— the moment of change.
“Masss??” Aya setengah berteriak memanggil Matteo yang tidak bisa langsung ia temukan begitu masuk ke dalam unit apartemen pemuda itu yang sudah ia hafal passwordnya di luar kepala.
Kening Aya mengerut begitu ia sudah berkeliling di dalam unit tersebut namun batang hidung Matteo tidak terlihat dimanapun. “Eh tapi dia gak mendadak keluar kan karena aku bilang mau bawa dia ke rumah sakit?” gumam Aya sendiri.
Langkah gadis itu terhenti kala ia menyadari hanya tinggal satu ruangan yang belum ia cek untuk menemukan Matteo. Kamar mandi. Aya menautkan jemarinya dengan gugup. Mas Theo gak mungkin pingsan di kamar mandi kan?
Namun, melihat pintu kamar mandi yang tertutup — ketika biasanya terbuka lebar — membuat Aya menelan ludahnya karena khawatir. Apa lagi mandi?, batinnya sendiri akan tetapi kembali menjadi sangsi karena tidak ada suara shower menyala.
Dengan seluruh keberanian yang telah dikumpulkan, akhirnya Aya memberanikan diri untul mengetuk pintu kamar mandi. Namun, baru pada ketukan pertama, pintu mengayun pelan, terbuka sendirinya. Aya membelalakkan mata begitu mendapati Matteo kepayahan menyandarkan dirinya pada kloset.
Jelas sekali, pemuda itu baru memuntahkan seluruh isi perutnya. Dan juga jelas sekali, nampaknya pemuda itu menghabiskan malam untuk menelan cairan bening yang pahit juga membakar kerongkongan. Tergopoh-gopoh, Aya dengan panik meletakkan seluruh barang bawaannya ke atas lantai secara sembrono. Gadis tersebut langsung bersimpuh di samping Matteo.
“Mas??? Mas Theo?? Can you hear me?” Tangan gadis itu terulur hendak menepuk pipi Matteo yang tengah memejamkan mata. Tidak bereaksi apapun.
Aya mendelik begitu permukaan telapak tangannya mengenai pipi Matteo yang terasa panas. “MAS!” pekik Aya panik, tangannya menangkup pipi Matteo dan mengguncang pelan kepala pemuda itu,
“Mas bisa denger Aya gak?” Kebiasaan Aya untuk menyebut dirinya sendiri dengan kata ‘saya’ seketika menguap. Melihat Matteo yang akhirnya mengerjapkan mata sesaat membuat Aya sedikit menghela nafas lega.
“Sera?” lirih Matteo dengan kilat mata yang tidak fokus. Jelas sekali, pemuda itu mengigau. Sejurus kemudian, pemuda itu kembali memejamkan matanya. Kepalanya semakin terkulai di pinggir kloset duduk itu, terlihat begitu menyedihkan. Berantakan.
Detik itu juga, Aya feels like she connects the dot accurately.
So.. this is a heartbroken phase for him.., Aya finally understands fully.
“Aduh gimana ya ini ngangkat Mas Theo..” keluh Aya bingung. Sebenarnya, Aya memiliki kepercayaan diri bahwa ia bisa mengangkut Matteo sendirian jika saja gadis itu masih menekuni weighlifting seperti 3 tahun lalu.
“Duh, mana Kio juga masih di Jakarta.. Gimana ya.. Apa dia udah balik ke London? Mungkin gak ya..” Aya bermonolog sendiri. Sudut matanya melirik ke arah Matteo sekilas, semakin tidak tega. Ia akhirnya memutuskan untuk menelepon Zacchio.
Nada dering masih terdengar cukup lama. Tidak ada jawaban. Aya akhirnya pasrah. Tak ada pilihan lain. Ia harus menggotong Matteo ke kamar pemuda itu seharusnya tertidur.
“Mas.. Aku bopong ke kamar ya?” ucap Aya, sebagai bentuk izin. Perlahan, Aya menyelipkan kedua tangannya dari depan ke punggung pemuda itu, memeluknya erat kemudian mencoba mengangkat Matteo agar setidaknya bisa sedikit berdiri.
Ternyata tidak separah dugaannya. Aya dapat dengan mudah mengangkat Matteo. Posisi peluk itu lantas diubahnya menjadi hanya sebelah tangan yang mencoba menjadi support agar Matteo yang kini setengah tersadar itu, tidak berjalan dengan sempoyongan mengikuti langkahnya.
Aya berhasil membaringkan Matteo di atas kasurnya. Walaupun terasa mudah, nyatanya nafasnya cukup terengah juga. Senyum tipis terbit di bibir gadis itu karena bangga atas dirinya sendiri yang totalitas dalam menjalankan pekerjaannya.
Jemari lentiknya lantas membetulkan letak selimut Matteo, berharap tidur pemuda itu semakin nyenyak dan semoga bisa sedikit memperingan luka patah hati yang sedang dirasa. Aya knows well how bad it is being heartbroken for someone that you can’t even have a chance with.
Kala Aya hendak beranjak setelah selesai membetulkan selimut Matteo dan memastikan seluruhnya nyaman untuk pemuda itu, langkah Aya terhenti karena pergelangan tangannya tercengkram erat.
Mata Aya membulat sempurna kala ia menoleh dan mendapati pandangan memohon dari Matteo yang masih setengah sadar serta cengkraman erat yang mengirim sinyal kuat agar dirinya tidak pergi. “Don’t go, Ra..” Suara serak itu seolah akan diiringi dengan isakan pelan setelahnya. Hati Aya mencelos sepenuhnya. Bener-bener karena Mbak Sera ya?
