— the first snow
Sudah 5 kali salju pertama turun semenjak Haechan merasakan rasa kehilangan yang teramat sangat. Kakak-kakaknya di NCT 127 memahami dengan baik dan benar bahwa meninggalkan Haechan sendirian ketika salju pertama turun adalah pilihan paling bijak yang bisa mereka lakukan. Teman sebaya dan adik-adiknya di NCT Dream pun berlaku demikian. Terutama Jisung, karena ia paham betul apa yang dirasakan Haechan. Tidak lain karena Jisung juga merasakan kehilangan yang sama besarnya — atau mungkin lebih besar karena ia kehilangan satu-satunya keluarga.
Mata sayup pemuda itu menelisik setiap bulir salju yang mulai turun hari itu melalui jendela besar di ruang tengah dorm NCT Dream. Semalam ia baru saja menyelesaikan aktivitas grup bersama NCT Dream sehingga ia memilih untuk tidur disitu.
Salju pertama di tahun 2023. Artinya, tepat 5 tahun, Lee Haechan memulai rutinitasnya. Bahkan kedua anak adopsinya sengaja ia titipkan di daycare karena ia memang perlu sendiri, untuk berdamai dengan batinnya yang bergulat kalut setiap kali salju pertama turun.
“Chan, aku paling suka sama salju pertama! Katanya kalau kita memejamkan mata lalu mengucapkan harapan kita pelan di dalam hati, semuanya akan terkabul dengan lebih mudah!”
Suara itu, kalimat itu, kembali bergaung di dalam otak Haechan. Tidak pernah hilang, sekuat apapun ia mengusirnya. Suara yang begitu ia rindukan hingga detik ini. Bisakah Anna kembali? Bisakah semuanya ia ulang dari awal agar dapat memperlakukan Anna dengan lebih baik? Bisakah ia merasakan salju pertama lebih lama bersama Anna jika ia memperlakukan gadis itu dengan baik?
Tanpa dirasa, aliran hangat menuruni pipi Haechan. Pemuda itu juga terkejut dan menyerah akan keadaan, “Lagi? Lo nangis lagi, Chan?” ucapnya parau. Suaranya bahkan serasa tidak bisa keluar karena kerongkongannya tercekat luar biasa. Dadanya sesak, mau meledak.
Tangannya menyeka pipi dengan kasar. Haechan berusaha menarik nafas dalam-dalam lantas menghembuskannya dengan kencang. Berharap rasa sesak sedikit terminimalisir namun nyatanya, malah semakin memenuhi dada. Dengan jemari yang gemetar putus asa, ia berusaha menggapai gelas wine nya. Kembali berharap, bahwa alkohol bisa meringankan beban hatinya.
Ini sudah gelas kelimanya dari botol kedua yang dibuka. Memang, kebiasaan buruk ini terbentuk sebagai salah satu coping mechanism Haechan setiap kali kenangan-kenangan akan Anna Park muncul di dalam kepalanya. Ketika Haechan terlalu merindukan gadis tersebut hingga rasanya mau mati. Rasa mau mati tidak berlebihan bagi Haechan karena sungguh, pemuda itu melewati fase ingin menyusul Anna, setiap hari, selama satu tahun setelah Anna pergi selamanya dari dunia.
Tepat ketika Haechan hendak kembali menyesap wine nya, cengkraman erat di pergelangan tangan menahan pemuda itu untuk meneruskan maksudnya. Dengan nyalang, Haechan menatap pemuda di sampingnya itu.
“Gue udah pernah bilang ke lo kalau gue gamau diganggu gugat kan kalau salju pertama lagi turun, Ji?”
Park Jisung, adik dari Anna Park, memilih tetap mencengkram erat pergelangan tangan Haechan agar aktivitas meminum wine yang berlebih itu berhenti. Ia menatap dalam-dalam manik mata Haechan, “Udah cukup, Bang. Satu botol harusnya udah cukup. Kak Anna — ”
“TAU APA LO SOAL UDAH CUKUP APA BELUM?? TAU APA LO SOAL ANNA??” bentak Haechan keras. Ia menepis tangan Jisung, menyebabkan wine di dalam gelas itu tersembur keluar sepenuhnya. Menyiram Jisung hingga rambutnya agak basah kuyup. Bagaimana tidak? Tadi Haechan benar-benar menuang penuh gelasnya, bukan selayaknya seperti orang yang menikmati, namun memang memiliki intensi agar dirinya menjadi tidak sadar sepenuhnya.
