– storm.
sometimes in life things just ain’t meant to be.
“You’re nervous?” bisik Arel yang duduk di samping Nata. Mereka berdua kini telah duduk di antara kontingen lain di section Ekonomi, menunggu pembacaan hasil OSN – pengumuman peringkat dan juga pengalungan medali. Nata mengangguk sebagai jawaban. Kedua tangannya saling bertaut erat disertai hati yang merapal doa agar Tuhan memberikan kesempatan padanya agar bisa membawa pulang medali emas dengan peringkat satu. Di dalam OSN, peserta yang meraih medali emas, perak, dan perunggu tidak hanya berjumlah satu orang saja per medalinya, melainkan beberapa sehingga ada sebutan medali emas satu (medali emas dengan peringkat nilai pertama/satu) dan seterusnya.
“Hari ini juga pengumuman nominee Oswald awardee kan ya, Nat?” tanya Arel lagi. Kecemasan semakin mengisi penuh gadis itu. Lagi-lagi, Nata hanya menjawab lewat anggukan. Mulutnya terkatup rapat karena tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun, terlalu gelisah dan cemas.
Pengumuman dimulai dari subjects biologi terlebih dahulu. Nata memasang telinga, ingin mendengarkan apakah nama Satria disebut. “Untuk kategori perak, Satria Adiwijaya, Nathanael Hasibuan ,— ” Suara tepuk tangan dan sorakan riuh rendah mulai kembalo menggema, memenuhi ballroom besar tempat pengumuman berlangsung. Satria berhasil mendapat perak satu.
Lanjut dengan pengumuman subjects matematika. Jantung Nata dibuat berdebar. Pembacaan pemenang biasanya memang dimulai dari tingkatan perunggu lalu naik ke perak dan baru ke emas. “Untuk kategori emas, Tezar Novano, Ariel Kinanti, — ” Sorakan riuh rendah langsung membahana, terutama berasal dari kontingen DKI Jakarta karena kini mereka memimpin perolehan medali dibandingkan dengan provinsi lain. Selangkah lebih dekat menjadi juara umum.
Saatnya mata pelajara Ekonomi diumumkan. Nata meremas kedua tangannya sendiri. Ia memejamkan mata rapat-rapat dengan mulut mulai ikut merapalkan doa. Semoga emas satu bisa menjadi miliknya tahun ini. Kesempatan terakhirnya setelah dua kesempatan sebelumnya dia sudah gagal. Menjadi jenius tetap saja tidak cukup, keberuntungan juga setidaknya harus memihak.
“Untuk kategori emas, Christopher Adikarya, Natasha Rutherford, — ”
Nata membuka matanya terkejut. Sungguh, rasanya ia bak disambar petir di siang bolong. Jika namanya disebutkan di urutan kedua.. itu berarti dia mendapatkan emas dua dan bukannya emas satu. Again? Cuma emas dua?, tangan Nata spontan tremor. Kepalan tangannya semakin mengerat hingga buku tangannya memutih. Kilasan memori buruk tentang betapa bengisnya Mami setiap kali dia tidak menjadi yang pertama dengan segera memenuhi benak Nata, membuat gadis itu secara tidak sadar memejamkan matanya karena ketakutan.
“Nat?? Siap-siap maju.” bisik Arel. Ia khawatir kala melihat ada sesuatu yang tidak beres dengan Natasha. “Gu-gue gak sanggup,” lirih Nata pelan di tengah riuh rendahnya sorakan anak-anak yang masih antusias mendengar pengumuman. Arel mendekatkan dirinya kepada Nata, “Apa, Nat? Gak kedengeran?”
Nata lantas hanya dapat menggeleng, “Gak jadi. Gapapa.” Arel menyentuh tangan Nata yang mengepal terlampau erat, “Are you sure? Tangan kamu dingin loh, Nat.”
“Iya, Rel. Gapapa kok..” Nata menyingkirkan tangan Arel darinya kemudian berdiri, berjalan menuju panggung untuk mendapatkan pengalungan medali. Arel menggigit bibirnya, “Gimana kalau dia tahu nanti ya…” gumam Arel, teringat akan kabar yang diberitahu oleh ayahnya tadi pagi.
Rel, kamu temenin Natasha Rutherford ya. Takutnya dia gak kuat.
