– the deal.
“Actually gak usah nungguin gue di luar juga gak masalah sih, Sen.”
Suara itu sukses membuat Sena yang sedang sibuk dengan gawainya itu, menoleh spontan. Senyuman terbit di bibirnya sebagai pemula kalimat.
“No problem. Jakarta lagi gak terlalu panas malah banyak angin sepoi-sepoi gini. Sorry ya saya gak bisa jemput kamu tadi, Miss Shamara.” Sena menekankan penyebutan nama belakang Alika dengan intonasi jahil.
Alika dibuatnya tersipu sendiri. “Stop with that saya-kamu. Gue jadi inget waktu kita masih sama-sama kakunya.”
“Yuk masuk. Takutnya malah lo masuk angin.” lanjut Alika berkelakar. Sena terkekeh pelan lantas membukakan pintu restoran, mempersilahkan gadis itu masuk terlebih dahulu. A gentleman gesture that he always do.
Ajeng mengerjapkan matanya sendiri kala mendapati anak gadisnya sudah berada di depan pintu rumahnya, lengkap dengan personal assistant sekaligus adik dari menantunya itu. Sera dan Zacchio masih berdiri di depan pintu seraya memandang Ajeng — atau biasa dipanggil Mama itu — dengan heran.
“Your daughter is finally home and yet you stare at me like I’m some kind of nightmare, Ma.”
Mama berdeham pelan, “You showed up so sudden. Who won’t be surprised???? Come, I just finished cook dinner.”
Zacchio dengan tergopoh mengangkat koper besar kepunyaannya dan Sera, lantas masuk ke dalam rumah — disusul dengan atraksi menutup pintu rumah memakai kaki karena kedua tangannya penuh sementara Sera dan Mama sudah terduduk di ruang tengah.
“Udah ngerasa baikan, Ma? After all of these storms..”
Mama tersenyum tipis seraya mengusap lembut pipi Sera, “Sure. I’m feeling much better thanks to all of you. Secara gak sadar kalian itu pelan-pelan lagi menutup luka Mama sekaligus ngasih obatnya.”
“I’m so sorry, Ma. You should’ve done this since so long. But I know that you were hanging there because you want us to live with a complete family. Am I right?”
Mama mengangguk-angguk, “Biar kalian fokus ngejar cita-cita kalian dulu. Until all of you reach your own goals. Baru rencananya Mama ngeberesin semua ini, cantik. Tapi ternyata malah kalian duluan yang ngeberesin semuanya.”
Sera tidak dapat menahan dirinya untuk tidak menghambur ke pelukan Mama dengan sedu sedan kencang, “Harusnya Mama gak perlu ngeberatin kami. Harusnya Mama udah hidup bahagia dari lama. Kalau kayak gini kan.. hati Sera hancur Ma.. Gimana ceritanya kami semua bahagia selama ini tapi Mama sendiri — yang ngasih kami kebahagiaan, malah gak bahagia??? How come??”
Tepukan lembut dengan ritme beraturan terasa pada punggung Sera. Mama menaruh dagunya di puncak kepala Sera dengan pikiran yang terlempar jauh ke dalam memori dimana ia harus berjuang sendirian — menghapus kesedihan yang tidak ingin ia perlihatkan kepada anak-anaknya. She needs to be strong for her child.
Biarlah rasa sedih itu ia pendam sendiri.
Biarlah Jovan, Maraka, dan Sera hanya melihat sisi jenaka dan cerianya. Tidak perlu melihat bulir air mata yang turun setiap malam.
Mama tidak menanggapi ucapan Sera yang putus asa itu. Dalam diam, Mama yakin Sera sudah tahu sendiri apa alasan ia melakukan itu. Semakin dewasa, Sera pasti sudah dapat mengerti sendiri akan posisi Mama kala itu. Yang Mama harapkan tidak kembali terjadi kepada Sera.
“Men are trash.” sungut Sera sendiri seraya sedikit memberikan jarak dengan Mama, yang sebelumnya ia peluk erat. “Don’t you agree with me, Ma?” rengeknya bak anak kecil. Mata besar Sera mengingatkan Mama dengan adegan-adegan gadis itu merajuk ketika masih kecil. Dulu, jika ada sesuatu yang menyebalkan menurut Sera, dia pasti akan mengadu kepada Mama dan berucap ‘don’t you agree with me, Ma?’ — persis seperti apa yang baru saja gadis itu lakukan.
Mama melirik ke arah Zacchio yang kini terduduk kikuk di hadapan mereka. Pemuda itu tidak ingin menyangkal juga bahwa dalam beberapa momen, dia merasa laki-laki memang benar-benar menyebalkan dan terasa seperti sampah yang berarti termasuk dirinya juga.
