diri karena Matteo tahu, gadis itu sedang terlalu banyak hal yang dipikirkan — hingga akhirnya dia memutuskan untuk memberikan ruang bagi Sera.

Basement aja, Na.” sambar Sera cepat, terbuyar dari lamunannya.

Lobby aja, Na.” sela Matteo berbarengan. Sera menatap Matteo dengan mata terbuka lebar, “Dam, come on. Spekulasi bakalan ada dimana-mana.”

“Tapi wajar dong gue sama lo dateng barengan? Toh, kita kan juga satu label. Ditambah ada Serena juga yang jadi manager kita hari ini. It isn’t just the two of us.” bantah pemuda itu, bersikeras. Sera menggeleng kuat, “Aku lewat basement aja, Na. Nanti kamu baru anterin Matteo ke lobby ya.”

Collaborator kok malah lewat basement sih, Ra? Yang bener aja? I’m sure the press already waited for you to show up at the lobby.”

“Nanti kan juga ada press conferencenya, Dam. No need to show up now lah. Udah, Na, buruan jalan. Itu mobil di belakang udah nungguin kita gerak daritadi.” Sera menepuk bahu Serena, meminta gadis itu melajukan mobil mereka menuju basement lebih dahulu baru ke lobby.

“Mbak, kok ini akses ke basement nya masih ditutup?”

Sera menoleh terkejut. Loh iya.. kok ditutup sih?

Senyum kemenangan Matteo terbit, “Udah gue bilang lewat lobby aja. Ayo, Na. Langsung lobby. We can’t waste Sera’s time any longer. She has so much to prepare.”

“Atau gue turun disini aja — ”

“Ra. Udah. Diem. Is it a crime kalau lo turun dari mobil yang sama barengan sama gue? Gak kan? Stop overthink about everything. Na, jalan.” Sera terkesiap mendengar suara Matteo yang sungguh menjadi galak. Tak pernah sebelumnya gadis itu mendengar Matteo marah.

Serena akhirnya menurut dan dengan segera melajukan mobilnya. Begitu sampai di lobby venue. Benar saja, sudah banyak sekali jurnalis yang bersiap. Cahaya blitz dengan segera membanjiri setiap kali pintu mobil terbuka. Tak terkecuali ketika mobil Matteo dan Sera akhirnya berada tepat di depan red carpet yang telah digelar di lobby. Tangan Sera mengepal cemas. Ia paham betul bagaimana perilaku para jurnalis terutama untuk media gossip bertindak. Mereka hanya ingin sedikit fakta yang bisa mendorong spekulasi panas.

Dan Sera yakin kemunculannya dari dalam mobil yang sama dengan Matteo, akan menjadi pemantik api yang lebih besar lagi dibandingkan dengan gossip sebelumnya. Sera tersentak kala pintu mobil mendadak dibukakan oleh Serena. Matteo yang tadinya duduk di samping Sera pun sudah hilang dan kini berdiri tepat di samping pintu Sera. Mengulurkan tangannya, menawarkan bantuan agar Sera nanti dapat berjalan dengan lebih stabil walau memakai gaun yang cukup berat.

Suara nafas tertahan dan juga suara riuh rendah para jurnalis dengan segera menyergap indra pendengaran Sera, membuat gadis itu sedikit membeku di tempat. “Let’s go, Ra. If they see you flustered like this, rumornya malah makin jelek.” bisik Matteo. Sera dengan sigap menerima uluran tangan Matteo dan keluar dari mobil. Then she waves also show her smile professionally. Matteo mendampingi Sera di sisi gadis itu, merasakan cengkraman pada genggamannya mengerat. Jelas menggambarkan ketakutan dan juga kecemasan Sera sekarang.

It’s gonna be okay.” Matteo lagi-lagi, mendekatkan wajahnya pada Sera, berbisik tepat di samping telinga gadis itu.

Jarak sejauh 15 meter dari red carpet hingga akhirnya Sera dan Matteo bisa memasuki venue inti rasanya menjadi ribuan meter bagi Sera karena tatapan para jurnalis yang ‘lapar’ akan gossip mereka. Begitu masuk ke dalam venue inti, Sera terhuyung lemas. Membuat Matteo dengan sigap memegang pundak Sera erat-erat, menopangnya agar tidak limbung.

You okay?”

Titik-titik keringat dingin di dahi Sera jelas menunjukkan ia tidak baik-baik saja. “I-I’m okay,” jawab Sera terbata. Matteo menghela nafasnya berat, “This won’t do. Gue panggilin tim yang ngurus lo ya.”

Matteo sudah akan beranjak namun Sera dengan cepat menangkap pergelangan tangan pemuda tersebut, menahannya. “Don’t make a fuss, Dam. I’m okay. Lo mendingan cepetan ke daerah invitation aja deh biar langsung bisa sapa-sapaan sama temen-temen lain also networking.”