Entah apapun itu yang akan terjadi, Arel merasa sesuatu yang sungguh buruk menghampiri dengan pasti di tengah momen yang seharusnya menggembirakan ini.
Begitu Nata sudah dapat turun dari panggung, gadis itu dengan segera melesat ke arah toilet terdekat karena mendadak merasa mual. Nata memang sering sekali merasa mual akibat jantungnya berpacu terlalu cepat. Serangan panik yang diderita Nata akhirnya kambuh lagi setelah sekian lama. Perolehan medali OSN tahun ini memang bak tiket terakhirnya untuk dapat segera lepas dari kekangan Mami. Ia hanya bisa berharap Tezar mendadak tidak mendaftarkan diri ke dalam nominee Oswald awardee. Tezar adalah satu-satunya saingan terbesar Nata dalam Oswald.
Nata langsung masuk ke dalam kamar mandi dengan nafas terengah dan memuntahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan bening. Ia sama sekali belum mengonsumsi apapun sedari pagi karena kecemasannya yang berlebih. Nata terduduk lemas di atas tutup kloset seraya melakukan flush. Kedua tangannya menutup wajahnya erat-erat, berusaha menghalau sinar yang ingin masuk ke matanya. Ia perlu memfokuskan diri beberapa saat untuk mengusir rasa cemasnya.
But she ended up crying so hard for 30 minutes.
Bayang-bayang pukulan Mami bahkan sudah membuat Nata merasakan denyut nyeri di lengannya, dahinya, kakinya, dan anggota tubuh lain yang biasa menjadi sasaran kekerasan Mami hanya karena wanita tersebut tidak dapat mengontrol anger nya. “Gimana gue bisa ngehadepin Mami ya…” isak Nata putus asa. “Gamau pulang…”
“Gue gagal ya…”
“Apa sebaiknya gue nyerah aja ya terus nyusul Kak Louis? Tapi gak perlu harus nunggu kejadian kayak Kak Louis, gue aja yang ngakhirin sendiri..”
Pintu kamar mandi mendadak digedor kencang. Nata terperanjat sendiri dibuatnya. “ADA ORANG!” teriak Nata galak. “Siapa sih kok brutal banget ngetuk pintunya.”
Ketukan kencang itu kembali terdengar beberapa kali, membuat Nata mau tak mau akhirnya bangkit dari posisinya. Sedikit limbung untuk beberapa saat karena kakinya kesemutan. Ketika pintu terbuka, rasanya Nata ingin buru-buru kembali menutupnya karena mendapati Tezar ada di hadapannya dengan raut wajah khawatir.
Dengan cekatan, Tezar langsung membawa Nata ke dalam dekapan eratnya. Begitu erat hingga rasanya Nata bisa kehabisan nafas. Namun, di antara seberapa erat pelukan itu, Nata dapat dengan jelas merasakan ketakutan Tezar yang tidak terucap dalam kata. “Za — Zar…” cicit Nata gugup. Rasanya, kaki Nata berubah seketika menjadi agar-agar saking salah tingkahnya. Jika saja Tezar tidak memeluknya kencang, ia yakin sudah merosot ke atas lantai daritadi.
Beruntung, kamar mandi di lorong ini sangat sepi karena memang acara di dalam belum bubar dan Nata memang sengaja memilih toilet yang paling sepi untuk memastikan tidak akan ada orang yang menganggu tangisnya.
“Gaada kata nyerah dalam hidup, Nat. Jangan.” bisik Tezar parau. Nata melebarkan matanya sempurna. Daritadi… suara gue kedengeran sampe luar? Daritadi Tezar ada di depan pintu?
Nata buru-buru mendorong tubuh Tezar menjauh karena malu. Berarti dia denger gue nangis dong daritadi?
Tezar looks like he’s taken aback setelah didorong oleh Nata. Detik berikutnya, wajah datarnya itu kembali.
“Sorry. It’s a mistake.”
Nata memandang pemuda di hadapannya dengan tidak percaya, “What’s that you call by a mistake? With that sore and trembling voice?”
“You’ll be okay, Nat. You’ll be an Oswald awardee. Mami won’t get mad at you.” Lagi, kebiasaan jelek Tezar dalam menghindari pertanyaan, terpampang nyata buktinya. Nata tertawa mencemooh, “Oh.. Tezar being a psychic that can predict the future is back?”
