– mengapa?

aurevoiruna
6 min readJul 15, 2023

--

akan menjawab tentang kenapa sera dan segala hal terkait gadis itu menjadi sangat berharga bagi seorang matteo damian.

Matteo Damian umur 6 tahun.

Bagi anak laki-laki berumur enam tahun bernama Matteo Damian, berpindah tempat tinggal is a big thing to deal with. Ditambah, ternyata kepindahan tempat tinggal ini juga berarti ia resmi berpisah dari ibunya – orang tua tunggal yang selama ini susah payah membesarkan anaknya.

“Mama mau kemana? Kok Matt mau ditinggal? Matt gak boleh ikut sama Mama?” Suara putus asa memilukan itu dibarengi dengan netra yang berkaca-kaca. Anak laki-laki yang baru setinggi dada orang dewasa itu memeluk Mama nya erat-erat seolah tidak pernah ingin melepaskannya. “Kamu disini dulu ya Nak sama Nenek. Nanti kalau urusan kerja Mama sudah selesai, Mama bakalan balik lagi buat jemput kamu. Ya, Sayang? Now please let me go first because I have to catch my flight.” Mama dari Matteo itu berusaha memisahkan peluknya dari anaknya sendiri. Sang Nenek akhirnya membantu dengan ikut menarik Matteo ke dalam pelukannya.

Tangis Matteo pecah. Anak kecil itu sudah merasa ia tidak akan pernah bisa bertemu dengan Mama nya lagi entah sampai kapan. Anak kecil itu paham bahkan ketika Sang Orang Dewasa tidak memberitahu secara lugas maksudnya.

“Kamu sama Nenek aja dulu ya, Matt. Nanti Nenek masakin banyaaaak lasagna sama macaroon kesukaan kamu.” Matteo mengangguk-angguk dengan mata sembabnya dan perlahan sungguh melepas jemari kecilnya dari mantel yang dikenakan Mama nya. Memang membujuk anak kecil begitu mudah, hanya perlu iming-iming hal yang disukainya. Memang orang dewasa cukup picik soal ini.

Dan hari itu, 14 Mei, yang seharusnya menjadi hari dimana Matteo bisa selalu merayakan hari Ibu dengan sukacita, menjadi hari yang paling dibenci oleh Matteo karena dia memercayai kebohongan yang diucapkan kepadanya. Semenjak saat itu pula, Matteo hanya tinggal bersama Neneknya di Anaheim hingga pada akhirnya 13 tahun kemudian ayahnya — yang sudah lama berpisah dengan mamanya — datang untuk menjemputnya dan mengajaknya untuk tinggal bersama selepas Nenek dari Matteo pergi selamanya dari dunia.

Matteo berumur tujuh tahun ketika ia dihadapi dengan kenyataan pahit bahwa seseorang yang ia percaya memiliki jumlah cinta paling banyak untuknya justru menjadi seseorang yang paling sedikit memiliki rasa cinta untuknya. Namun, pada umur tujuh tahun itu pula Matteo mendapatkan momen paling membahagiakan untuk dirinya, momen dimana ia merasa ia tidak akan pernah sendiri di dalam dunia ini, apapun alasannya.

Hari ini, setelah beberapa lama mengenal Sera — Si Anak Baru yang baru pindah 3 bulan lalu — Matteo diseret oleh Sera untuk datang ke rumahnya. Sebuah rumah yang rasanya begitu hangat karena ia melihat Mama dari Sera menyambut mereka berdua dengan tangan terbuka ditambah bonus pelukan dari Mama Sera untuk Matteo.

“Mam, ini yang namanya Matteo. Teman pertama Sera disini. Mama udah sering denger nama Matteo tapi belum pernah ketemu kan??”

“Matteo? Mama seringnya kamu cerita soal Dam. Are they the same person?” tanya Mama heran. Sera menepuk jidatnya sendiri dengan lucu — memang ada saja kelakuan anak kecil ini. “I forgot! Dam itu panggilan khusus aku ke Matteo soalnya dia gamau dipanggil Matt atau Theo. He hates it.”

Mama terkekeh pelan melihat wajah serius Sera ketika menerangkan, seolah Mama harus mengerti dengan baik terkait hal itu. “Okay, roger that, sweetpie. So… Dam? Kamu mau makan malam disini?”

Matteo mengangguk. “Menu makan malam hari ini spagetti carbonara kesukaannya kakak Sera. But he comes home late because of an extra class. Kalian makan duluan saja ya. Mama nanti makannya bareng Maraka,” ujar Mama seraya menyerahkan dua piring di hadapan Matteo dan Sera yang sudah siap untuk makan.

Thank you, Maam,” kata Matteo. Mama tersenyum — senyum yang membuat Matteo seakan-akan kembali dipeluk oleh pribadi hangat Mama, “Panggil saya Mama saja. No need to be so polite with me, Dam. Please eat a lot and call me if you want some more.” Mama menepuk puncak kepala Matteo dengan lembut. Matteo kecil terkesiap, rasa hangat yang sudah absen dalam hatinya selama setahun ke belakang mendadak langsung mengisi kembali.

“Dimakan! Mama paling jago masak italian cuisine. Pasti kamu bakalan nambah deh.” celoteh Sera dengan mulut yang sudah belepotan oleh saus carbonara. Matteo tertawa melihat penampilan anak perempuan di hadapannya, “You look funny!” Sera memanyunkan bibirnya, “Biarin aja ah. Eat up, jangan cuma diliatin. Memangnya kamu kenyang kalau ngeliatin makanan?” omel Sera.

