– runyam, selesai.
Sera kini menautkan jemarinya satu sama lain seraya menggigit bibir, gundah. Zacchio yang sedang berada di balik kemudi, sesekali melirik ke samping, tempat Sera berada.
“Maybe it’s his plan, Mbak. The one that you’ve asked me about before.”
Zacchio akhirnya membuka mulut ketika menyadari Sera sama sekali tidak sing along ketika Zacchio sengaja memutar lagu kesukaan Sera di music player. Wanita muda itu malah mematikan volumenya, seakan jengkel sebab waktu berpikirnya terganggu.
Sera mengusap wajahnya kasar sebagai tanggapan terhadap kalimat penenang itu. Tidak bisa. Kalimat itu tidak bisa meyakinkannya setelah hal-hal yang telah ia lalui setahun belakangan ini. Trust issue Sera semakin parah. Terlebih, dulu Sera menganggap Sena adalah obat bagi permasalahan terbesarnya dalam hidup. Namun nyatanya, dia malah menjadi racun yang membuat dirinya semakin kehilangan kepercayaan kepada siapapun.
“Can you speed up? Keburu mereka selesai dinnernya.” Nada suara Sera jelas menggambarkan seberapa gusarnya ia sekarang. Zacchio cuma bisa mengangguk lantas menekan pedal gas sedalam yang ia bisa dengan keadaan jalanan yang terbilang cukup lengang untuk kawasan Jakarta Pusat.
Begitu masuk ke dalam restoran, pandangan Sera langsung menyapu keadaan di sekitarnya. Matanya dengan cepat menemukan figur Sena di tengah restoran yang masih terbilang cukup lengang. Dengan gesit, Sera menyeret Zacchio untuk menyamakan langkah menuju meja kosong yang hanya berjarak satu table dari tempat Sena dan Alika duduk.
Tampaknya, Sena tidak menyadari kehadiran Sera karena jelas sekali, pikirannya sedang terlempar ke suatu tempat yang entah siapa bisa mengetahui. Sera dengan cepat duduk, memunggungi posisi Sena duduk. Agar pemuda itu tidak sadar akan keberadaannya.
“What’s with this tension..” bisik Zacchio heran kepada Sera, melihat keadaan meja Sena dan Alika terlampau… sunyi. Atmosfir di sekitar mereka pun terlihat tidak bersahabat.
Sera menggeleng, tidak paham juga. Sesaat kemudian, mata Zacchio melebar sempurna. Sera yang hanya dapat menebak perkembangan keadaan meja Alika dan Sena dari raut wajah Zacchio, dengan cepat meremas punggung tangan pemuda itu. “What’s going on??”
Zacchio tidak menjawab dan malah terburu meraih ponselnya. Mencari sesuatu. “Ki.. Is everything okay di mejanya Kak Sena? Kok kamu kelihatan panik sih?” bisik Sera agak keras karena ikut panik. Zacchio kemudian menunjukkan layar ponselnya yang memuat foto Adi Bentala.
“Aku tadi gak yakin soal nama orangnya. Tapi jelas familiar. Waktu aku search ternyata.. itu papa kandungnya Mas Sena gak sih, Mbak?”
Sera menelan ludahnya sembari mengangguk. Rencana Kak Sena buat ketemu sama Papa nya beneran jadi?
Kepalan tangan Sera mengerat. Takut-takut hal yang tidak diinginkan terjadi. Sera tahu betul bagaimana keadaan Sena setiap kali nama Adi Bentala bahkan hanya disebut. Pemuda itu hancur. Emosinya meluap-luap. He’s losing control of himself.
Sera memejamkan matanya, berusaha menajamkan pendengarannya. Siapa tahu suara percakapan sedikit banyak terdengar dari arah meja Alika dan Sena. Zacchio yang melihat gerak gerik Sera lantas mengikuti tindakan calon kakak iparnya itu.
“Alright. Jadi.. Alika, kenalin ini Adi Bentala. Bapak saya dan juga.. bapakmu.”