“Well, I guess you can always predict the future right if you do things in the right way. And I always do the right thing.”
“Like leaving me in a sudden and sent someone to calm me down instead give me some explanations? Is that the right thing too?” sela Nata dengan emosi dalam nada suaranya. Ia marah. Benar-benar marah.
Tezar mengangguk tanpa ragu sedikit pun, “That’s the most right thing to do in my life.” Masih dengan raut wajah datarnya, netra Tezar tidak pernah lepas dari manik mata Nata yang menampilkan seberapa kalut gadis itu.
“You act like we were nothing, Zar. You’re the one that started everything and you’re the one that also end everything, in a really terrible way.”
“I didn’t come here to argue with you, Nat. Gue cuma mau ke toilet makanya gue gak sengaja denger semuanya. Thus, it’s a mistake that I hugged you earlier. I just got panic knowing that someone’s life is on a line.”
Bohong. Tezar berbohong. Kala melihat Nata langsung berlari keluar dari ballroom setelah selesai menerima medali, Tezar langsung menyusul langkah gadis kecil itu. Ia tahu, Nata pasti akan kembali menyalahkan diri sendiri karena tidak mendapatkan hasil sesuai dengan targetnya. He knows really well how Nata can be so reckless.
Nata memilih diam dan hanya menatap Tezar selama yang ia bisa, ia ingin merekam baik-baik bagaimana pemuda itu terlihat dari dekat. Sebelum Tezar mendadak kembali pergi darinya tanpa aba-aba. Gadis tersebut membenci fakta jika ia masih sangat menyayangi pemuda di hadapannya yang bahkan sudah terlihat baik-baik saja tanpanya. And she also hates the fact that she still want to keep this bastard by her side.
“Lo tuh salah masuk toilet tau. This one is for a man.” Tezar menyambung kembali kalimatnya, melihat Nata seperti tidak berniat berucap sepatah kata pun. Jarinya menunjuk ke arah sign yang menandakan toilet pria, tepat di atas kepala Nata.
Mata Nata membelalak lantas ia mendongak kaget. Tezar tidak tahan untuk tidak mengulum senyumnya kala ia melihat wajah kaget Nata yang masih selalu…… menggemaskan di matanya.
Iya, Tezar tidak pernah memilih untuk berhenti menyukai Nata. Ia hanya memilih untuk ‘terlihat’ tidak menyukai gadis itu untuk sementara waktu hingga semuanya baik-baik saja. Semuanya sudah dalam perhitungannya. Ia tidak masalah jika Nata membencinya hingga nanti, yang paling penting, dia tahu, hatinya sekarang masih dan mungkin selamanya akan masih milik Nata. It might too early to claim that it’s a forever, but somehow Tezar knows, he won’t fall for other girls anymore.
Kaki Nata langsung membawa gadis itu melangkah menjauh, namun sekali lagi, Tezar kembali menahannya. “Is it not enough to humiliate me like that? Let me go.” bentak Nata, terdengar marah padahal sebenarnya ia hanya tidak dapat menahan malunya yang penuh hingga ubun-ubun.
“Please live your life happily from now on ya, Nat. I’m sure flowery path awaits you after all of this storm.”
Nata menatap Tezar sengit, “What’s your point?”
“Thank you. For have let me feel about how to love and being loved.”
Jiwa Nata sedikit tergetar ketika lagi-lagi ia merasa Tezar selalu mengucapkan kalimat tidak langsung tentang perpisahan. Perpisahan yang berarti pemuda tersebut akan pergi dan tidak akan pernah kembali lagi. Mata Nata mendadak terasa panas. Lo udah cukup banyak nangisin Tezar, Nat. Get yourself together, Nata mati-matian melawan balik arus emosinya.
“You’re very welcome. So now, can you let me go?”
Tezar langsung melepas cengkramannya pada pergelangan tangan Nata, “Sure. Sorry.”
Pandangan Nata terpaku sesaat lagi, entah kenapa ia merasa Tezar seolah ingin menyampaikan sesuatu yang lain lagi dari kilat matanya. “Lo masih mau disini? Di depan toilet cowok? Kalau dikira mesum gimana?”
Kembali lagi dengan Tezar dan sifat menyebalkannya. Nata malah tersenyum tipis, setidaknya ia merasa masih mengenal sisi Tezar yang ini.