Matteo akhirnya patuh lantas menyendokkan satu suap spagetti itu ke dalam mulutnya. Matanya melebar secara otomatis kala merasakan suatu rasa yang begitu enak dan tak pernah ia temukan sebelumnya. Lezatnya spagetti di dalam piring yang ada di hadapan Matteo sungguh membuat pemuda itu speechless.

Melihat gerakan tangan Matteo yang kembali terhenti setelah satu suap, memancing Sera untuk kembali merepet. “Duh? Kenapa gak lanjut makan? Gak enak? Mana sini aku coba. Masa rasanya beda sih. Gak mungkin beda piring beda rasa.” Sera dengan lancang menyendok makanan yang ada di piring Matteo. Keningnya mengerut karena tidak mengerti, “Enak kok! Kamu gak suka makanan ini?”

“Suka kok.”

“Terus kenapa berhenti makan?”

“Soalnya kamu gangguin terus, adekkkk..” Suara itu lantas membuat Sera yang sedang sibuk memancing debat itu, menoleh. Ia mendapati kakak keduanya datang masih dengan tas selempang sekolahnya. “Ih apa sih Kak! Aku lagi tanya Dam! Bukan Kak Maraka!”

“Iya-iya, bawel. Hello, it’s nice to meet you since Sera always tell us about you. Guess you’re her only friend in school, right?” Matteo menyambut uluran tangan Maraka dan menggoncangkannya beberapa kali, menerima sambutan anak laki-laki yang lebih tua 4 tahun darinya itu.

“Ah enggak, Kak. Sera temannya banyak. Tapi kalau temanku cuma Sera.” jawab Matteo pada akhirnya. Maraka memandang Matteo dengan bingung, “Loh iya? Kok begitu?”

“Duh, Kakak! Gak usah penasaran sama hidup orang!” potong Sera sebal karena agenda berdebatnya dengan Matteo daritadi dipotong.

“Aduh anak kecil kok udah bisa ngomong begitu sih.” balas Maraka cepat yang segera dihadiahi pukulan pada lengan anak laki-laki itu. “Mamaaa! Adeknya nakallll!” adu Maraka instan. Matteo tersenyum sendiri melihat pemandangan di hadapannya. Sungguh, rasa sepi yang biasa bersemayam di dalam hati Matteo mendadak menguap entah kemana hanya dengan berada di dalam rumah ini. Ia juga sungguh berharap ia bisa sering-sering singgah kesini.

Sore hari itu, keadaan Matteo benar-benar mengenaskan. Hari ini Sera tidak masuk sekolah karena mendadak demam tinggi. Alhasil, Matteo mati-matian harus melawan para perundungnya yang semakin menggila akibat ‘tameng’ Matteo sedang hilang. Sera lah yang terbiasa melindungi Matteo dari para perundung itu.

Badan Matteo kuyup karena hari ini dia tidak hanya diguyur oleh lemparan susu jatah makan siang namun ia juga diguyur air bekas pel sehabis mereka piket kelas. Matteo menenteng sepatunya yang basah kuyup karena mengingat pesan Mama nya dulu untuk jangan pernah memakai sepatu yang basah kuyup, takut masuk angin. Kepala anak laki-laki itu tertunduk lemas karena mendapati bus sekolah juga sudah pergi meninggalkannya. Ia sekarang cuma bisa pasrah seraya mengeratkan kepalan tangannya sendiri, menahan diri dari serangan rasa dingin yang mulai menyergap.

Matteo terperanjat kala mendengar suara klakson yang menyalak ke arahnya serta suara decit ban yang dihentikan paksa mendekatinya, “Loh? Dam? Kamu kenapa bisa sampai seperti ini?! Get in! Ikut saya dulu ke rumah!” ucap wanita di dalam mobil itu yang tak lain adalah Mama dari Sera yang tak sengaja melewati area sekolah setelah selesai membeli obat untuk Sera.

Kepala Matteo terangkat, menampilkan matanya yang berkaca-kaca. Ajeng Putri Wirani — atau Mama dari Sera itu — tidak dapat menahan rasa kasihannya kala melihat anak laki-laki itu akan luluh lantak. Ajeng turun dari mobilnya lantas memeluk Matteo yang sedang dalam keadaan basah kuyup dan bau itu. Matteo menjengit, refleks ingin mendorong Ajeng menjauh karena tidak ingin wanita tersebut menjadi ikut basah dan bau karenanya. “Don’t push me away, son. I want to comfort you first as much as I can. You don’t deserve any of this horrible treatments from your friends.”

Lagi-lagi, Matteo yang berumur tujuh tahun itu, kini memahami bahwa sangat mungkin orang lain dapat menyayanginya tanpa syarat. Seperti halnya Ajeng menyayanginya bak anak sendiri.

Sejak saat itulah, Matteo juga bertekad untuk bisa mengembalikan rasa sayang dan rasa terimakasihnya kepada Sera juga Mama, sebesar apa yang telah mereka berikan kepada Matteo. Itu yang menjadi alasan Matteo tidak berhenti untuk mencari dimana keberadaan Sera hingga secara tak sengaja, Matteo yang berumur dua puluh lima tahun itu akhirnya kembali melihat Sera lewat iklan suatu luxury brand yang telah tersebar dimanapun di seluruh penjuru dunia.

--

--

aurevoiruna
aurevoiruna

Written by aurevoiruna

kindly check my writings at twitter @aurevoiruna

No responses yet