– the way he tried.
“Nih, Mbak.” Kio setengah berlari menyamakan derap langkah Sera seraya menyerahkan satu cup americano panas. Sera terlihat begitu semrawut dan jengkel karena hari ini rancangan notes untuk wangi parfumnya dicerca habis-habisan oleh para perfumery – rekannya dalam mengembangkan produk kolaborasinya.
“Abis ini mau langsung makan malem, Mbak? Mau di luar aja gak makannya? Mbak Sera kusut banget soalnya sekarang.” Kio hampir saja menubruk Sera karena gadis itu mendadak menghentikan langkahnya dan menatap Kio dengan tajam, “Is it that bad?” tanya Sera khawatir. Kio mengangguk, “That bad.”
“Arghh fuck… kenapa sih gue gabisa nyembunyiin emosi gue kalau udah gini.” geram Sera, marah pada dirinya sendiri. “Yaudah, kayaknya bener aku butuh hiburan deh. Kita makan malem di luar aja ya, Ki.”
“Oke, Mbak. Mau makan apa?”
“Apa aja.” sahut Sera. Mereka lantas melanjutkan langkah untuk keluar dari lobi headquarter menuju parkiran mobil. “Kalau hotpot aja gimana?”
“Boleh.” jawab Sera singkat. Lagi-lagi, langkah cepatnya terhenti, nyaris membuat Kio yang sedang mencari tempat hotpot enak lewat ponselnya itu kembali menubruk Sera. “Loh, Mbak, kenapa berhenti?”
“Hello, Ra. Baru selesai kerja?” Suara berat yang tidak asing itu lantas membuat Kio dengan segera mengarahkan pandangan kemana mata kaget Sera tertuju. Namun, Kio juga jadi ikut terkejut karena melihat siapa yang ada di samping si empunya suara itu.
Matteo dan Aya ada di hadapan Sera dan Kio sekarang. Pemuda dengan tinggi 1,85 meter itu memiliki sebuket kecil bunga tulip putih di tangannya – yang kemudian diulurkan ke hadapan Sera. Sera menilik buket bunga itu dengan bingung, “For me?” tanyanya memastikan. Matteo tersenyum lebar, “Tadi gak sengaja lewat florist and I think you would love it. Kan gak lucu juga gue muncul dengan tangan kosong terus mendadak ngajak lo dinner.”
Kio dan Aya yang ada di samping masing-masing orang yang mereka urus itu, saling bertukar pandangan dengan heran sekaligus panik. Jelas sekali situasi ini menggambarkan ada sesuatu di antara mereka berdua. Ini kita harus ngapain??, kira-kira itulah arti tatapan yang dilayangkan oleh Aya kepada Kio di hadapannya. Kening Kio mengerut, berpikir keras.
Sera mengulum senyumnya kala menerima buket itu ke dalam dekapannya, “Thank you. This is pretty. Kok lo tau gue suka tulip putih?”
“I did some research, of course. Lo bilang suka ini di salah satu interview lo sama ELLE Magazine.”
“Oh wow, you really did some research on it.” ucap Sera terkagum karena Matteo bisa menyebutkan dengan detail darimana sumbernya berasal. Gadis itu mendadak mendapatkan kesadarannya kembali, “Loh? Iya juga, bukannya lo baru pulang dari Madrid ya harusnya?”
“Iya baru tadi siang.”
“Gak capek memangnya?”
“When it comes to you, gak tuh. I can make time. Gue kan udah janji buat traktir lo dinner karena udah bantu shoot gue di Anaheim kemarin.”
Jawaban Matteo membuat mata Kio dan Aya melebar dengan sempurna. Jelas, jelas sekali jawaban ini merepresentasikan bahwa Matteo jelas sedang hitting on Sera. Mati gue kalau Mas Sena tahu.., batin Kio stress.
Sera terhenyak dengan ucapan Matteo. I can make time. Itu jelas sekali kalimat yang hanya akan diucapkan jika seseorang menganggap kamu spesial. Apa bener ya yang kemarin-kemarin Kak Maraka kasih tau? He likes me?
“Ra?” Suara Matteo membuyarkan Sera yang terperangkap dalam pikirannya sendiri. “Eh iya?”
“Kenapa? Lo gabisa dinner hari ini? Masih ada Sena apa gimana?”
“IYA GABISA.” jawab Kio menyerobot Sera yang baru saja hendak membuka mulut. Hal itu dilakukan Kio tak lain dan tak bukan karena ia tidak ingin babak belur di tangan Sena karena tidak bisa menjaga Sera jauh-jauh dari Matteo yang jelas ingin mendekati Sera.
Matteo menatap Kio dengan heran, “Kok lo yang jawab, Ki.” ujarnya tak suka. Kio lantas berdiri di hadapan Sera, menyembunyikan gadis itu di belakangnya, “Ada jadwal pokoknya.”
“Eh jadwal apa, Ki?” tanya Sera balik, bingung. Sebab tadi Kio bilang hari ini tidak ada pekerjaan lain yang perlu ia bereskan lagi.
“Ada pokoknya, Mbak. Tadi aku ketinggalan bilang. Udah yuk, kita makan dulu baru kerjain yang selanjutnya! Matt, Ay, duluan ya!”
Kio membuat kode kepada Aya lewat tatapannya agar gadis itu juga segera menyeret Matteo pergi. Pemuda itu dengan segera menarik Sera agar mengikuti langkahnya menuju mobil, meninggalkan Matteo yang terlongong karena kebingungan dengan penolakan yang begitu cepat.
“Mas..” Aya menepuk bahu Matteo, berusaha mengambil atensi. “Kita pulang aja yuk?”
“Saya udah terlanjur reservasi restoran untuk dua orang, Aya. Kamu mau ikut saya? Sayang soalnya.” Suara Matteo begitu lemas, membuat Aya tidak tega. Senyuman yang diulas Matteo jelas merupakan topeng untuk menutupi bahwa ia tidak baik-baik saja.
“Boleh, Mas.” Aya sebenarnya bersorak dalam hati. Namun, ia sebenarnya juga tidak sampai hati karena merasa senang di atas penderitaan orang lain.
“Ayo, Mas.” Aya kembali memecah lamunan Matteo kala mobil mereka kini sudah di depan.
Suka sama orang yang memang lagi lowong aja, Mas.. Contohnya saya. Mau gak?, Aya dalam benaknya bernarasi sendiri. Gadis itu menepuk pipinya sendiri karena merasa sudah tidak waras. “Eh? Kamu kenapa?” tanya Matteo kaget melihat tindak-tanduk Aya.
“Oh.. nyamuk, Mas. Hehehe..” Aya tersenyum kikuk lantas ikut masuk ke dalam mobil bersama Matteo.