Ucapan Sena yang lamat-lamat terdengar itu membuat Sera serta merta spontan membuka matanya, terkejut. Hal yang sama juga dilakukan Zacchio, seirama. Keduanya lantas bertukar pandang karena shock.
“Se-Sen! Isn’t it too early to open up about our relationship?”
Suara melengking Alika yang menggambarkan keterkejutan membuat Sera sedikit tersenyum pahit. Ini terasa menggelikan sekaligus menyedihkan di saat yang bersamaan. Tidakkah Alika dengan cepat menangkap maksud dari perkataan Sena yang sesungguhnya? Sera bahkan dapat langsung mengerti apa yang dimaksud oleh Sena.
Apakah karena memang Sera adalah orang yang paling mengerti soal Sena sehingga dapat dengan mudah menangkap maksud lelaki itu?
“Too early? Masa sih? Bukannya too late? Kamu harusnya sudah tahu ayah kandung kamu dari dulu, Alika Shamara.”
“Ma-maksudnya gimana?”
Kalimat-kalimat Sena selanjutnya sungguh membuat Sera rasanya harus berpegangan kepada seseorang atau dirinya akan limbung karena lemas tertohok akan fakta-fakta yang muncul bak petir di siang bolong. Tidak disangka-sangka.
Siapa yang bisa mengetahui masa lalu kelam kedua orangtuanya hingga se detail itu? Kenapa juga dosa orangtua mereka sampai harus mengorbankan perasaan anak-anaknya?
Detik itu juga, Sera benar-benar membenci Ghandara Hayat – Papanya – dengan sekuat hatinya. Gimana ceritanya Papa bisa setega itu sama Mama?
Akan tetapi, Sera sesungguhnya lebih terheran-heran akan takdirnya dan Sena yang sebenarnya telah bersinggungan sekian lama karena mereka berada dalam nasib buruk yang sama. Berakar dari satu wanita gila yang sama. Yaitu Gendhis.
Siapa yang bisa lebih menyangka lagi ternyata anak dari Gendhis nyaris membuat hubungan seseorang pun hancur? Persis perilakunya seperti ibunya. Walau sebenarnya, dalam masalah ini, Alika tidak sepenuhnya bersalah akibat Sena yang mulai memancingnya terlebih dulu.
Cengkraman Sera pada tangan Zacchio semakin menancap. “Ki, we better go. Aku udah gak kuat.” Suara Sera bergetar. Serangan fakta yang membabi buta seperti ini sungguh too much to process untuknya. Zacchio mengangguk lantas berdiri dengan sigap di samping Sera. Tangannya dengan kokoh menopang bahu Sera agar tidak limbung. “Ayo Mbak. Ke mobil dulu ya nanti Kio yang urus billnya.”
Belum Sera sepenuhnya kokoh berdiri, Zacchio merasakan badannya ditarik ke samping dan beberapa detik kemudian, pemuda itu tersadar jika Sena sudah berdiri di tempatnya, menggantikan posisinya barusan.
“Loh? Mas Sena?”
“Lo bantu urus Alika ya, Ki. Gue aja yang urus Sera.”
Zacchio mengerjapkan matanya. Masih tidak memahami kondisi yang sedang dihadapinya. Gimana ceritanya sih malah gue yang harus ngurus Mbak Alika?, rutuk Zacchio sendiri.
Mata Sera mengerjap beberapa kali seraya menatap lurus ke arah wajah Sena. Memastikan pandangannya tidak salah subjek. “Kenapa? Kok kaget?” tanya Sena melihat wajah Sera yang tidak karuan ekspresinya. Raut kebingungan, terkejut, heran, dan panik seluruhnya tercampur aduk.
“Enggak! Siapa yang kaget sih?”
Sena mengangguk angguk. Tangannya beralih dari pundak Sera lantas mengenggam erat jemari gadis itu, “Ayo, pulang. Aku yang anter. Sekalian aku jelasin semua hal yang udah aku lakukan selama setahun ke belakang ini. Setahun yang bikin kamu restless setiap harinya karena aku gak pernah berterus terang. Sekarang, aku mau ceritain semuanya karena kamu akhirnya sudah tahu juga garis besarnya. Udah denger kan tadi obrolan aku sama Alika dan Bapak?”
