— selasa, untuk yang kehilangan.
Seperti biasa, setiap hari Selasa, Emily sudah kembali ke kediaman Jake Liu untuk membantu membereskan dan menjaga tempat itu agar tetap bersih. Beberapa bulan belakangan, wanita itu sudah resmi menjadi pelayan untuk keluarga Noah dan Niel Liu karena memang penghuni kediaman Jake Liu satu satunya — Tezar atau Leon Liu — juga sudah menghilang entah kemana.
Ekor mata Emily melirik ke arah jam yang terpasang di ruang tengah yang luas dan megah itu. Suara vacuum yang bising menggema, ia matikan untuk memastikan bahwa tepat pukul 11 siang, dia akan mendengar bel berbunyi dan suara gemerisik interkom yang menyala. Natasha Rutherford, gadis yang selalu tepat waktu mengunjungi kediaman Liu setiap hari Selasa itu, merupakan tanggung jawab lain bagi Emily.
Sesuai mandat dari Leon Liu — atau biasa kita kenal sebagai Tezar — Emily melayani seluruh kebutuhan Natasha setiap kali gadis itu berkunjung. Matcha hangat serta brulee lasagna menjadi suguhan wajib yang monoton. Nata memang tidak pernah meminta apapun, namun Emily akan selalu menyediakannya demi melihat setidaknya seulas senyum tipis setiap kali sesuap lasagna atau sesisip matcha itu menyapa indera pengecap Nata.
Ting tong.
Sejurus kemudian, gemerisik statis dari interkom terdengar.
“Hello, is anybody home? Emily?”
Senyum simpul Emily terbit. Entah kenapa, ada sebuah kepuasan tersendiri kala ia merasa sudah menyiapkan semuanya pas ketika Nata kemudian datang. “Iya, Nona Nata. Sebentar ya saya bukakan dulu pagarnya. Atau mau buka sendiri? Face recognition Nona sudah saya daftarkan.”
Sistem keamanan kediaman Jake Liu memang hampir secara keseluruhan memakai biometrik. Baik itu memakai fingerprint ataupun face recognition.
“Eh?? Memangnya boleh?” Suara keheranan di ujung sana terdengar jelas. Pasalnya, Nata tahu bagaimana strictnya Jake Liu soal keamanan kediamannya.
“Tentu saja boleh jika Tuan Muda yang — ” Mata Emily membulat menyadari ia hampir membocorkan fakta bahwa ia masih berkontak dengan Tezar.
“Tuan Muda? Kamu masih bisa kontak sama Tezar, Em?”
“Silahkan mundur beberapa langkah agar wajah Anda dapat terdeteksi, Nona Nata. Saya akan segera mengirimkan golf cart untuk menjemput Anda.”
“Wait, Emily! Kamu belum jawab aku — ”
Suara Nata terputus dari interkom karena Emily menyudahinya dengan paksa. Wanita itu mengusap wajahnya kasar, frustasi akan kecerobohannya. “Come on, Emily.. Yang benar saja..” marahnya sendiri.
Selasa.
Sebelum mengetahui fakta soal Natasha dari Emily pun, Tezar juga sudah selalu meluangkan waktunya di hari Selasa untuk sekadar duduk termangu di sudut kafe di Boston. Kafe dimana ia tak sengaja bertemu dengan Natasha kala gadis itu pergi ke Boston untuk international olympiad nya.
Setelah hari itu mereka tak sengaja bertemu, entah ada satu angan kecil yang membuat Tezar semakin terpaku pada tempatnya. Angan bahwa entah darimana, gadis itu akan menemukannya kembali terlebih dahulu, sebelum ia sempat melarikan diri. Ah.. betapa ia sangat merindukan gadis itu. Hari-harinya sungguh terasa hampa. Ia kembali merasa sendirian.
Inilah perasaan yang tidak Tezar sukai. Perasaan yang membuat pemuda itu takut untuk membuka hatinya untuk sekadar peduli pada orang-orang di sekitarnya. Ia benci sepi yang menggerogoti batinnya itu. Walau kini ia dapat kembali bersama cicinya — Stefany Liu — rasa kosong itu ternyata tetap ada karena keteledorannya telah membuka hati untuk peduli terhadap seseorang. Keputusan yang besar, yang ingin ia sesali namun penyesalan sama sekali tidak timbul. Hanya rindu yang kini bisa mengisi relung dadanya.
“Would you like for another drink, Sir? Your cup already empty.” Pelayan kafe yang sudah sampai hafal akan kedatangan Tezar itu, menawarkan bantuan. Tezar terbuyar dari lamunannya, “Sure.”
“A hot matcha latte? It’s always like that for your round two.”
Tezar tersenyum samar seraya mengangguk, “Thank you.”
Pemuda itu memang biasanya akan membeli caffee latte terlebih dahulu baru memesan matcha latte. Sebagai pelanggan yang loyal, tentu saja pelayan dan barista kafe itu sudah hafal akan pesanan dan bahkan gerak-gerik Tezar.
Biasanya pukul 13.45 p.m., pemuda itu akan beranjak dari kursinya dan pindah ke restoran Italia yang ada di seberang jalan. Memesan lasagna yang bukan makanan favoritnya namun merupakan makanan favorit Natasha. Sama hal nya seperti memesan matcha latte yang ia benci namun merupakan favorit Natasha. He does all of it just to reminiscing Natasha’s presence. It’s a sequence of ‘tell me you’re deeply in love with someone without telling me you’re deeply in love with someone’.