“Women can also being trash sometimes, Ra. It’s a vice versa based on how you act.” Mama berusaha menengahi atmosfir canggung itu. Helaan nafas lega langsung terdengar dari arah Zacchio. Sera sontak menghadiahi Zacchio tatapan sini.
“Mama gak memihak siapa-siapa loh ya.”lanjut Mama melihat Sera yang emosional. “Yuk yuk, mending makan sekarang. Kio, kamu mau mandi dulu? Kelihatannya kok kamu banjir keringat kayak gitu ya?”
Zacchio yang memang lelah wara wiri kesana kemari untuk mengurus segala hal untuknya dan Sera, mau tidak mau mengangguk menerima tawaran Mama. Ia merasa badannya lengket dan bau akibat Jakarta yang super panas hari ini. Butuh segera mandi.
“Masuk aja ke kamarnya Maraka ya. Buka lemarinya terus ambil baju dan handuk disitu. Pakai aja kamar mandi dalamnya”
“E-eh? Gapapa, Tante?” seru Zacchio kaget sekaligus tidak enak. Mama terkekeh, “Gausah sungkan. Temen-temennya Maraka kalau kesini pun pasti minjem bajunya Maraka kalau memang butuh. Maraka nya aja lagi di antah berantah tuh?”
“T-tapi, aku kan bukan temennya Bang Maraka, Tan?” Lagi, pemuda itu meragu. Mama tertawa dibuatnya karena raut wajah panik Zacchio terlihat begitu menggelikan.
“Apalagi kamu yang jelas-jelas bakalan jadi ipar nya dia. Udah sana mandiii! Makanan Mama keburu dingin, Kio.”
Mendengar perintah lantang itu, Zacchio langsung melesat masuk ke kamar Maraka.
“Siapa juga yang udah yakin nikah sama Kak Sena coba, Ma?”
Pertanyaan dengan nada memancing itu sukses membuat Mama menoleh seketika. Ia menatap lurus ke arah Sera, “Memang kamu yakin gak akan nikah sama Sena?”
Mendengar pertanyaannya dibalik begitu, alis Sera menyatu karena kernyitan dahi yang dalam. “Mama mihak Kak Sena setelah semua yang Mama tahu?”
“Iya. Justru Mama mihak Sena karena sudah tahu semuanya.”
Sera menatap Mama dengan bingung. Terutama karena penekanan pada kata terakhir dalam kalimat. “Bagian mana yang Sera gak tahu tapi Mama malah tahu?”
Mama hanya tersenyum sekilas lantas berjalan ke arah dapur. Hendak mengeluarkan lasagna dari oven yang berdenting nyaring. Sera membulatkan matanya lantas mengekor Mama dengan seribu tanda tanya dalam benaknya.
“Maaa… come on!! Masa Sera yang calon istrinya Kak Sena malah gak lebih tahu dari Mama??”
“Ask him lah.. He said that he has plan to tell you after he make sure about something.”
“Iya, Sera tahu itu. But now I’m dying to know because you said it like that!” protes Sera sebal. “Maaaa..” rengek Sera lagi kala menyadari Mama malah sibuk menata meja makan, tidak menggubris dirinya.
“Ma! It’s not fair!” Sera akhirnya mengambek dan menjatuhkan dirinya di atas kursi makan dengan bibir manyun. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Mama tertawa pelan melihat kelakuan Sera yang rasanya kembali seperti anak-anak berumur 5 tahun.
“Kalau kamu memang gak sabaran, mending pergi ke Lara Djonggrang sekarang. And search for him. Don’t come around him if there is someone with him. Jangan gagalin rencananya Sena, Ra.”
Kening Sera kembali mengerut, menandakan ia memikirkan sesuatu. Jangan-jangan, ini pertemuannya Kak Sena sama Bapak nya plus Alika itu ya?
Sera langsung bangkit dari duduknya dan tergesa menyambar tas tenteng kecilnya. Mama membulatkan matanya terkejut.
“Where are you going?!” seru Mama kencang karena Sera sudah berderap akan keluar dari rumah.
“Seek for the truth!” balas Sera yang kemudian diikuti dengan suara debam pintu depan. Mama menghela nafasnya panjang seraya mengusap dada karena panik sendiri.
Zacchio muncul di hadapan Mama dengan heran. Tangannya masih mengusak rambutnya yang basah dengan handuk. “Loh? Mbak Sera kemana, Tan?”
“Nyusul Sena.”
Kini, giliran Zacchio yang melebarkan matanya kaget. “HAH? KEMANA TAN?”
“A restaurant named Lara Djonggrang.”