Sera menelan ludahnya, “Bold of you to assume that I heard everything.”
“I knew that you heard my voices well awhile ago so that you look very flustered when I grabbed you here.” tandas Sena cepat. Sera mendengus sebal, merasa kalah argumen. Jemari Sena dilepasnya paksa dari genggaman.
“Yaudah ayo. Buruan.” ucap Sera lantas berjalan mendahului Sena. Kala gadis itu melewati meja tempat Sena, Alika, dan Pak Adi Bentala duduk tadi, ia hanya bisa menundukkan kepalanya sedikit — gestur untuk memberi salam kepada Pak Adi.
Keheningan mengisi mobil yang sedang dikendarai oleh Sena dan Sera. Sera menunggu Sena untuk membuka mulut sementara yang ditunggu malah tidak kunjung bersuara sedikit pun. Gadis itu mengerang frustasi lantas meraih audio player. Menyambungkan ponselnya lantas memutar lagu Sena yang sengaja dibuat untuknya dalam album terakhir.
Mata Sena membulat sempurna. Ia melirik sebentar ke arah Sera lewat ekor matanya. “Kenapa? Geli denger lagu sendiri?” tanya Sera, entah kenapa terdengar sarkas.
Sena menggeleng kuat, “Enggak lah. That’s my biggest masterpiece. Every songs that I wrote about you, are my piece that I’ll always be proud about.”
“Your biggest masterpiece isn’t the one that you wrote for Mbak Kayla? Dulu interview sama media selalu bilang kalau album debut kamu tuh super meaningful karena alasan pembuatan di belakangnya tuh seseorang yang kamu mati-matian pengen dapetin.”
“Super meaningful ya karena itu album debut aku, pumpkin. And nothing else. Kebetulan kan waktu itu Kayla memang muse aku. Kalau aku udah ketemu kamu dari lama, mungkin muse nya malah kamu dan bukan Kayla.”
Senyum miring Sera menandakan gadis itu seolah tidak termakan omong kosong Sena. “Kenapa sih pumpkin? Aku kan lagi gak ngajak kamu berantem? Kenapa kok kesannya aku nyebelin banget buat kamu?” lanjut Sena terdengar gusar.
“Aku cuma mau tahu seberapa berartinya aku di hidup kamu, Kak. I keep thinking about it everyday, udah kayak kaset rusak. Aku selalu mikir, bisa gak ya aku bener-bener dicintai sama kamu sebesar waktu kamu sayang sama Mbak Kayla? Karena kalau dipikir pikir, semuanya cuma menggebu di awal dan kita pun mulai dari titik yang salah, Kak. Makin ke belakang, I don’t see it from you anymore. Your excitement and your wide smile. Also your eyes told me more than you’ve ever expected. You know that..”
“Eyes never lie.” ucap Sena menyambar ujung kalimat Sera.
Sera mengangguk-angguk. Ia tersenyum pahit dengan kepala terkulai lemas, “Kamu pun sadar sama itu, Kak?”
“Stop panggil aku Kak. I don’t like it. I hate it when you make me feel that we’re starting to part ways like this.” Sena memilih tidak menjawab dahulu pertanyaan Sera.
“Don’t we?” Suara Sera semakin serak karena tenggorokannya serasa tercekik.
Untung saja, destinasi mereka sudah di depan mata. Apartemen Sera yang dulu sering sekali dijadikan tempat menghabiskan waktu berdua. Menyesap teh di balkon, menatap langit jingga hingga akhirnya gelap, ciuman kedua, ketiga, keempat yang masih membekas hangatnya di memori Sena.
“Turun. Kita omongin semuanya baik-baik di unit kamu.” ucap Sena lembut, tangannya berusaha meraih seatbelt Sera, ingin membukakannya untuk gadis itu. Namun, tangan Sera dengan cepat menahan.
