- shoot.
they usually say that you have to aim and shoot at the right time.
“Your mom is getting better?”
Sera menoleh kala mendapati sosok Matteo kini sudah berada di sampingnya, mengulurkan satu cup americano hangat. Cuaca cukup berangin di Anaheim hari ini. Dan Sera memilih untuk berdiri di luar studio menenangkan pikirannya. Tangannya terulur menerima cup kopi itu lantas tersenyum tipis, “Thank you. Emmm soal Mama.. Oke lah.”
“Then why are you look so down? Ada masalah lain?”
Sera terdiam sejenak. Kak Sena, jawabnya dalam hati. Gadis itu memilih untuk menggeleng, “I’m okay, don’t worry. I’ll be professional when it comes to work. Photoshoot hari ini pasti lancar kok.”
“Well kalau masalah professional atau enggak, I believe in you. Gak mungkin lah super model kayak lo gak bisa misahin urusan pribadi sama kerjaan.”
Sera lagi-lagi tersenyum, “Thank you for believing in me like that.”
“As I should, Anne.”
Kini, manik mata Sera mengamati Matteo dengan saksama. Rasa penasaran itu muncul kembali, “You haven’t answer my question in airport awhile ago, Dam.”
Matteo terlihat terkejut, “A-about?” gagapnya. Ia menelan ludahnya dengan susah payah. Entah kenapa ia merasa belum siap akan fakta jika memang Sera tidak pernah mengingatnya sedikitpun ketika ia sendiri mati-matian menjaga seluruh memori bersama gadis tersebut yang membekas dalam benaknya.
“Why you keep calling me with Anne and why it sounds familiar also you look like have been doing it since forever to me?”
“Ah itu — ”
“Matt! Mbak Sera! It’s all set.” Kio berlari menghampiri mereka, mengabari jika set untuk photoshoot sudah siap. Matteo menghembuskan nafasnya kencang, bentuk kelegaan. Sera mengangkat sebelah alisnya. Sesuatu terasa janggal, sangat janggal bagi gadis itu.
“You have to tell me about it waktu kita dinner sama team nanti ya.” peringat Sera kepada Matteo sebelum akhirnya mereka berdua masuk ke dalam makeup room. Matteo hanya mengangguk seraya kepalanya mulai dipenuhi dengan skenario bagaimana ia bisa menghindari pertanyaan itu kembali nantinya.
“This is perfect!”
Suara panggilan di belahan dunia lain itu membuat Sena dan Alika saling bertepuk tangan kegirangan. Sesuai janji Sena kepada Alika semenjak pemuda itu tertarik dengan musik yang dibuat Alika, Sena mengenalkan Alika kepada mantan produsernya di Indonesia yang dulu selalu mengurus seluruh kebutuhan rekaman album Sena. Dan nampaknya, hasil kerja keras Alika beberapa tahun ke belakang untuk membuat lagu demo dalam rangka mengisi waktu luangnya, atau lebih tepatnya pelariannya, akhirnya dapat berbuah manis.
“Sayang banget loh talent segede ini dibuang gitu aja, Alika. Kamu yakin gak mau sign contract sama label kita? Bayaran kamu nanti juga gak kalah jauh dari jadi CMO di Bitna Label kalau semua track kamu sukses. But I bet all of these will be a big hit.”
Perasaan senang begitu membuncah di dalam diri Alika. Sungguh, Alika bahkan tidak ingat kapan kali terakhir ia bisa merasa sebahagia ini. Semenjak kedatangan Sena, jika dipikir-pikir, Alika merasa hari-harinya terasa lebih menyenangkan dan dapat dijalani dengan lebih mudah. Karena hatinya tenang, nyaman, damai, serta senang.
“Ah, I’ll think of it again first, Al. Thank you for the offer also the help to make my demo song sounds like an actual studio version.”
“Sen bujuk lah itu temen lo. Lo tahu kan gimana berbakatnya dia sama offer yang gue bilang pun gak main-main? Di Indo lagi kurang solois cewek yang oke nih.”
“Iya gampang, Al! Serahin aja ke gue. Anyway, thanks ya udah mau ngeladenin requestan gue. See you in Jakarta soon!” ucap Sena tak kalah bersemangat menanggapi Aldi, mantan produsernya itu.