Jisung mengusap wajahnya yang terpercik wine tersebut dengan tenang. Percuma melawan Haechan yang sedang mabuk ditambah sedang kalut total. Pemuda itu memilih bangkit lantas menutup tirai jendela ruang tengah dorm. “Gue tau soal Kak Anna, Bang. Don’t you ever forget that I’m his biological little brother.”
“Kak Anna gak akan suka kalau keadaan lo semenyedihkan ini sekarang. She will cry with you. Apa gak cukup Kak Anna nangis di dunia? Dia harus ikut nangis juga karena ngeliat lo yang berantakan kayak gini?”
Suara berat Jisung dengan emosi yang terkontrol malah membuat Haechan tertampar begitu kencang — lebih tersadarkan dibanding jika ia dibentak. Memang begitu watak pemuda satu itu. Perilaku kerasnya tidak dapat dibalas dengan perilaku keras juga.
“Maaf,” bisiknya pelan. Jisung menghela nafas panjang. “Ini juga berat buat gue, Bang. Tapi gue selalu inget kalau Kak Anna gamau liat gue nangis dan semua orang yang dia sayang nangis karena dia.”
Isakan Haechan perlahan mengeras. Ia membiarkan tubuhnya terkapar di atas permadani ruang tengah dengan lengan kanannya yang menutup mata. Membiarkan rembesan air mata terserap oleh lengan cardigan rajut berwarna hitam — jelas sekali kepunyaan Anna. Cardigan yang selalu ia pakai kemana-mana.
He’s carrying Anna’s love everywhere with him as much as he can.
Jisung akhirnya ikut berbaring di samping Haechan, menatap langit-langit dengan nanar. “Gue juga kangen banget deh, Bang sama Kak Anna. It’s unfair that she left us in our happiest moment in life. Harusnya dia ada disini buat liat semua achievement kita setelah semua struggle yang kita laluin. Iya kan?”
Isak Haechan terhenti lantas dilanjut dengan pukulan cukup keras di lengan Jisung. “BANG AH APAAN SIH!”
“Lo udah tau gue nangis malah dibikin makin sedih tuh gimana sih maksudnya, Ji?”
Jisung cuma bisa menunjukkan cengirannya, “Ini loh, gue kan mau reminiscing Kak Anna bareng lo tapi lo nya malah sibuk nangis terus.”
“Kayak gak biasanya aja orang-orang pada gak nangis tapi malah lo yang nangis sendirian gak berhenti-berhenti. Contohnya tuh abis kita dapet daesang kemarin, udah turun stage aja masih nangis — ”
“Eh udah sih kok jadi ngebahas gue?”
Begitulah. Haechan dan Jisung benar-benar sering berdebat kecil soal hal penting seperti ini. Siblings things.
Setelah perdebatan kecil itu, mendadak hening menyergap. Tidak ada yang berniat untuk membuka suara lagi karena mereka terpaku mendengar First Snow milik EXO terputar dari speaker kecil yang sedari tadi memang mengalunkan lirihan musik dengan volume super kecil.
Jemari Haechan menggapai ponselnya lantas menaikkan volume speakernya lewat perangkat itu. Jisung hanya bisa tersenyum miring, “Bener-bener lagu yang cocok buat lo sih Bang ini.”
Haechan hanya dapat terdiam seraya memejamkan matanya lebih erat. Menahan rasa sesak yang bisa membuat meledak kapan saja.
(When I meet you) Tears well up
(I’m like a fool) I can’t say anything
Say to me, “Merry, merry Christmas”
“Hello, are you doing well?”
(When the snow falls) Will the frozen heart
(Whether it can cover) All the past pain
I’m sorry, I couldn’t treat you well
“Gue bodoh banget ya dulu selalu berasumsi yang jelek jelek ke Anna?”
“Memang.” jawab Jisung cepat.
“Kenapa ya gue gak sadar kalau dia gak akan mungkin berbuat kayak gitu kalau gak ada alasannya?”
“Ask yourself,” Lagi-lagi, Jisung membalas secepat kilat. Haechan hanya bisa terkekeh, namun jelas penuh pilu. “Lo masih dendam berat sama gue ya Ji?”
“Maunya sih gitu tapi Kak Anna nanti sedih liat lo dimusuhin sama gue. Gue anggap penyesalan lo udah jadi bayaran setimpal buat lo juga.”
“Gimana caranya ngerelain Anna ya, Ji?”
Jisung akhirnya menolehkan kepalanya ke arah Haechan setelah beberapa lama hanya mendongak, menatap ke arah atap dengan posisi berbaring itu.
“Semakin lo berusaha dengan keras buat ngerelain sesuatu, semakin susah juga lo buat bener-bener rela, Bang.”