“Gimana ceritanya gue bisa ninggalin lo kalau lo nya begini??” protes Matteo, tidak terima. Sera melempar pandangan tajamnya, “Do as what I’ve said, Dam. You’re not professional if you still waste your time here for me.”

Matteo mematung karena melihat seberapa seriusnya Sera kepadanya. Tatapan itu sama sekali tidak main-main. “Go.” perintah Sera lagi, menekankan katanya.

Runway show fall/winter Burberry tahun ini sungguh berjalan dengan meriah. Para super model, pengamat fashion terkemuka, aktor, aktris, dan masih banyak bintang lainnya membuat show malam ini bak langit bertabur bintang. Launching produk kolaborasi Sera pun dilakukan di akhir runway show. Antusiasme yang didapatkan benar-benar di luar dugaan Sera. Semuanya benar-benar sempurna, Sera tidak pernah merasa lebih bersyukur dari ini. Namun tetap, ia merasa seperti ada yang kosong.

Ketika berada di atas stage runway tadi untuk memberikan perkenalan dan penjelasan produk, mata Sera dengan jeli menelisik setiap sudut ruangan yang mungkin dapat dijangkau. Mencari satu sosok yang begitu ia rindukan dan sangat ia harapkan datang dalam momen paling penting dalam hidupnya. Satu milestone besar yang dapat dirayakan bersama. Namun, nihil. Sera tidak dapat melihat keberadaan Senapati Bagaskara di antara hamparan kerumunan di hadapannya.

He doesn’t come again?

Hati Sera berdenyut sakit kala pertanyaan itu menonjok alam bawah sadarnya. Ah… I’m not important again in his life ya?

Sera mati-matian mempertahankan ulasan senyum di bibirnya. Berusaha untuk tetap profesional walau hatinya sungguh berantakan. Sera bahkan merasa ia sudah tidak tahu harus mengeluarkan macam emosi seperti apa lagi.

Begitu runway show selesai, para guests diperbolehkan untuk langsung meninggalkan venue atau tetap berada di dalam venue hingga beberapa jam sebelum clearing area mulai dilakukan. Kebanyakan guest akan memilih untuk menetap beberapa saat lagi untuk sekadar menebar sapaan yang tertunda ataupun memberikan perkenalan kepada orang-orang baru yang ingin mereka kenal. Networking.

Matteo menghampiri ruangan tempat dimana Sera berada. Sudah sepi, hanya menyisakan Sera yang masih sibuk dengan beberapa lembar kertas di tangannya. “Mau pulang kapan?”

Suara itu mengejutkan Sera yang sedang terfokus. Binar mata yang tadinya antusias, langsung meredup kala ia melihat siapa yang datang menyambanginya.

“Kirain Sena ya?” Matteo dengan cermat menangkap gestur kecil itu. Sera tersenyum miring, “Well… Wajar kan kalau gue nungguin tunangan gue sendiri?”

“Wajar lah. He’s here kok. Tadi gue sekilas liat waktu mau ambil cocktail.”

He’s here???” seru Sera. Matanya membulat sempurna. Matteo terheran, “You think he’s not here? Gamungkin deh, Ra. Dia juga pasti kesini buat kerja. It’s a crucial moment apalagi project collab sebesar lo ini baru pertama kali buat Bitna kan? Gue yakin Sena juga mau memperluas jaringannya biar semua model Bitna ke depannya lebih gampang dapet offer yang prestigious.” terang pemuda tersebut.

“Gue gak liat dia dimana-mana tadi soalnya waktu di atas stage, Dam.”

Sekelibat, memori Matteo memberikan informasi yang tadi sedikit tidak ia sadari. Tadi Sena sama cewek kan kalau gak salah?

“Mungkin lagi ke toilet.” ujar Matteo menenangkan walaupun kini prasangka buruk sudah memenuhi benaknya. Apa jangan-jangan itu cewek yang dirumorin sama Sena ya?

“Yuk udah, pulang. Lo juga pasti capek kan. Mau makan dulu apa langsung pulang, Ra?”

“Mau ketemu Sena.”

Matteo mendengus, “Itu gak ada di pilihan yang gue tawarin.”

“Pulang duluan aja, Dam. Gue nungguin Sena jawab chat gue dulu ini.”

Senyum pahit Matteo timbul. Bener, gue siapanya Sera sih sampe bisa didengerin sama dia?

“Oke. Tadinya gue mau buru-buru balik karena lo. Tapi kalau memang lo gaakan bareng gue, gue mau ketemu guests lainnya dulu deh. Just chat me if you change your mind.”

I won’t. I’ll wait for him.” jawab Sera, tegas dan yakin. Lagi, Matteo terasa ditampar oleh kenyataan. Pemuda itu cuma bisa mengangkat tangannya memberikan gestur menyerah, “Alright, lovebirds. Gue ke main venue lagi ya.”