“Ini Aya, Mas..”
Seolah mendapatkan sedikit kesadaran, Matteo mengerjapkan matanya. “So-sorry, Ay.”
Cengkraman Matteo tidak sedikitpun mengendur. Pun tatapannya tidak pernah meninggalkan manik mata Aya. Aya dibuatnya salah tingkah. Gadis tersebut berdehem pelan, “Is there anything I can help you with, Mas Theo?
“Stop sounds like a robot, Ay.”
Aya mengerutkan keningnya, bingung. “You and your behavior to ask is there anything you can help with. Can you ask anything besides that?” terang Matteo.
Pipi Aya memanas, malu akan kebiasaannya yang tidak ia sadari itu. She always think that she is born to serve someone. Keadaan menuntutnya untuk tidak pernah bisa egois, untuk tidak pernah menaruh dirinya sendiri pada urutan pertama dalam hidup.
“Sorry, Mas Theo. I didn’t mean to.”
Lagi, Matteo masih memandang lekat manik mata Aya tanpa sepatah kata pun. Aya memutar otaknya, mengerti jika Matteo menunggu pertanyaan lain sebagai pengganti dari pertanyaannya tadi.
“Actually, I don’t mean to meddle into your private life, but I think I have to ask this to you, Mas.”
“Go ahead.”
Aya menggigit bibirnya, meragu. “Go on, Aya. If the question is come out from your mouth, I’ll answer it, no matter how hard it is to find the possible reason.” Matteo meyakinkan managernya itu.
“Why are you sounds so sure about me? Mas gak takut saya ngebocorin apapun itu?”
“Someone told me that eyes won’t lie about the true colors of its person. I know you can keep a secret.”
Gadis itu menelen ludahnya dengan susah payah. Aya tahu persis ucapan siapa itu yang baru saja disebut ulang oleh Matteo. Sepertinya efek kehadiran Sera dalam hidup Matteo memang tidak main-main.
“Mbak Sera broke your heart, is it true?”
Matteo tersenyum miring lantas mengangguk, “Gue kira pertanyaan lo lebih susah loh, Ay.”
“Eh? Ahahaha..” Aya tertawa canggung.
“They said first love won’t works out, Mas.”
“I guess they’re right.” Suara Matteo semakin lemas.
“There are lots of people that love you. Maybe you can consider to moving on.”
“I don’t know. It’s hard, Ay. I’ve been doing some other relationships before I finally met Sera again. Nyatanya, tetap gak ada yang sparks nya setara kayak pas gue cuma liat Sera dari jauh. I know myself well about how it feels like when I’m falling for someone.” Matteo menolak mentah-mentah saran dari Aya. Gadis itu hanya bisa meringis bingung.
Pandangan Aya jatuh pada pergelangan tangannya yang masih digenggam erat oleh Matteo, “If you don’t want to hear or taking any advices from me anymore, I guess you have to let go of my hand?” Suara Aya jelas sekali terdengar kurang menyenangkan.
Matteo dengan cepat melepasnya seraya berdehem. Salah tingkah. “Sorry. You can go now.”
Tangan Aya kini malah beralih ke jidat Matteo lagi. Masih panas. “Hangover Mas parah banget apa gimana sih sampai bikin demam kayak gini? I’ll stay here until I know your condition is much better. Saya coba cari obat dulu ya ke apotek.”
Satu langkah belum sempurna dijejak oleh Aya, Matteo dengan cepat menarik tangan gadis itu dan membawa badan Aya hingga terjatuh ke sisinya di atas kasur. Tak ayal, gadis itu sedikit memekik terkejut. Matanya membulat sempurna kala tatapan tajam Matteo terarah kepadanya dalam posisi yang setara. Sama-sama terbaring di atas ranjang yang empuk dan masih terasa hangat dari Matteo.
“E-eh? Mas Theo….?” Kepala Aya rasanya kosong melihat betapa sempurnanya paras di hadapannya. Gadis itu tidak tahu bagaimana harus bersikap.
“I guess a hug would make my condition better,” Matteo seolah menjawab tanda tanya yang kini jelas terpancar dari kilat mata Aya.
“While… lying?” tanya Aya, gugup. Kalau gitu bukannya namanya cuddle?, batin gadis itu sendiri. Gak mungkin! Get yourself together, Aya.., lagi-lagi pergumulan dalam batin Aya membuat gadis itu terbingung sendiri.
Matteo mengangguk menanggapi tanya dari Aya, “but if you refuse to give me one, you can really go.”
Aya menelan ludahnya sendiri. She also needs a hug since she’s been drained physically and mentally throughout Matteo’s packed schedules. Kadang Aya berpikir, jadi seorang super model atau super star terlalu melelahkan. Tapi kenapa bisa Matteo dan Sena tahan selama ini?
Jemari Aya meraih tangan Matteo. He catch the signal. Tanpa ambil tempo, pemuda itu menarik lembut tubuh Aya ke dalam dekapannya. Detik berikutnya, Matteo sedikit tersentak kala wangi oud yang menempel di tubuh Aya, mengingatkannya kepada wangi khas sang Nenek kesayangannya. Ditambah, ternyata hangat gadis itu dengan cepat memberikan ketenangan dan kenyamanan yang Matteo sendiri tidak bisa jelaskan dengan baik.
Pemuda itu termangu. What is this kind of feeling?