“Disini aja. I don’t want our memories that lies in there, makes me choose an irrational choice about us.” Jujur saja, Sena terguncang mendengar kalimat Sera. Kalimat yang tegas dan jelas bahwa nasib mereka berdua sedang ada di ujung jurang. Kapanpun bisa terjun bebas.
“Kamu sama Kayla itu beda, pumpkin. Gak akan pernah bisa disamain.”
“I know. Tapi, setidaknya, bare minimumnya adalah gimana kamu dulu treat Mbak Kayla, harusnya juga diterapin ke aku dong?”
Sena terdiam sejenak. Perkataan Sera ada benarnya. Namun tidak sepenuhnya benar.
“It’s not the bare minimum, pumpkin. It’s not. Rasa sayang aku ke Kayla dulu dengan rasa sayang aku ke kamu sekarang, bener-bener sesuatu yang beda. Kalau sama Kayla, semuanya kerasa terlalu buru-buru dan bikin cemas, that’s why I looked like I always begging for her attention. But that’s before I met you. After I met you, love feels like a warm sunshine in the morning, a calm wave, and a home for me. Makanya setelah ketemu kamu, I stopped to beg for Kayla’s attention kan? Karena tanpa sadar, aku tuh sebenernya nemu rasa sayang yang sesungguhnya. Yang juga membuat aku lebih menghargai diriku sendiri. To stop looking like a fool that always try to beg for attention.”
“I’m that fool.” tanggap Sera, “Now I feel like I’m you from the past.” lanjut gadis itu lagi. “Semuanya bikin cemas. Aku bahkan gak bisa lihat kamu sebagai rumah aku lagi, Kak.”
Sena merasa dadanya mulai sesak. Sera membuang pandangannya jauh, yang penting tidak perlu bertemu dengan manik mata kepunyaan Sena.
Pemuda satu itu merasa otaknya sudah berkabut. Sama sekali tidak bisa memikirkan apapun saking pudarnya segala kemampuan untuk mengeluarkan kata.
“Terus gimana? Kamu maunya gimana pumpkin?”
Putus asa. Suara itu terdengar jelas sudah pupus asanya. “Kalau kamu gimana?” Suara Sera tak kalah serak karena udara sekitarnya terasa semakin mencekik, tidak memberinya keleluasaan untuk bernafas.
“Everything will stop at you. Life might always running on, but I’ll always feel like I’m standing at the same spot. At the moment if you choose to walk away.”
Air mata Sera mengalir begitu saja, sudah tidak dapat ditahan lagi. Isakannya mulai terdengar. Sena menoleh, menatap kesayangannya itu dengan getir dalam kilat matanya.
“Aku boleh peluk?” cicit Sena pelan.
Hening dari Sera. Sena menghela nafasnya berat lantas memilih untuk menarik gadis itu ke dalam dekapannya.
When the warmth starts to hug her, Sera tersadar. Sudah lama sekali sejak ia merasakan ini. Pertahanannya runtuh. Semua ucapannya seakan mendapat pembantahan secara instan. Bahwa Sena ternyata masih terasa seperti rumah baginya dan bukan sebaliknya seperti apa yang baru ia ucapkan beberapa menit lalu.
“I’m always trying my best to express myself to you even more than when I was with Kayla, Ra. You know how hard it is for me. I’m breaking my own comfort zone. Tapi mungkin memang usahaku masih kurang, makanya kamu ngerasa jadi kayak gini. Aku minta maaf karena gak pernah nanya juga ke kamu soal gimana perasaan kamu soal hubungan kita. Aku harusnya lebih usaha buat nanya karena aku sendiri orangnya kurang peka sama keadaan sekitar.” terang pemuda itu seraya mengelus-elus pelan puncak kepala Sera yang ada dalam dekapannya.
“I’m sorry, pumpkin. I really do. I’ll try to fix things out mulai dari sekarang. Everything is already set.” lanjutnya lagi karena ia rasa dadanya semakin terasa basah oleh air mata Sera.
“Tolong… jangan pergi ninggalin aku ya?” pinta Sena.
