– stop looking.
“Can you guys please stop looking at your phone especially Nata and Jiano!” protes Satria kala melihat Nata dan Jiano malah terfokus netranya pada layar ponsel masing-masing. “Satria is right. What’s the point that I threw off a party for us if you seems didn’t want it?” timpal Sasha, terselip sedikit nada kesal.
Alasan dari masing-masing orang itu tentu sangat berbeda. Nata sedang berusaha mencari Tezar kemanapun ia bisa, menghubungi seluruh relasi yang ia punya dan mungkin mengenal Tezar. Selain karena memang perintah Mrs. Chelsea, perempuan itu memang murni khawatir akan keadaan Tezar.
Sementara, Jiano sendiri pura-pura sibuk dengan ponselnya sebab sedari tadi ia dengan jelas dapat menyaksikan bagaimana Sasha terus-menerus berusaha menarik perhatian Satria sementara Satria sendiri terlihat amat khawatir karena Nata tidak tenang. Jiano hanya berusaha melipur laranya sendiri. Untuk tidak menyakiti dirinya sendiri sekaligus menahan diri agar tidak menyeret Sasha menjauh dari Satria.
“Tezar gak akan mendadak muncul walaupun lo mantengin HP lo sampe mata lo keluar.” Lagi, Satria terdengar sarkas dan jelas menggambarkan perasaan tidak suka. “Gabisa. Siapa tau dia mendadak bales chat gue, Sat.”
“STOP BEING SO SILLY! Apa sih yang lo cari, Nat??? Kabar dia buat apa?? Maybe he dissapeared because he need to take care of his own problems that we all don’t know what is it about.” Bentakan Satria membuat Nata melemparkan pandangan tajamnya kepada sahabatnya itu, “If you’re jealous because of him right now, I’m kinda confused. Are you genuinely don’t worry about him at all?? He’s one of our school team, Sat. Stop being so childish. I just do what a coordinator should do and I genuinely worried as his friend. Something bad might happen to him.” ketus Nata. Satria terkesiap melihat bagaimana tersinggungnya Nata sekarang. “Sorry.. I’ve crossed the line.” cicitnya takut.
Nata kembali mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Satria menghembuskan nafas panjang, ia akhirnya memilih mengalah – meletakkan tongkat billiard yang sedang dimainkan bersama Sasha – kemudian duduk di sofa ruang tengah vila, tepat di samping Nata. Ia pun mengeluarkan ponsel juga, “Aku bantu cariin ya?” tanyanya lembut. Nata tersenyum miring, “Kalau terpaksa karena gue, mending gak usah, Sat. Cuma bikin lo capek aja. Main sama Sasha aja.”
“Iiihhh aku serius mau bantuin, Nat. Ya? Nih I chat all of my friends that might know him or any relations that is related to him. Udah ya jangan marah ya? Aku minta maaf.. I’m being childish. It is.” bujuk Satria. Pemuda bongsor itu menggelendot di bahu Nata seraya menusuk-nusuk pipi Nata dengan telunjuknya, berusaha mengambil atensi Nata yang mengabaikannya sedari tadi.
Sasha mengeratkan genggamannya pada tongkat billiard yang beberapa saat lalu masih digunakannya untuk bermain bersama Satria. Sia-sia, kehadiran Nata dan Tezar di hadapannya secara bersamaan sungguh menyadarkan Sasha bahwa ia tak punya celah apapun lagi dalam hubungan itu. Jiano memerhatikan Sasha yang sedang tenggelam dalam emosinya. Terburu, Si Bontot itu akhirnya menghampiri Sasha.
“Yuk, jalan-jalan ke luar aja. Stop looking at them. It just will hurt you more.” gumam Jiano rendah tepat di samping Sasha. Gadis itu terlihat seperti berhenti berfungsi. Tak mendengar Jiano sama sekali. Baru bereaksi kala hangat genggam Jiano menyapa pergelangan tangannya. “Yuk, ikut Jiano, Kak.” ajak Jiano lagi begitu pandangan Sasha jatuh tepat pada manik matanya. Senyum Jiano seolah menjadi mantra agar Sasha menurut saja. “Ayo.” respon Sasha yang langsung disambut dengan sebuah tarikan lembut dari Jiano agar gadis itu dapat mengikuti langkah panjangnya.