Alika is smiling ear to ear, menghadap ke Sena. Tak dapat menahan dirinya, ia memeluk Sena erat-erat. “Wah gila I don’t even dare to dream about this kind of thing!!! Sen, thank you banget!!” pekik Alika, masih full of excitement. Sena tersenyum tipis. Ia menepuk punggung Alika dua kali kemudian mendorong Alika menjauh dari dekapannya. Ia tempatkan kedua tangan di pundak Alika, membuat gadis itu kikuk, “Ah sorry, gak seharusnya aku gitu. My bad.”
“Gapapa, saya paham kok. Saya bangga sama kamu, Alika. Aldi gak segampang itu loh buat amazed sama sesuatu. You really have big potentials.”
Alika menggeleng, “Kalian gini cuma buat bikin aku seneng kan?”
Sena menggeleng cepat, “Gak lah, ngapain saya dan Aldi bohong, Lik? Kamu memang luar biasa.”
Pipi Alika memanas. Ia membuang pandangannya dari Sena yang sedari tadi lekat memandangnya pas di manik mata. Ia buru-buru menarik dirinya menjauh sebelum Sena semakin melihat kelakuan salah tingkahnya. Bel apartemen Alika berdering, menandakan makanan pesan antar yang sudah mereka pesan sedari tadi akhirnya datang. Seperti biasa, setiap hari Rabu, Jumat, dan Minggu malam, Sena dan Alika menghabiskan malam bersama, membahas banyak hal soal musik. Hal kesukaan mereka berdua. Sesuatu yang tidak dapat Sena dapatkan dari Sera. Sera mungkin memang bisa memberikan feedback yang cukup awam, namun tidak secara teknikal.
“A — aku ambil dulu makanannya.” ucap Alika seraya beranjak dari karpet ruang tengah. Sena menahan lengan Alika, “Saya saja. Duduk saja atau siapkan piring dan gelas ya?”
Sena segera pergi ke arah pintu sementara Alika semakin kewalahan menghadapi detak jantungnya sendiri. Segala tindakan kecil yang diberikan Sena memang sungguh membuat seseorang berdebar hingga rasanya mau gila.
Kio memicingkan matanya melihat bagaimana dalamnya tatapan Matteo ke arah Sera selama shoot iklan sedari tadi. Kakinya mengetuk dengan gelisah. Sebagai sesama lelaki, Kio paham betul apa arti dari pandangan semacam itu. Pandangan jatuh cinta yang sudah terlampau lama, terlihat cukup putus asa juga.
Pemuda itu menggigit bibirnya resah, “Sebenernya Matt tuh udah kenal Mbak Sera dari lama apa gimana sih? Dia ada ambisi buat ngerebut Mbak Sera? Lagian kenapa sih Mas Sena tuh mendadak ngebatalin flightnya? Bukannya dia gak rela ya kalau liat Mbak Sera sama Matt barengan gini? AHHHH FUCKK gue bingung sendiri.” Ia mengusak rambutnya frustasi.
“Mbak! Matt!” Kio melambaikan tangannya begitu melihat Sera dan Matteo sudah membungkukkan badan mereka kepada beberapa staff, berterimakasih atas kerja keras mereka. Lambaian tangan Kio terhenti kala melihat Matteo dan Sera pergi ke arah lain, seolah tidak melihatnya. Mata Kio membulat kaget, “Hah, mereka mau kemana..”
“Keluarga kamu tinggal di Anaheim?” tanya Sena kepada Alika yang sedang sibuk mengunyah pizzanya. Alika mengangguk sebagai jawaban terlebih dahulu karena mulutnya masih penuh. “Dari kapan tinggal di Anaheim?”
“Sekitar 10 tahun lalu? Lumayan deket sama daerah Disneyland sih.”
Sena mengangguk-angguk. “Kayaknya keluarga kamu cukup mencar-mencar ya?” Alika lagi-lagi mengangguk karena Sena selalu bertanya kala ia baru saja menyuap makanannya. “Kamu berapa bersaudara sih?”
“What’s wrong deh Sen? Kamu kayak petugas sensus aja mendadak nanya-nanya soal keluarga.”
