– meluap.

aurevoiruna
7 min readJul 17, 2023

--

Sera menyandarkan kepalanya pada dada bidang Sena seraya memejamkan matanya, berusaha menghilangkan penat yang merundungnya seharian ini. Keadaan headquarter Burberry sedang cukup chaotic karena seluruh orang sibuk mempersiapkan koleksi untuk Autumn/Winter season. Parfum hasil kolaborasi Sera dengan Burberry juga akan masuk ke dalam lini koleksi untuk Autumn/Winter season tersebut. Mau tak mau, proses research and development pun dipercepat, membuat intensitas pekerjaan juga menumpuk. Tak ayal, Sera kini terkapar di sofa ruang tengah apart nya, dalam pelukan Sena.

Sena sedari tadi hanya bisa memeluk gadisnya dalam diam, tidak ingin menambah riuh yang sudah memenuhi kepala Sera. Ia tahu jika Sera hanya butuh istirahat. Sesekali, Sena juga menciumi puncak kepala Sera ataupun memberikan usapan halus pada pipi gadis itu. Sena sendiri sedari tadi netranya sedang tertuju pada TV yang ada di hadapannya, memutar salah satu series kesukaan Sera.

“Kamu kapan balik ke Paris? Beneran lusa?” gumam Sera pelan, masih memejamkan matanya dengan damai.

“Iya, pumpkin. Soalnya Aya juga lagi dipinjem Matteo dulu. Kerjaan aku disana jadinya gak ada yang bener-bener handle. Sekretaris lainnya juga lagi lumayan chaotic soalnya banyak project masuk.”

“Matteo? Lah, dia gak ada managernya?”

“Gak tau ini mendadak managernya hilang. Aya dari kemarin berusaha reach out tapi gak bisa. Terus Matteo sendiri yang minta ke aku biar Aya aja yang nemenin dia. Hari ini Aya berangkat ke Madrid.”

“Ah… gitu. Oke.”

Hening lagi. Satu hal terlintas dalam benak Sena. Sungguh, ia sangat ingin menanyakan hal ini namun ia takut akan membuat istirahat Sera menjadi terganggu. Satu topik yang Sena tahu persis apa jawaban dari Sera. Namun, ada perasaan menggelitik yang menganggu jika dirinya tidak menanyakan hal ini.

Pumpkin,” panggil Sena lembut. “Hmm…” jawab Sera, gadis itu sedikit menggeliat untuk mencari posisi lain yang lebih nyaman untuk menyandarkan dirinya pada Sena.

“Kemarin ada project masuk dari Alexander Wang loh.. Desainer kesukaan kamu.” Ucapan Sena terputus karena kini ia menjadi gugup sendiri dan meragu. Sera belum memberikan reaksi apapun. “Terus?” tanya Sera kala Sena tak kunjung melanjutkan kalimatnya.

Sena menelan ludahnya sendiri. Kenapa gue jadi grogi banget sih? Padahal ini kan lumrah kalau gue tanyain ke tunangan sendiri..

Sera akhirnya membuka matanya, melirik ke arah Sena lewat ekor matanya. Melihat air muka Sena yang benar-benar gugup, Sera akhirnya memutuskan untuk duduk dengan benar dan menatap dalam-dalam ke arah Sena.

“Kenapa? Ngomong aja.” ucap Sera lagi. Sena yang tadinya masih memandang ke arah TV, mengalihkan netranya kepada Sera. Manik mata mereka sama-sama mengunci. “Ka-kamu.. mau sekalian fitting gak buat wedding gown kamu nanti?”

Sera melengos, tidak berminat. “Oh soal nikah. Pantesan kamu grogi banget.” Sera malah bangkit dari duduk, berjalan ke arah pantry nya, mengambil segelas air. Kepala Sena lantas langsung terkulai lemah. Beberapa waktu terakhir, Sera benar-benar tidak pernah mau membahas pernikahan lagi. Sena mencoba untuk memakluminya karena Sera sedang melewati fase sulit karena merasa betrayed oleh cinta pertamanya — alias merasa dikhianati oleh Papa.

Akan tetapi, Sena juga merasa ia ingin mendapatkan kepastian kapan ia dan Sera bisa segera mengikat janji suci. Ia sungguh ingin memiliki Sera seutuhnya, seumur hidupnya. Ditambah ia tahu, pergerakan Matteo semakin gencar, jika memang seperti apa yang dilaporkan oleh Kio setiap hari — dengan nada mengejek cowok yang lebih muda 3 tahun dari Sena tersebut.