Suara yang lembut namun bergetar, jelas menggambarkan takut akan kehilangan. Trauma Sena setahun lalu kala ia tertampar akan fakta bahwa ia harus berpisah dengan Sera karena keadaannya waktu itu, masih memberikan luka dalam bagi pemuda tersebut.
Lamat-lamat, Sena merasakan anggukan dalam dekapan. Helaan nafas lega dengan segera terdengar. Jantung pemuda itu rasanya mau copot ke dasar lambung jika gadisnya memberikan gelengan.
Senyum sumringah terpatri jelas.
“Tolong juga, kasih tahu kurangnya aku biar aku bisa perbaikin semuanya. Buat kebaikan bersama juga ke depannya. Ya?” Suara lembut dan menenangkan Sena memang tidak ada tandingannya – setidaknya begitu yang Sera takar. Sera kembali mengangguk. Tangannya terulur untuk memeluk balik Sena yang sudah memberikan kehangatan dan penenang sedari tadi.
“I love you.” bisik Sera masih dengan suara parau karena habis menangis. Sena tidak bisa mengendalikan rasa bahagianya sendiri. Senyumnya membuat matanya bak hilang.
“I love you more, pumpkin. Until I can’t find other words than how meaningful you are for me. Your love really hold a grips on my dear life.”
Sera akhirnya melepas uluran tangannya yang melingkupi pinggang Sena. Kepalanya menengadah, manik mata cokelat tua itu bergerak-gerak lucu memandang dengan saksama setiap inci wajah Sena.
“Kenapaa?” gagap pemuda itu.
Sesungguhnya, Sena sedang salah tingkah berat. Perilaku menggemaskan Sera tak pernah gagal membuat jutaan kembang api meledak di dalam dirinya. Bringing excitement and some adrenaline rush at the same time. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
Oh, Sera always has her own way to be a reason why Sena falls for her.
“Aku laper.” Sera pucks her lips that make Sena wants to kiss her so bad.
And he let his intrusive thoughts to win. Now, the warmth of Sera’s lips already felt by him.
Sera doesn’t even refuse. She kisses him deeply, shows how much she is longing for him.
Ciuman mereka selesai kala akhirnya Sera kehabisan nafas. Sena benar-benar tidak bisa menahan senyum lebarnya bak orang bodoh. Finally, his worries are all being swept away. He knows that all of those painful times are worth it by now.
“Did you kiss me for so long because you’re hungry? By any chance, are you want to…. eat me?” Seringai jahil Sena membuat Sera melebarkan matanya sempurna sekaligus memberikan hadiah pukulan sebal di lengan pemuda itu sampai Sena mengerang kesakitan.
Dasar cowok gila! Tapi cowok gue juga sih, Sera membatin tapi pada akhirnya juga kalah. Kalah terbuai dengan pesona pemuda itu lagi.
“Joking! Ayo kamu mau makan apa?”
“How about delivery aja? Kita makan di apart aku.”
Lagi dan lagi, ucapan jahil keluar dari mulut Sena, “Pasti milih takeaway biar bisa snuggle right next to me under your comfortable blanket, ya?”
“Enggak kok!” bantah gadis itu cepat padahal memang itu tujuan utamanya. Seperti biasa, Sera suka sebal sendiri jika Sena bisa membaca isi pikirannya. Gadis itu terburu keluar dari mobil.
“Gak salah maksudnya?” balas Sena setengah berteriak seraya ikut keluar mobil dengan terburu-buru karena Sera sudah melangkahkan kaki menjauh.
“Aaaah I hate you!” omel Sera.
“You just hate me when I read you just like an open book.” tanggap Sena santai seraya kemudian meraih tangan Sera, menggandengnya erat-erat.
“What do you like to eat?” Nada riang itu mau tak mau membuat Sera kembali luluh lagi. Memang, Sera benar-benar lemah kalau sudah berhadapan langsung dengan Sena and his acts.
“Anything. As long as I eat it with you.”
Senyum lebar keduanya dan binar mata yang kembali sama, jelas menunjukkan semuanya kembali baik-baik saja.