Pemuda itu tertawa. Namun entah mengapa suara tawanya terdengar canggung. “Eh iya ya? Sorry kalau jadi kurang nyaman. Penasaran aja soalnya kok kayaknya kamu multitalenta banget kayak gini. Pasti keluarganya juga hebat.”
Lagi, Alika merasa udara di sekitarnya memanas. Kenapa Sena tuh pinter banget bikin orang salah tingkah sih?, rutuk Alika. Sebagai seseorang yang sangat jarang menerima pujian, words of affirmation dari Sena seperti ini sungguh mudah membuatnya salah tingkah. Bisa-bisa jantung gue meledak kalau Sena kayak gini terus, omel Alika lagi.
“Sejujurnya, Mama gak sepeduli itu sama aku kecuali aku ngikutin semua kemauannya beliau. Contohnya ya… jadi seorang Alika yang sekarang. Padahal kamu tahu sendiri aku gak pernah minat sama bidang bisnis kayak gini. Aku juga ngelakuin ini semua hanya buat dapet atensi Mama. Biar dianggap jadi anaknya Mama.”
“Kalau Papa kamu gimana, Lik?”
“Well.. sejujurnya kalau Papa..”
Alika terhenti sesaat. Ia terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. Sena dengan cepat menangkap gestur itu. “Kalau gak bisa cerita gak apa-apa kok.” ucap Sena. Jemari Alika mengetuk di atas meja, “Sebenernya.. bukan gak mau cerita. Aku cuma malu.”
“Malu?”
“Actually, aku gak pernah punya sosok Papa yang tetap.”
Kening Sena mengerut, “Maksudnya gimana?”
“Mama cuma menikah siri sama Papa. Well, habis itu.. Aku sama kakak aku juga jarang banget ketemu sama Papa. Also, Mama deket sama banyak banget cowok sampe aku sendiri gak bisa ngehitung.”
Mata Sena membulat sempurna. Merasa ini memang topik yang terlalu sensitif untuk dibahas. “Sorry. Harusnya saya gak maksa kamu buat cerita.”
Alika tersenyum, memberikan tanda bahwa ia baik-baik saja, “Kan tadi aku sendiri yang memutuskan mau cerita atau enggak. And I chose to do so. Aku mau ngasih tau seluruhnya tentang aku ke kamu, Sen. If that will make any difference for us.”
Sena tersenyum simpul mendengar pernyataan gadis di hadapannya itu. Tangannya terulur menuju ke arah pinggir bibir Alika kemudian mengelap saus tomat yang belepotan. Gadis itu mengeratkan kepalan tangannya sendiri, menahan jeritan terkejut dalam hatinya melihat tingkah laku Sena yang lagi-lagi sungguh membuatnya salah tingkah.
“Kalau kamu merasa itu membuat perbedaan yang cukup signifikan, just do it. I’d love to hear about all of your stories, Lik.”
Deg.
Jantung Alika rasanya berhenti sesaat. Ia menatap Sena dengan tidak percaya sementara Sena hanya tertawa kecil melihat bagaimana tegangnya Alika kini di hadapannya.
“I’ll also tell you about myself, Lik.”
Lagi, Sena kini tersenyum penuh arti.
Got you, Alika Shamara, batin Sena sendiri.
Kio akhirnya memilih duduk di bangku taman yang berada di dekat keberadaan Sera dan Matteo. Kedua muda mudi itu kini berada di tengah taman belakang dari rumah yang dijadikan tempat shoot hari ini.
“So?” Sera mengawali percakapan dengan Matteo menggunakan satu kata singkat itu. Matteo menelan ludahnya dengan susah payah. Lagi, kegugupan melingkupi dirinya dengan ekstrem. Rasanya ia sungguh mau mengambil sprint detik ini juga untuk lagi-lagi kabur dari Sera dan tatapan tajam menyelidik kepunyaan gadis tersebut.
“Dam, come on.. Is it that hard to answer my question? Atau memang lo nyembunyiin sesuatu dari gue ya?”
Matteo menghela nafasnya berat. Kepalanya tertunduk, “Bukan nyembunyiin sesuatu, Anne. Gue cuma gak siap.”
“Gak siap kenapa?”
“Kalau-kalau ternyata cuma gue sendirian yang cherished all of those memories.”
