– sunshine in the midnight rain

aurevoiruna
10 min readJun 27, 2023

--

Haza Rianza — bassist band pengiring Senapati Bagaskara
Haza Rianza — bassist band pengiring Senapati Bagaskara

Namanya Haza Rianza. Seorang laki-laki muda dengan kisaran umur 26 tahun, memiliki postur tinggi tegap dengan lebih dari separuh proporsi tubuhnya berupa kaki jenjang yang cocok dipakaikan jeans yang memeluk erat setiap liuk kakinya. Senyuman laki-laki tersebut sehangat matahari pagi yang memeluk lembut di tengah turunnya kabut dingin. Dia banyak bicara jika hanya diperlukan, contohnya ketika ia melakukan pekerjaan terkini yaitu menjadi seorang DJ radio kesayangan muda mudi di bilangan Cilandak, Jakarta Barat. Selain menjadi DJ radio, dia juga kini sedang menjadi bassist untuk band pengiring Senapati Bagaskara ketika manggung ke banyak kota di Indonesia.

Bisa dibilang, Haza amat sangat menutup diri dari kemungkinan membuat suatu hubungan pertemanan yang baru. Dia tidak semudah itu percaya kepada seseorang bahkan hanya untuk sekadar bercerita ringan. Namun, hal berbeda terjadi ketika ia tidak sengaja menemukan Karina Amarabel di atas rooftop bar malam itu ketika ia sedang beristirahat dari menenangkan temannya, Senapati Bagaskara, yang sedang minum seperti orang gila akibat praharanya dengan tunangannya, Kayla Kirana, dan managernya (yang ternyata orang yang sungguh dicintai) bernama Sera Vivianne.

Walaupun dengan tangan yang bergetar menggenggam sebatang rokok malam itu, Haza berusaha mengatur tindak tanduknya agar gadis yang ia lihat sudah berdiri di pinggir pagar pembatas luar rooftop itu, mau mendengarnya. Terlihat tidak acuh namun nyatanya jantungnya berdegup bukan main.

“Lompat aja, Mbak. Udah 30 menit loh di posisi yang sama.”

Namun, bodohnya seorang Haza, malah kalimat barusan yang keluar dari mulutnya. Gila, lo kok malah ngomong gitu sih sinting??, maki Haza kepada dirinya sendiri, terlebih kini sosok yang tadi ia ajak bicara, sudah menjatuhkan pandangan ke arahnya dengan ekspresi kaget. Haza tahu ia sudah tidak bisa mundur dari kekacauan yang baru saja ia ciptakan. Dengan tangan yang masih bergetar, terburu ia menyalakan lighter dan mengarahkannya untuk membakar gulungan tembakau yang sudah bertengger di bibirnya. Ia lantas berjalan ke arah gadis tersebut seraya mengisap nikotin untuk menenangkan diri.

“Lah? Kok malah ngeliatin saya sih, Mbak? Lanjut aja. Nanti saya yang laporin ke polisi kalau Mbak udah selesai urusannya.”

Haza is never good at words in the most important moments. Pemilihan kosa katanya selalu terdengar menyebalkan ketika ia sebenarnya ingin menyampaikan hal yang berlawanan dengan apa yang baru saja dikatakan. Namun, walaupun begitu, ia tetap seorang pendongeng yang handal dan sanggup menarik atensi siapapun yang mendengar suaranya.

“Pyscho ya lo??”

Nah kan. Haza merutuki keputusannya untuk ikut campur dalam urusan gadis di hadapannya soal hidup dan mati. Pemuda itu akhirnya mengendikkan bahu kemudian menyandarkan badannya pada pagar pembatas, berada tepat di samping gadis yang masih berpegangan erat pada railing itu. Yang masih meragu ingin melompat atau tidak.

“Saya gak ada hak buat ikut campur. Mungkin ada masalah yang berat banget buat Mbak sampai Mbak milih buat kepikiran berbuat gini.”

“Kata gue lo gila sih,” sahut gadis tersebut dengan marah.

“Mbak sih yang lebih gila. Kenapa kepikiran buat ngelakuin itu? Gak mikirin orang-orang yang bakalan ditinggal sama Mbak?”

“Katanya lo gamau ikut campur?”

“You’ve already pay attention to me and it seems like you’re no longer have an intention to do it too. Mending jangan disitu lagi, Mbak. Gak enak kalau kepleset terus harus gelantungan sampai pemadam kebakaran dateng buat selamatin.”

“Ayo saya bantu,” Haza mengulurkan tangan, memberikan bantuan. Setelah mengevakuasi gadis tersebut, pada akhirnya Haza tidak dapat menahan diri untuk tidak bercerita akan sesuatu yang juga dulu pernah ia lakukan, hal yang sama di tempat yang sama seperti apa yang baru saja gadis itu lakukan. Gadis itu — seperti halnya gadis-gadis lainnya — juga terperangkap atensinya mendengar bagaimana Haza menuturkan kisah. Hingga ia sadar kala Haza yang sedari tidak menatapnya, jadi mengarahkan pandangan hingga kedua tatap mereka bertemu.