“So you’re here all the time?”
Tezar terperanjat bukan main kala Noah kini mendadak sudah hendak akan duduk di kursi yang ada di hadapannya. Matanya membulat sempurna serta lidahnya kelu untuk memberikan reaksi.
“This is your matcha latte, young man. Anything you would like to have since you have new companion here?”
Belum selesai keterkejutan Tezar, kini mata Noah yang memicing sangsi, memandang bergantian dari gelas berisikan matcha latte itu ke arah Tezar, menambah teror bagi pemuda itu.
“Iced americano, please.” pesan Noah kepada waiter tersebut. “Noted. I’ll be back for a few minutes.”
Begitu waiter tersebut pergi, tatapan tajam Noah mulai menginterogasi, “You hate matcha so much, don’t you?”
Tezar langsung membuang pandangannya jauh-jauh dari Noah. “I don’t really hate it. It’s acceptable.”
“Kangen Nata ya?”
Mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut seseorang yang dikenalnya, membuat Tezar bak disambar petir di siang bolong. Terlebih, sedari kecil, Tezar agak sulit mengelabui Noah soal apa yang sedang ia rasakan. Kemampuannya untuk mengkamuflase perasaan seakan menurun di hadapan Noah.
Mati-matian berusaha menahan ekspresi wajahnya, Tezar hanya dapat berucap, “A little.”
“How can you know I’m here?” Tezar berusaha mengalihkan pembicaraan. Noah sadar namun ia memilih mengalah. “My bodyguards saw you always come here every Tuesday. I know you’re not into something that feels like a routine. So, definitely, something is happening. And I got my own answer after I saw a cup of matcha latte.”
Tezar mengembalikan pandangannya ke arah Noah dengan mata membulat sempurna. Ia lupa, Noah hampir menjadi pesaingnya dalam masalah akademik jika saja mereka berada dalam batch of class yang sama.
“Nata is fine. She wishes you a happiness also safeness for your new life. It’s hard for her but she’s holding on. She said to me a while ago that she’ll be the one that is searching for you in your next meeting. Hold her words tightly.” sambung Noah. Setidaknya, pemuda yang lebih tua setahun dari Tezar itu paham betul kalimatnya seharusnya bisa menjadi damai bagi Tezar setelah sekian lama.
Detak jantung Tezar rasanya menggila mendengar Nata kembali menjadi Natasha yang penuh dengan ambisi dan rasa tidak ingin kalah — in a positive way. Gelenyar perasaan yang sama masih terasa menyengat dirinya. Sungguh menandakan bahwa ucapannya terkait mungkin ia tidak akan bisa jatuh cinta lagi kepada siapapun — rasanya cukup terbukti.
“Lo planning bakalan berapa lama sembunyi terus dari orang-orang?”
“Tahun depan? Atau tahun depannya lagi? I don’t know, man. I just really hate about the idea of being a center of attention after all of these storms.” Tezar berlagak tidak acuh namun semangat yang semakin menurun hingga ujung kalimat menandakan betapa ia juga putus asa menjalankan seluruh ini.
“Elios sudah jadi tersangka. Harusnya gak terlalu lama lagi selesai kan?”
Tezar menggeleng, “Kalau Elios kooperatif terkait penyidikan dan persidangan mungkin semuanya akan berakhir cepat. Tapi, gue gak yakin. He already hid himself all these times terus waktu ketahuan lo berharap dia ngaku? Jelas gak mungkin kecuali banyak bukti dan saksi kuncinya.”
“Tapi gue yakin lo udah ngejahit semua bukti sama saksi kuncinya kan? Makanya lo berani open up kasus ini lagi?” sanggah Noah.
Pemuda yang lebih muda satu tahun dari Noah itu menggeleng, “Sebenernya masih ada beberapa hal yang bisa jadi hole buat Elios berkelit, but I’ll try my luck. He’s not really a Rutherford after all. He musn’t be that genius.”
“You better hope your plan will go just like what you wanted deh, Zar.”
Tezar mengangguk-angguk seraya tersenyum miring, “It’s strange that someone finally called me as Tezar again. I’m used to Leon now.”
Noah terkekeh pelan, “Why you look so sad? Aren’t you supposed to be happy because finally you can freely being yourself? Your truest self as Leon Liu?”
Kepala Tezar tertunduk lemas, “Maybe because… I’m afraid she will forget about me, about us, as that name dissapears.”
Tangan kanan Noah terulur untuk menepuk puncak kepala Tezar layaknya memberi comfort kepada anak kecil. “She won’t. Even if you change your name a thousand times, she won’t forget about you. If she needs, she will search for you until the end of the world. I know it sounds hyperbolic, but it is what it is. Nata is just being that girl with undefeatable spirit.” Suara menenangkan Noah ternyata memang selalu bisa meredam ombak emosi di dalam diri siapapun. Terlebih kemampuan word of affirmation seorang Noah Liu memang di atas rata-rata.
“I have to go. We can’t be seen by someone for too long. Or else you’ll get into trouble, Noah. See you. I’ll pay a visit to your place.”
“Dengan pemberitahuan tapi ya bukan diem-diem cuma naruh mainan atau makanan.”
Tezar meringis. Ia tahu Noah sedang menyindir tingkahnya kemarin saat memberikan hot wheels kepada Noah dan english breakfast kepada Nata ketika kedua orang itu mengunjungi Boston untuk pertama kalinya.