Sera memandang Matteo dengan tidak mengerti. “Memories? Both of us? Kita pernah kenal sebelum ini?”
Matteo mengangguk sebagai jawaban. Sera melongo, “Hah? When? Where?”
Lagi, hembusan nafas berat terdengar dari Kio, “As expected, memang cuma gue sendirian yang pasti bakalan inget. Anak cowok culun kayak gue mana diinget sih sama lo?” Matteo berusaha memberanikan diri mengangkat kepalanya, ingin melihat reaksi Sera.
Culun?, batin Sera. Gadis itu memukul-mukul pelan kepalanya, seolah dengan melakukan itu ia bisa memperbaiki memorinya secara instan. “Duh, jangan kebiasaan mukul kepala gitu sih. Kok lo masih aja gak berubah dari dulu.” Matteo menahan tangan Sera. Membuat otomatis pandangan mereka kini bertubrukan. Posisi keduanya yang begitu dekat membuat Sera dapat dengan leluasa memerhatikan wajah Matteo baik-baik, sebagai upayanya mengingat.
“HAHHHHH??? DAMIAN? THAT DAMIAN????” Sera benar-benar terguncang begitu sekelabat memori langsung melintasi benaknya. Gadis itu menarik tangannya dari genggaman Matteo lantas mundur beberapa langkah karena masih terlalu terkejut. Sera menatap ke arah Matteo sekali lagi lalu mengalihkan pandangannya dengan segera. Membuat keadaan di antara keduanya begitu canggung. Matteo juga menjadi kikuk, tidak tahu harus berbuat apa.
“Lo inget gue…?” Nada suara Matteo jelas menunjukkan bahwa ia ragu Sera sungguh mengingatnya dengan benar. “You’re that pindahan boy yang pake kacamata bulat itu kan dulu? Yang suka dilemparin susu sama anak-anak lain?”
Matteo meringis, “Right.”
“God damn.. You’ve grown too well until I couldn’t recognized you right away.. Kenapa lo gak ngomong dari awal?! Gue selalu mau tahu soal keadaan lo abis gue pindah.. Gue takut lo kenapa-kenapa setelah gue pergi karena gak ada yang bisa belain lo lagi.”
“Gue bisa bela diri gue sendiri kok abis lo pergi. Tenang aja! Gue tahu lo bakalan sedih kalau gue diem terus waktu digangguin anak-anak lain.”
Sera tersenyum lebar lantas menepuk pundak Matteo dengan raut wajah yang bangga, “Good job, Damian! I’m so proud of you. Ya ampun.. Lo bisa jadi kayak gini aja gue shock banget jujur.. Oh my god.. It’s so good to know that you’re doing well up till now. I’m very happy right now. Thank you for hanging in there really well, Dam. I meant it.”
Matteo benar-benar terkesiap sekaligus terenyuh melihat bagaimana tulusnya seluruh ucapan Sera kepadanya. Sera benar-benar tidak pernah berubah dari dulu. Selalu memberikan rasa hangat yang sama lewat kata-kata serta senyuman. Hal yang sungguh membuat Matteo jatuh sedalam-dalamnya untuk Sera sedari dulu hingga tak ada seorang pun yang sanggup menggantikan posisi itu.
“Let’s go! Team udah nunggu kita buat lanjut ke tempat makan pasti! Thank you udah berani ngomong. Waaah, this is a great gift in the middle of chaos. I’ll treat you a really good martini afterwards. Yuk!” Sera menggaet lengan Matteo lantas menyeret pemuda itu untuk menyamakan langkah dengannya. Matteo sungguh kehilangan kata-katanya sendiri. Ia tidak menyangka jika respon Sera sungguh sebaik ini. Ketakutannya selama ini seolah sia-sia.
Namun, sebagai gantinya, Matteo sungguh melihat harapan yang cerah untuknya. Jika setidaknya, ia masih memiliki tempat dalam hidup seorang Sera Vivianne. Sekarang, semuanya tinggal tergantung usaha bukan?
I guess I shoot my shot right.., batin Matteo. Senyuman kini sepertinya akan terus bertengger di bibirnya minimal hingga seminggu ke depan. Ah, atau akan terus ada di situ jika memang Sera terus berada di sekitarnya.