Lagi-lagi, Mama harus menyaksikan adegan seseorang berderap pergi dengan tergopoh-gopoh. “TANTEEE AKU NYUSUL MBAK SERA DULUU!”
Mama cuma bisa menepuk jidatnya, tidak habis pikir. Melihat Zacchio rasanya sudah seperti memiliki anak baru. “Kok bisa mirip kelakuannya kayak Sera ya?”
“Masih mau lihat menunya? Or do you want my recommendation?” tawar Sena setelah hampir 10 menit, Alika hanya membolak-balik buku menu yang dipegangnya. Sebenarnya, membolak-balik setiap lembar buku menu adalah salah satu cara dirinya menyalurkan detak jantung yang kian berdebar kencang.
Tangan kokoh Sena akhirnya mengambil buku menu yang dipegang Alika. Buku menu itu sedari tadi menutupi muka gadis tersebut yang semerah kepiting rebus.
“Don’t play with it again. I know you’re not really read it thoroughly.” ucap Sena rendah. Matanya menatap lurus ke arah manik mata Alika.
Tidak melihat langsung Sena selama beberapa bulan ternyata cukup memberikan efek dahsyat bagi Alika ketika akhirnya mereka dapat langsung bertatap muka. Satu kata yang pasti.
Gorgeous.
Sena di mata Alika semakin menawan. Lebih tepatnya, menawan hati.
“Why don’t you say it earlier? Harusnya kamu pesen aja daritadi kalau ternyata memang punya rekomendasi.” omel Alika berusaha menutupi sikap salah tingkahnya.
Sena hanya tersenyum sekenanya lantas mengangkat tangan kanannya, sebagai gestur memanggil seseorang. Alika kira Sena akan memanggil pelayan yang sedari tadi sedang sibuk mondar mandir ke meja pelanggan lain. Namun, matanya membulat begitu mendapati Sena ternyata memberikan sign untuk seseorang yang baru datang.
“Pak Bentala?” tanya Alika heran. Ia menoleh ke arah Sena, menatap pemuda itu dengan sorot mata menuntut penjelasan.
“I thought we will have dinner by ourself?”
Nada tidak terima itu sama sekali tidak menggoyahkan Sena untuk memberikan penjelasan. Wajahnya kini terlampau serius. Rahang pemuda itu mengeras disertai dengan kepalan tangannya yang mengerat.
Jelas sekali, Sena berusaha meredam emosinya sendiri. Jika ia kehilangan kontrol atas dirinya, bisa-bisa pria paruh baya do hadapan Sena mungkin sudah terkapar di atas lantai setelah terkena pukulan tepat di rahang.
“Oh my god, kamu gak bilang ada Miss Shamara juga disini? How are you pretty lady?”
Alika terburu berdiri dan melakukan cipika-cipiki dengan Pak Bentala — atau ayah kandung dari Sena.
“I’m good, Pak Bentala. Please have a seat. This is a pleasant surprise for me.” ucap Alika dengan senyuman lebar palsunya. Senyuman yang digunakan untuk berbisnis.
“Sena gak bilang juga ke kamu kalau saya datang? What is it, Sen? Kamu suka kejutan ya kayaknya?”
“Iya nih, kayaknya Sena suka kejutan. Sen..” Alika menyikut Sena yang sorot matanya menegang. Pemuda itu rasanya mulai kehilangan kontrol atas dirinya apabila Alika tidak mengalihkan perhatiannya barusan.
“Well.. I don’t really like a surprise but for both of you, indeed, I already prepared a surprise.”
Adi Bentala — ayah kandung Sena — dan juga Alika menatap pemuda itu dengan tidak mengerti. Namun entah kenapa, kilat mata Sena cukup membuat Adi gentar. Ada sesuatu yang tidak beres.
“Ah kamu ini. Kita kan baru ketemu lagi, Sena. Ketemu saja udah cukup surprise kok.”
Sena tersenyum miring mendengar suara Adi bergetar. “Well. Your presence already being a surprise for each other.”
Alika mulai habis kesabarannya karena ucapan Sena terasa semakin melantur. “Sen, apaan sih? Buruan aja sih ngomong.”
“Loh. Apa perlu dikenalin ulang?” tanggap Sena. Kini giliran Adi yang jengah, “Sena! I don’t come here to look like a clown in front of you.”
Senyum miring Sena semakin terpampang jelas. “Alright. Jadi.. Alika, kenalin ini Adi Bentala. Bapak saya dan juga.. bapakmu.”
Kedua pasang mata itu langsung melotot menatap Sena. “Se-Sen! Isn’t it too early to open up about our relationship?”
Tatapan heran dilayangkan Sena kepada Alika, “Too early? Masa sih? Bukannya too late? Kamu harusnya sudah tahu ayah kandung kamu dari dulu, Alika Shamara.”