Punggung Matteo hilang di balik pintu, meninggalkan Sera yang kini menatap nanar layar ponselnya. Kemana sih Sena? Kok chat gue belum dibales-bales? He’s that busy?

Jemari Sera mengetuk gelisah di atas layar ponselnya. “Apa gue call Kio aja ya? Dia harusnya daritadi bareng Kak Sena kan?” gumamnya sendiri. Tanpa ambil tempo, ia segera menekan kontak Kio.

“Halo, Mbak?”

Suara Kio terdengar timbul tenggelam diantara keramaian, “Kamu dimana, Ki? Kak Sena udah disini?”

“Udah disini dari awal shownya mulai, Mbak. Memangnya Mas Sena belum nyamper Mbak juga? Tadi Kio udah kasih tau ruangan Mbak ada dimana loh padahal. Orangnya juga udah jalan daritadi.”

“Apa nyasar ya?” balas Sera.

“Waduh, masa iya sih.. Venue ini kan gak ngebingungin tempatnya. Bentar deh coba Kio bantu cariin ya, Mbak. Heran banget ini satu orang hobi banget ngilang deh???”

Panggilan langsung terputus setelah terdengar suara grasak grusuk dan sebal dari Kio. Sera akhirnya beranjak dari tempatnya setelah membereskan seluruh barangnya dan berpamitan dengan crew yang masih ada disana.

Langkah kaki Sera membawa gadis itu melewati satu lorong panjang yang memisahkan main venue dengan ruang persiapan para crew termasuk ruang tunggu para model yang tadi melakukan walk pada runway. Sera beberapa kali mengucapkan ‘thank you’ setiap kali berpapasan dengan crew yang masih berlalu lalang.

Senyum yang dilempar Sera kepada orang-orang yang bertemu dengannya sontak lenyap begitu pandangannya jatuh kepada satu sosok yang amat sangat tidak asing baginya. Sorot mata Sera menegang kala menyadari kemana tangan sosok tak asing itu tertaut. Sera mengepalkan tangannya kencang, hingga buku jarinya memutih. Gelombang emosi mulai menghancurkannya dari dalam.

Mata Sera terasa memanas. Oh.. so this is the end ya?

Dengan langkah yang terasa begitu berat untuk sekadar mengambil jarak 30 sentimeter tiap langkahnya, Sera berusaha menenangkan dirinya yang bergemuruh hebat. Jangan nangis sekarang, Ra.. You don’t want him to see you in your weakest state anymore right?, batin Sera susah payah.

“Aku tungguin daritadi ternyata kamu malah asyik sendiri ya disini.”

Suara itu sontak membuat sosok tak asing tersebut tersentak dan lantas membalikkan badan, teralihkan fokusnya dari mengagumi salah satu karya seni yang terpajang di lorong tersebut. Mata Sena membulat sempurna mendapati Sera kini berdiri di hadapannya dan… Alika. Tangan Sena dan Alika yang masih menggenggam menjadi titik fokus Sera untuk sesaat.

Sera tersenyum pahit, “Akhirnya aku lihat sendiri.” Walaupun sudah mati-matian mengontrol dirinya sendiri, suara Sera tetap bergetar hebat.

“Alika ya?” Netra Sera teralih kepada Alika lantas mengulurkan tangannya, “Aku nitip Sena ya. Tolong dijaga aja biar dia gak akan lari ke cewek manapun lagi. Cukup berhenti sampai di aku aja.” Nafas Sera rasanya tercekat.

“Ra.. It’s not like that.” Sena berusaha menyentuh lengan Sera namun dengan otomatis, gadis itu menjauhkan dirinya, mundur beberapa langkah. “There’s no need to explain, Kak. I’ve got your signal clearly. Aku mau pulang dulu.”

Sera lantas berderap meninggalkan Sena dan Alika. Kaki Sena sudah akan melangkah, berlari mengejar Sera namun entah kenapa, ia tidak dapat bergerak seolah kakinya terpaku ke tanah. Alika yang masih sangat kaget menatap Sena dengan protes, “You won’t chase after her?”

Sena membisu. Pikirannya kosong dan perasaannya kalut. Ia tidak tahu langkah apa yang sebaiknya ia lakukan sekarang. Namun, yang ia tahu dengan pasti, ia sudah kehilangan hal paling berharga dalam hidupnya untuk melindungi hal lainnya.

This is the price that I have to pay for.

Lagi dan lagi, pemuda itu hanya bisa merapalkan kalimat itu bagai mantra untuk dirinya sendiri.

You lose, Sen. You lose.

--

--

aurevoiruna
aurevoiruna

Written by aurevoiruna

kindly check my writings at twitter @aurevoiruna

No responses yet