Babe..” lirih Sena kala melihat Sera malah menjadi sibuk sendiri dan kentara sekali mood nya berubah menjadi semakin buruk. “Kamu tahu kan kalau kamu akan terus dapet jawaban yang sama untuk sementara waktu?” balas Sera. Gadis itu sibuk memotong beberapa bahan makanan untuk makan malam.

“Kan cuma fitting ajaa, Sayang. Susah loh buat masuk waiting list nya Alexander. You know it very well. Kamu bisa fitting dulu aja abis itu yaa gaunnya disimpen dulu. Sampe akhirnya kamu udah mantep buat nentuin tanggal kita nikah.”

Sera tersenyum miring, seolah tidak memercayai apa yang baru saja ia dengar. “Kamu beneran masih bisa ngomongin nikah sama aku, Kak?”

Bagai disambar petir, nada meremehkan juga panggilan ‘Kak’ kepada Sena seolah mempertegas suasana hati Sera. Sena menelan ludahnya sendiri lagi, yang kini rasanya seperti menelan bola duri. Membuat nafasnya tercekat.

“Bi-bisa dong.. Memangnya apa yang bikin gak bisa?” Sena sedikit tergagap. Sera menghentikan gerakan pisau di tangannya lalu melempar pandangan tajamnya kepada Sena. Pisau di genggaman erat Sera cukup sedikit banyak membuat kesan horor bagi Sena.

“Yakin?” Sera semakin terdengar sangsi. “Pumpkin, come on… Kalau ini ngomongin soal masalah kita sama Alika lagi, it won’t have an end.”

It won’t ever have an end if you don’t give me a proper explanation, Kak.”

Sena tertampar oleh nada suara Sera yang semakin terdengar tidak peduli itu. Seolah sudah lelah. “Kak Sena tahu sendiri kan apa yang lagi aku hadapi sekarang? Terus bisa-bisanya kamu malah nambahin trust issues aku dengan berduaan terus sama cewek yang jelas-jelas naruh harapan ke kamu??”

“Naruh harapan?” tanya Sena balik, heran. Sera menatap Sena dengan tidak percaya, “Seriously? Padahal Kak Sena yang mulai deketin Alika duluan kan? Gave her tons of treatments yang gak wajar. Aya bisa dengan gampang menilai itu loh, Kak. Orang lain pun begitu semuanya yang kerja sama kalian berdua.”

“Kalaupun Alika naruh harapan ke Kak Sena, it’s not entirely her fault. Naruh harapan tuh termasuk respon dari semua treatment yang Kak Sena kasih ke dia. Aku gak bisa marah sama Alika karena aku tahu, Kak Sena yang mulai semuanya.”

Pupil mata Sena bergetar. Sera tertawa miris, “I guess you really thought that I won’t ever seek the truth about this right? Kak Sena berharap aku percaya-percaya aja kan sama apa yang Kak Sena bilang ke aku? Gak lah, Kak. Aku udah pengalaman soal kayak gini dari Rama. Aku gak akan sebodoh dulu lagi.”

“Kalau kamu masih mau bertahan sama aku, stop asking about when we can do our holy matrimony and anything related to wedding. Tapi, kalau kamu memang mau walk away dari aku, bilang aja. I won’t stop you.”

“Kamu masih sayang sama aku gak, Sera?”

Lagi, Sera memandang Sena dengan rasa heran yang luar biasa. “Kamu beneran masih berani tanya itu ke aku?” Sera menggelengkan kepalanya kuat-kuat, sungguh merasa tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Semuanya rasanya seperti omong kosong.

“Kalau aku udah gak sayang sama kamu, aku udah minta udahan dari awal aku tahu kamu ada apa-apa sama Alika, Kak. Aku masih bertahan karena aku masih sayang dan aku ngerasa belum secapek itu buat ngehadapin semua ini. Aku bikin skenario-skenario sendiri di dalam kepala aku buat nenangin diri, kalau kamu berbuat kayak gitu karena alasan tersendiri. Aku nangis tiap hari karena aku ngerasa semuanya gak adil buat aku, tapi aku masih milih bertahan sampai aku bisa ngeliat pakai mata kepala aku sendiri kalau kamu memang udah gak sayang sama aku.” Dada Sera rasanya sesak menyampaikan seluruh hal yang selama ini ia pendam. Matanya memanas, namun ia memilih tidak memalingkan wajahnya dari Sena. Ia ingin pemuda itu tahu, seberapa sakitnya ia selama ini.

“Kalau kamu masih meragukan aku juga, I guess you’re really just a cold-hearted jerk.” Sera dengan terburu berderap ke arah kamarnya — meninggalkan aktivitasnya menyiapkan bahan makan malam — lantas keluar dengan menuntun Shiro, anjing peliharaannya. Ia ingin menenangkan diri dengan membawa Shiro berkeliling di sekitar daerah apartemen.