Tatapan nanar Alika kini beralih kepada Adi Bentala yang duduk di hadapannya. “Ma-maksudnya gimana?” Suara Alika kini bergetar hebat. Nadanya tergagap, tidak mempercayai apa yang disampaikan Sena. Akan tetapi, sedikit banyak keyakinan muncul di dalam hati. Seperti dorongan alamiah untuk mengakui jika ia memang darah daging dari pria di hadapannya.
“What kind of non sense is this, Senapati?” marah Adi Bentala seraya menggebrak meja makan itu cukup keras. Menarik perhatian beberapa pengunjung di sekitar mereka.
“That night when Ibu caught you with her mom, sleep together in OUR house, it’s not your first time right?”
Pupil mata Adi Bentala semakin tidak fokus pada Sena. Jiwanya sungguh terguncang, begitupun dengan jiwa Alika.
“Waktu Ibu mergokin Bapak sama ibunya Alika, itu pertemuan pertama kalian setelah sekian lama kan? Hubungan kalian yang on-off itu. Sampai akhirnya Bapak beneran ngebuang ibunya Alika dan nikah sama istri Bapak yang sekarang kan? Yang juga selingkuhan Bapak waktu dulu masih sama Ibu.”
Alika terbatuk sendiri karena semakin shock mendengar penjelasan Sena yang secara tidak langsung mengatakan bahwa ibunya adalah seorang lacur.
Atau memang.. iya?
Jika dipikir-pikir, taraf pekerjaan ibunya selama ini tidak mungkin bisa memberikan kenyamanan hidup yang ia nikmati.
“But do you also know Pak kalau Gendhis — ibunya Alika — waktu selingkuh sama Bapak pun sudah jadi selingkuhan Papa nya Sera. Sejak awal. Gendhis dan Ghandara Hayat sudah menjalin hubungan gelap sejak awal pernikahan Ghandara dan Ajeng.”
Kini, Alika benar-benar terlompat dari tempat duduknya begitu mendengar penjelasan lanjut dari Sena. “YOU’RE LYING! Gamungkin Mami sekotor itu!” jerit Alika.
Raut wajah dingin Sena bergeming. Tak terlihat sedikit pun iba. “Duduk, Lik. You’re drawing everyone’s attention towards you.”
Tatapan tajam Sena beralih kepada Adi Bentala — Bapaknya. Sena jelas tahu sifat temperamen dan ego tinggi Adi sedang tersentil hebat. Terlebih, ternyata dulu ia selingkuh dari Yumna hanya untuk menjadi selingkuhan lagi.
“Sena tahu Bapak pasti tidak terima dengan kenyataan ini. Apalagi, dulu Bapak juga dirugikan banyak secara material waktu Ibu mendepak Bapak dari rumah dan sama sekali tidak bisa merasakan uang Bitna Label lagi.”
Rahang Adi semakin mengeras. Ia memutar otak untuk membantah pernyataan Sena namun nyatanya, emosi lebih mengontrol dirinya sehingga otaknya pun tak dapat berjalan dengan baik.
“Ibu sebenarnya tahu dulu Bapak membantu Gendhis untuk menggelapkan uang Bitna Label. Tapi, Ibu masih kasihan sama Bapak waktu itu, she still loves you at that time. So, she let it slipped away. Like nothing happened.”
Alika hancur lebur. Tidak ada kata-kata yang lebih tepat untuk menggambarkan apa yang gadis itu rasakan kini. Perasaan tidak percaya, malu, dan jijik begitu mengetahui semua fakta ini.. terasa berlebihan dalam satu waktu yang sama. These are too much.
Tangannya membekap mulut sendiri, saking ia tahu bahwa jeritan terkejut dari dalam mulutnya akan kembali menganggu ketenangan customer lain di dalam restoran ini.
“But now, I won’t let it slipped away just what Ibu did. I’ll open this case to the court. Karena nyatanya, Gendhis masih terus menggelapkan uang Bitna Label.”
Alika menatap nanar Sena, “Sen… Gak mungkin…”
“It’s true, Alika. And I’m bringing both of you here because I have some offers to give. Agar nama kalian tidak akan terseret nantinya di pengadilan. This is Gendhis’s mess and I know you guys don’t deserve any legal action towards you. Tapi, kalau kalian menghalangi usaha saya, tentunya, nama kalian akan terseret.”
“So.. are you in?” tawar Sena dengan penekanan nada di ujung kalimat seraya menatap lurus manik mata yang sedari tadi memandangnya dengan nyalang. Panik dan ketakutan seolah hidup akan berakhir esok hari.