“Take care.” ujar Nata sebelum akhirnya berlalu pergi meninggalkan Tezar.
Pemuda itu menghela nafasnya panjang, “Habis ini semuanya berakhir kok, Nat..”
“NATAAAAAAA!!!”
Teriakan penuh semangat itu membuat Nata dengan cepat berlari dan menghambur ke pelukan sahabatnya, Sasha, di tengah ramainya hamburan peserta yang baru keluar dari ballroom. “SHAAAA! You really come!”
“Sejak kapan sih gue ingkar sama omongan gue sendiri. Mana Satria sama Jiano? Harusnya udah keluar juga kan barengan sama lo?”
“Seat nya anak Biologi sama Astronomi ada di ujung yang berlawanan sama gue. Mungkin mereka keluar lewat pintu yang satunya. Mau kesana aja?”
Sasha mengangguk. Tangannya mengulurkan sebuket besar bunga mawar putih kepada Nata. Gadis itu menerimanya dengan senyum sumringah, “Repot-repot amat sih, Sha. Thanks loh.” Sasha hanya mengangguk seraya tersenyum samar, “Sama-sama. Yuk, jalan ke pintu satunya yang lo bilang itu. Gue udah gatahan mau meluk sama unyel-unyel Jiano. My lil kiddo super membanggakan pasti.”
Seiring dengan langkah yang semakin mendekat, kening Nata mengeryit melihat banyaknya orang-orang membawa kamera. Terlihat seperti jurnalis. Nata tahu perhetalan besar semacam OSN ini pasti akan diliput oleh wartawan, namun apakah sampai sebanyak ini?
“Rame banget deh, Nat? Udah kayak mau gala premiere film aja.” komentar Sasha heran melihat banyaknya jurnalis, seperti apa yang biasa ia lihat apabila datang ke gala premiere film mamanya.
“Gatau deh, harusnya sih gak sebanyak ini.”
“KAK NATTT! KAK SHAAA!” Suara familiar itu membuat Nata dan Sasha memicingkan mata untuk memfokuskan pandangan ke arah kerumunan, mencari pemuda jangkung dengan senyum bak anak kecil itu, berlari ke arah mereka. Siapa lagi kalau bukan Jiano Rutherford.
Ketika Jiano belum setengah jalan menghampiri Nata dan Sasha, pemuda itu mendadak terseret arus kerumunan jurnalis yang mendadak menyerbu ke satu titik. Membuat Nata dan Sasha melebarkan matanya sempurna karena terkejut bukan main. Kerumunan jurnalis bergerak bak ombak besar yang melenyapkan sekelilingnya dengan cepat.
“What is that…..” gumam Sasha terkesiap. Mata Nata memicing kembali berusaha melihat apa yang dikejar oleh para jurnalis itu. Sedetik kemudian, matanya kembali membelalak hebat kala menyadari siapa yang menjadi objek penyerbuan.
“Tezar..”
“Hah?”
“They’re coming after Tezar, Sha.” Nata bergegas berlari ke arah kerumunan itu, Sasha dengan tergopoh berusaha menahan Nata, “NAT! NGAPAIN SIH?”
Nata lambat laun mulai mereka skenario di dalam otaknya, menyadari segala kemungkinan yang terjadi. Jangan bilang karena kasus yang dibuka lagi kemarin itu?
Sebelum Nata berhasil mencapai kerumunan tersebut, mendadak terdengar erangan para jurnalis yang membubarkan diri. Sebuah Porsche berwarna abu-abu pun melintas kencang melewati lobby. Jelas sekali, itu mobil kepunyaan Tezar.
Lagi-lagi, Nata tidak habis pikir. Apa sih yang sebenarnya sedang terjadi?
“Wow… gue kaget banget tadi. Gue gak nyangka jurnalis sampe ngejar Tezar ke venue OSN cuma buat nanyain masalah kasus keluarganya??” Jiano mendadak sudah ada di samping Nata dan Sasha yang masih tertegun. Pemuda itu nampaknya tak kalah terkejut ketika terbawa arus tadi.
Nata menggigit bibirnya dengan gugup. Ia merasa Tezar seperti sedang menutupi sesuatu yang begitu besar. What is it, Zar?