“Kita udah ngobrol panjang ngalor ngidul tapi belum kenalan. Nama lo?” Gadis itu mengulurkan tangan setelah berucap. “Haza Rianza,” jawab Haza tegas kemudian menyambut tangan halus gadis itu. Sesaat, Haza merasakan jantungnya berhenti berdetak beberapa ketukan. Hangat tangan serta tatap yang membuat Haza seolah berada di ‘rumah’ membuat pikiran pemuda itu rasanya malfungsi.

Selama ini, Haza tidak pernah percaya akan apa itu cinta pandangan pertama.

“Karina Amarabel,”

Namun, begitu gadis bernama Karina itu mengenalkan dirinya beserta melempar senyum manis, Haza Rianza sudah dipastikan kalah telak dengan prinsipnya sendiri. Jutaan kupu-kupu menggelitik dasar lambungnya.

“Cantik.”

Kelepasan, Haza sungguh kelepasan akibat pikirannya yang mendadak malfungsi. “Nama Mbak mirip nama mama saya.” Dalam sekali seumur hidup, Haza bersyukur bahwa Mama nya juga bernama Karina. Setidaknya, ia jadi punya alasan untuk berkilah.

Sejak saat itu, Haza Rianza seolah memiliki alasan untuk hidup setelah bulan itu ia terus mengalami banyak sekali hal buruk di luar dugaan. Entah kenapa, ia kini merasa bisa menyelamatkan dirinya sendiri, asalkan ia tahu ada Karina Amarabel setidaknya dalam jalur ceritanya.

Karina Amarabel — soon to be superstar model below Bitna Label

He was sunshine, I was midnight rain.

Karina meneriakkan lirik spesifik itu seraya menyetir di tengah kemacetan tol dalam kota, menuju club langganannya. Pikirannya penuh kabut menggantung, terlalu banyak hal yang perlu ia proses untuk saat ini. Namun, gelisahnya hati Karina tak lain dan tak bukan bersumber dari satu unggahan simpel dari Kak Arindia yang berisikan sosok Maraka sedang melakukan grocery shopping bersamanya.

Karina pikir ia baik-baik saja jika melihat Maraka bersama gadis lain setelah ia memantapkan hati bahwa rasa-rasanya ia tidak akan pernah bisa memiliki perasaan lebih kepada Maraka sebagai seorang kakak dan adik. Naasnya, penyadaran itu memang selalu datang terlambat.

Maraka tetap menjadi Maraka yang Karina kenal, namun kini hanya hadir satu sosok baru di antara cerita mereka. Sosok yang selalu dibantah oleh Maraka jika itu akan membuat dirinya berubah. Namun, nyatanya, Maraka seolah tidak menyadari perubahan itu. Dia selalu berlindung di balik kedok he stays the same. Atau memang sebenarnya Maraka tidak berubah dan Karina yang mengalami perubahan besar dalam dirinya hingga merasakan sesak yang tidak diinginkan semacam ini?

Entahlah, Karina untuk saat ini hanya ingin cepat-cepat minum dan membuat kepalanya terasa ringan. Begitu ia menyerahkan mobilnya kepada petugas valet, kaki mungilnya dengan segera membawanya masuk ke dalam club, disambut dengan dentuman musik yang memekakkan. Ia memilih untuk duduk di bar dekat bartender agar lebih mudah memesan minum yang ia inginkan.

“One martini, please.”

Tanpa ambil tempo, ia langsung menenggak gelas yang disajikan kepadanya. One shot. Seperti orang kehausan. “One more, please.”

Jika masih awal seperti ini, kemampuan Karina dalam memproses minuman alkohol yang mengalir lewat kerongkongannya dibilang masih cukup gila. Ketika gelas keduanya tiba, Karina juga mulai menenggaknya dengan cepat, bukan menyesapnya. Membuat sensasi terbakar yang cukup membuat gadis itu sadar bahwa tindak tanduknya sungguh mulai di luar nalarnya.

“One more.” titah Karina cepat kepada sang bartender. “Miss, I’d like to warn you to slowly drinks it — ”

“Just make it.” potong Karina galak. Kepala gadis itu mulai terasa ringan. Namun, entah kenapa, bayangan Maraka malah semakin terputar dalam benaknya. “Fuck, get out from my head,” keluh Karina frustasi seraya memegang erat rambutnya. Kini, malah suara tawa, suara mengantuk, suara merajuk, dan segala macam jenis nada suara Maraka semakin menghantui dirinya.