Atensi Haechan tertarik dengan spontan. Matanya menatap Jisung keheranan, “Maksudnya?”
“Biasanya orang-orang yang ‘ingin’ banget merelakan itu biasanya mau cepat-cepat keluar dari kesedihannya. Itu yang bikin makin susah, Bang. Karena rasa sedihnya belum benar-benar tuntas. Belum sepenuhnya dimengerti dan dirasakan. Kabur dari realita.”
Haechan tercenung. Tatap matanya tenggelam dalam pandang Jisung. Menandakan bahwa pemuda itu sungguh-sungguh berusaha meresapi dan memahami perkataan si bungsu. Kadang, anak kecil — yang sudah beranjak dewasa ini — tanpa dinyana, suka mengeluarkan perkataan yang sanggup membuat merenung.
“Gak apa-apa sedih, you don’t have to be strong all the time. Kecuali waktu kita lagi on stage, Bang. We’re professional, aren’t we?”
Suami dari Anna itu akhirnya bangkit dari posisi berbaringnya, lantas duduk. Ia sekali lagi memandang Jisung dalam-dalam. “I just have to admit it, iya kan?”
Jisung mengikuti aksi kakaknya itu, juga terduduk sekarang. “Iya.”
Ponsel Jisung berdering, menampakkan nama peneleponnya. Manager mereka. Akan ada schedule recording variety show lagi dalam 2 jam.
“You still need time? Manager pasti bisa make up some reasons.” tanya Jisung, memastikan kala melihat kondisi Haechan masih berantakan cukup mengenaskan.
Haechan menggeleng, “Nanti sesi sedihnya gue lanjut habis kita selesai schedule. I’ll let myself to mourn.”
Jisung mengangguk-angguk, “Mau ke krematorium Kak Anna habis dari schedule?”
“Gue udah sih kemarin, cuma ayo aja kalau lo juga mau. Gue memang rencana mau kesana lagi hari ini.”
“Bucin,” dengus Jisung. Senyum Haechan sedikit tersungging, “Memang. Bukannya udah paham? Yuk deh, temenin gue ke daycare dulu buat jemput si kembar. Biar mereka nanti ikut ke krematorium Anna habis kita kelar schedule.”
“Lah? Yang jagain nanti siapa?”
“Manager baru yang nemenin manager noona itu loh?”
Alis Jisung tertaut, “Sullyoon?”
Haechan mengangguk. Melihat tatapan Jisung yang curiga, Haechan langsung mengibaskan tangan di depan wajahnya, “There’s nothing going between us. Tenang aja.”
Jisung mengendikkan bahunya, “Toh kalau memang ada apa-apa gue pun gak bisa komentar. Kak Anna kan nyuruh lo cari lagi orang yang bisa nemenin lo sampe tua kan, Bang?”
“Si kembar will be enough for me.”
Ia berjalan ke arah Jisung seraya memakai mantelnya. Berhenti sejenak, Haechan lantas berbisik rendah tepat di telinga kiri Jisung, “Selain itu, I know that you like her, Ji.”
Mata Jisung membulat sempurna. “ENGGAK! Apa sih Bang?!” paniknya. Rona merah sempurna di pipi menjadi penguat keyakinan Haechan jika Si Bungsu memang benar jatuh cinta.
“Iya deh. Yuk, Sullyoon udah di depan lobby. Kasian kedinginan dia. Nih, bawa mantel lo yang ketinggalan di gue. Kasih ke Sullyoon nanti.” Haechan menghilang di balik pintu setelah melempar mantel milik Jisung yang tertinggal dari 3 bulan lalu.
Jisung mengusap wajahnya yang memanas. “Memangnya keliatan ya kalau aku suka sama Sullyoon?” ucapnya sendiri. Haechan yang sebenarnya masih di balik pintu dan bisa mendengar gumaman Jisung, cuma bisa tersenyum tipis.
“Ann, adik kamu akhirnya nemu orang yang bisa bikin dia bahagia setelah sekian lama juga ikut sedih karena kamu. Now you can rest easily, Sayang.” bisiknya sendiri, parau namun terdengar lega.
“Aku yakin, harapan yang kamu panjatkan setiap tahunnya waktu salju pertama turun, sedikit demi sedikit terwujud. Ya kan?”
— end.
Note: iseng-iseng aja sih buat ini karena aku kangen nulis dan kangen Haechan Anna!
buat yang pertama kaliii baru baca soal Haechan Anna, bisa mampir kesini yaa https://twitter.com/parkseungrihae/status/1345405271787507714?s=21