Aku mau keluar sebentar. Jangan ikut. Aku gak mau rasa sayang aku semakin berkurang karena kamu makin bertingkah buat bikin aku ngebenci kamu.” peringat Sera.

Debam pintu seolah menegaskan seberapa berantakannya hubungan Sena dan Sera sekarang. Sena mengusap wajahnya dengan frustasi. “I do really have my own reason, Ra.. Tapi aku gak bisa bilang ke kamu dulu sekarang..” bisiknya tercekat.

Yumna — atau biasa kita kenal sebagai Ibu — menatap sahabatnya dengan prihatin. Ajeng, wanita berumur 56 tahun itu — atau biasa kita kenal sebagai Mama — terlihat melempar pandangan kosong ke arah taman kecil di halaman belakang rumahnya. Rinai hujan yang mengalir dengan deras membuat Ajeng semakin tenggelam dalam perasaan menyiksa yang seolah mengoyak dirinya. Jakarta akhir-akhir ini memang selalu kelabu, persis seperti suasana hati Ajeng menjelang sidang perceraian pertamanya.

You already stared at the same spot for 40 minutes without a word, Jeng. At least sip your warm tea.” Yumna akhirnya membuka suara, tidak ingin Ajeng semakin larut dalam palung emosi yang dalam. “Kenapa ya aku bodoh banget dulu masih mau memulai yang sudah jelas ujungnya seperti apa, Yum?” Suara parau itu membuat Yumna sebagai lawan bicara, terhenyak.

“Karena keputusan bodohku itu, aku malah jadi nyakitin anak-anak aku yang seharusnya bisa gak melewati ini semua. I chose the wrong father for them.”

Sometimes being in love makes you irrational. Keputusan yang kamu buat di masa lalu memang pure karena kamu tahu, kamu bersedia menyerahkan cinta kamu ke Ghandi, karena kamu memang ingin melakukannya. Cinta itu gak pamrih, dan kamu mengalami hal itu sendiri. It’s a self fulfillment. Tapi memang sebaiknya, cinta itu juga berbalas karena kamu tahu, kamu berharga dan layak untuk mendapatkan itu.” terang Yumna, “Past will be past, Jeng. Jangan menyesali semuanya sekarang. Yang sudah terjadi, biarkan saja. Sekarang saatnya kamu memperbaiki perasaan kamu sendiri, membebaskan diri dari orang yang bisa hidup dalam kepura-puraan rasa cinta kepadamu selama dua puluh tahunan ini.” lanjutnya.

Ajeng menatap Yumna dengan kilat mata yang menggambarkan berapa banyak perasaan berkecamuk dalam batinnya. “Sebentar lagi semuanya selesai, Jeng. Kamu tidak perlu merasakan lagi kalau cinta kamu itu sia-sia. Let’s live happily, Jeng. Sera, Jovan, dan Maraka pasti tidak akan membiarkan kamu sendirian dan merasa sebagai beban mereka.”

How to deal with this pain, Yum?” Ajeng mengajukan pertanyaan karena memang Yumna sudah jauh terlebih dahulu mengalami hal ini. Yumna mengulas senyum pahitnya, “Aku cuma bisa mikir kalau dia sama sekali tidak pantas buat dapat semua effort dan rasa sayangku, Jeng. Hari dimana aku tahu dulu suamiku mabuk dan akhirnya satu kamar dengan perempuan yang benar-benar aku percaya itu, aku memang marah kepada diri sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu, aku juga tidak mau Sena melihat aku terus-menerus sedih karena ayahnya yang tidak tanggung jawab itu.”

“Ah.. perempuan yang jadi rekanan kamu waktu dulu merintis Bitna ya? Yang juga menggelapkan uang Bitna?”

Yumna mengangguk, “Aku yakin Ghandi juga akan mendapat ganjarannya jika tahu kebenaran soal perempuan yang dia bilang dia cintai itu.” Ajeng menatap Yumna tidak mengerti kala Yumna malah mengaitkan Ghandi — atau suami Ajeng — dalam jawaban barusan.

“Kok mendadak bahas Ghandi lagi, Yum? Kan tadi aku tanya soal selingkuhan suamimu itu.”

“Kamu mau tahu siapa namanya, Jeng?”

Don’t say that…” bisik Ajeng takut-takut. Yumna sudah mengangguk sebelum Ajeng menyelesaikan kalimatnya, “Iya, Gendhis Dwiputri. Your husband’s beloved lover.

--

--

aurevoiruna
aurevoiruna

Written by aurevoiruna

kindly check my writings at twitter @aurevoiruna

No responses yet