Gila. Ini terlalu gila. Karina tidak pernah menyadari jika perasaannya sudah seterikat itu dengan Maraka. And she also hates the fact that it’s just her who changed and feels the pain. Sepertinya Maraka baik-baik saja menjalani hidupnya bahkan semakin bahagia dengan kehadiran Arindia dalam hidup pemuda itu. She feels completely miserable.

Denting gelas di hadapan Karina membuat tangan gadis itu secara otomatis terulur. Namun, begitu gadis itu sudah akan mulai menenggak cairan bening tersebut, sebuah tangan dengan cepat merebut gelas dari genggaman jemari Karina.

“Hey — ”

Ucapan Karina terhenti kala mendapati siapa yang ada di sampingnya. Mata gadis itu semakin membulat kala melihat pemuda tersebut perlahan menyesap gelasnya. “Za! Stop it! Lo kan gak minum.”

Tangan Karina yang sudah tergapai untuk merebut kembali gelasnya dengan cekatan ditahan oleh Haza. “I do, sometimes. Kalau lagi minat aja.” ucapnya santai. Karina mulai merengek, “But it’s a martini. Katanya lo mau jagain gue? Yang ada lo juga teler kalau minum itu,” Tangan Karina kembali berusaha menggapai gelas martini yang memang sengaja dijauhkan oleh Haza. “I’ll give it back to you kalau lo janji bakalan minumnya pelan-pelan. Ini gelas lo yang ke berapa?”

“Iya-iya janji. Siniin dulu.”

“Jawab dulu, ini gelas ke berapa, Karina Amarabel?”

Karina mendengus sebal, “Pertama.”

“Mana ada pertama, you already reeks of alcohol.”

Gadis tersebut membulatkan matanya lantas menyabet gelasnya kembali, “Ya makanya gausah kesini!” ucapnya marah. Haza akhirnya memilih untuk duduk di samping Karin. Menatap gadis itu dengan perasaan yang campur aduk di dalam dadanya.

“Sorry.. lo tau kan omongan gue suka nyebelin when I didn’t really mean it?”

“Gue lagi gamau meduliin itu. You’re basically just an asshole kalau lagi kayak gini. Ngomong seenak jidat lo, berbuat semau lo, apalagi ya? Kalau memang lo lagi berbuat semau lo, gausah mengharapkan orang lain bereaksi kayak yang lo mau juga lah. Gue juga mau bereaksi semau gue.”

Haza menghela nafasnya kasar. Ini sungguh tipikal Karina jika sudah marah kepadanya. “So now, tell me, what bothers you?”

“You,” jawab Karina cepat. Haza mendelik, “That’s not what I meant.”

Karina menatap tajam Haza di sampingnya. Gadis itu jelas mulai perlahan kehilangan kesadarannya. “Kak Maraka..” ucap Karina begitu pelan hingga suaranya nyaris tenggelam di tengah dentuman musik. Haza menelan ludahnya sendiri. Maraka?

“Kenapa lagi lo sama Bang Maraka? Bukannya lo udah nganggep dia kayak kakak lo sendiri pada akhirnya?” tanya Haza pelan-pelan karena ia ragu jawabannya tidak akan mengejutkan dirinya. Semoga bukan kayak dugaan gue dong…, batin Haza sendiri.

“Gue ternyata gabisa liat Kak Maraka sama cewek lain, Za.”

Deg. Kini, Haza sendiri juga mulai kalut.

“Gue gak suka liat Kak Maraka bareng Kak Arin, Za. I want what they do, I want what they have. Ternyata gue gabisa nganggep Kak Maraka sebatas kakak temen gue doang. He’s more than that.” Suara Karina semakin serak dan parau. Haza tahu, gadis itu pasti sedang mati-matian menahan isakannya.

“I think I love him, Za.”

Haza mematung. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa karena kini ia sedang kewalahan memunguti serpihan hatinya sendiri. Hati yang baru saja hancur kala ia mendengar kalimat berisikan kepastian yang selama ini dicari-carinya. Kepastian yang sebenarnya sudah menjadi dugaannya sejak lama namun terus ia bantah sendiri karena belum mendengar apapun dari Karina.

“It’s fucking hurts. Gue gak pernah expect bakalan kayak gini.. Kayaknya gue memang gak cocok deh soal romance thing gini. Dulu Rama, sekarang Kak Maraka. The one that I love never love me back. Gue sering mikir, apa ada ya orang yang suka dan sayang sama gue unconditionally? Kayaknya gaada deh.”

Udara di sekitar Haza mendadak menyesakkan. Bagaimana bisa ia tidak menderita jika melihat gadis yang ia sayangi bersedih karena orang lain? Ia tidak peduli akan keadaannya sendiri, yang sebenarnya juga lebih menyedihkan dibandingkan keadaan Karina, namun ia tetap memilih hancur karena melihat Karina sedih bukan karena keadaannya sendiri.

Love really makes you put yourself after your loved ones.

Haza memegang pundak Karina kemudian memutar posisi duduk gadis tersebut agar menghadap ke arahnya. “You need a hug?” tanya Haza. Karina mengangguk. Secara sukarela, Karina memasrahkan badannya dirangkum oleh tangan kokoh Haza. Pemuda itu menepuk-nepuk punggung Karina pelan dengan posisinya yang berdiri. Untuk memudahkan Karina juga melingkarkan tangan di pinggangnya.

“Pernah liat ke sekitar lo gak, Rin?” ucap Haza setengah berteriak, melawan dentuman musik yang semakin kencang karena hari semakin larut. Atmosfer club memang sangat berkebalikan dengan perasaan gloomy yang sedang mengitari dua muda mudi itu.

“Pernah gak lo ngebiarin diri lo dicintai sama orang lain dulu sebelum akhirnya lo ngelarang mereka?”

Karina yang sedari tadi menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Haza, mendongak, menatap pemuda itu dengan tidak mengerti. “Memangnya gue pernah ngelarang orang buat ngelakuin itu?”

“Secara gak sadar, lo sering banget ngelakuin itu. Lo kalau tau ada orang yang suka sama lo tapi lo nya BELUM tau suka sama mereka atau enggak, pasti udah kabur duluan. Padahal lo sendiri BELUM yakin kalau lo gak bener-bener suka sama mereka. You just don’t let others love you, Rin. When actually, you deserve all the love.”

Mata Karina sontak berkaca-kaca, lantas ia menggeleng, “I just feel like I don’t deserve their love and efforts if I can pay them back enough at very least with my feelings too. That’s why I did sort of things.”

“Padahal lo gak perlu ngerasa kayak gitu loh, Rin. Dengan lo ngasih mereka kesempatan dulu, it’s already a pay back for them. Let them try their best until they finally feel tired of it. Plus kalau mereka memilih buat nyoba, itu udah pilihan mereka. Harusnya mereka juga udah aware sama semua risikonya.”

“Nah itu. Gue gamau orang sampai ngerasa capek sama gue, Za. Gue gasuka sama after effectnya — ngerasa dibuang.” Suara Karin semakin bergetar karena kini perlahan air matanya meleleh. Tepukan perlahan di punggung Karina terhenti. Haza paham perasaan itu, sangat paham.

“You can try it without experiencing the after effect later, Rin.”

“Gimana caranya? Gue udah selalu ngelewatin fase itu, Za.”

“Meet the right person, Rin.”

Karina tertawa pahit, “Masalahnya sekarang juga belum ada.”

“Kata siapa gak ada? Again, lo udah liat ke sekitar lo belum?”

Karina mengerjapkan matanya kala ia sedikit demi sedikit mendapatkan kesadarannya kembali, sudah tidak benar benar di bawah pengaruh alkohol. Ia menelan ludahnya sendiri, menyadari satu kejadian yang memang sangat ia hindari semenjak ia berkenalan dengan Haza, bisa saja segera terjadi sekarang.

“Gak. Don’t say it now, Za.” Karina menaruh telunjuk di bibir Haza cepat-cepat, sebelum pemuda tersebut buka mulut. Haza membelalak, tidak menyangka gadis itu dengan cepat memotong maksudnya. Haza mengambil telunjuk Karin di bibirnya, menyingkirkannya perlahan, “Gue bahkan belum ngomong apa-apa loh?”

“I know. Your eyes tell me everything.”

“Tuh kan. Bener kata gue. Lo bahkan gak membiarkan orang lain nyoba dulu, Rin.”

“I’ll let you, Za. But please, don’t say the confession first. Later, Za.”

Jantung Haza mendadak berdegup abnormal begitu mendengar apa yang baru saja Karina ucapkan. “Hah?” ucap Haza sebagai bentuk kebingungan. Karina tersenyum dan sedikit tertawa melihat bagaimana lucunya wajah kebingungan Haza. “Gue gak ngulang omongan yang sama dua kali, Za. Terserah lo mau iya atau gak sama sekali.”

“Mau lah! Gila ya lo?”

Haza langsung memeluk Karina erat, “Let me do it properly ya, Rin? Kalau misalnya ternyata gue mau mutusin buat berhenti, gue bakalan bilang ke lo tanpa pergi mendadak gitu aja. I won’t let you feel the same way as what others already made you feel that way.”

Terasa anggukan pelan dalam pelukan Haza. Semoga, semoga memang hal itu yang terbaik untuk mereka berdua.

--

--

aurevoiruna
aurevoiruna

Written by aurevoiruna

kindly check my writings at twitter @aurevoiruna

No responses yet