– masa lalu.
Suara ketukan lembut pada pintu membuat Laksmi dan Gautama sama-sama teralihkan atensinya dari perdebatan yang cukup memeras otak sedari tadi. Laksmi sedang mati-matian membujuk Gautama untuk mau menerima proyek revitalisasi salah satu situs di dekat Candi Borobudur, namun pemuda itu menolak mentah-mentah karena merasa tempat sakral dan bersejarah semacam itu terlalu riskan untuk dijadikan suatu proyek. Walaupun valuasi proyeknya besar, tetap saja, Gautama mengutamakan kesanggupannya. Soal uang bisa dicari lagi nanti, ia tidak mau hasil kerjanya tidak terasa sepenuh hati.
“Arghie palingan, Mas.” ucap Laksmi kala menangkap ekspresi keheranan di wajah Gautama. Ia lantas cuma mengangguk seraya kembali fokus pada proposal yang ada di hadapannya.
Pintu terbuka dan membawa satu sosok yang tadi sudah disebutkan Laksmi, ke arah kursi yang berseberangan dengan Laksmi dan Gautama. “Serius banget kayaknya. Belum kelar lo, Mas?” Arghie angkat bicara begitu bokongnya menyentuh kursi.
“Ini lagi dibahas.”
“Masih lama gak? Mau pinjem Ayu dulu sebentar.” pinta Arghie dengan nada acuh tak acuhnya.
Ayu.
Begitu cara Arghie memilih memanggil Laksmi. Pertama, agar berbeda dibanding yang lain. Arghie memang tidak suka porsinya pada diri Laksmi dianggap setara dengan teman-teman atau sahabat Laksmi lainnya. Harus istimewa. Alasan kenapa harus istimewa? Arghie memilih tidak berpusing diri untuk memikirkan alasannya. Dia merasa dia harus seperti itu. Sesimpel itu. Kedua, Arghie memanggil Laksmi dengan nama tengah gadis itu karena menurutnya Laksmi memang ayu (berarti cantik dalam bahasa Jawa). Gadis tercantik setelah Ibu.
“Mau ngapain sih kok kayak buru-buru amat,” protes Gautama sebal. Konsentrasinya terpecah karena rengekan tak kunjung usai dari adik pertamanya itu. “Mau bahas proposal juga plus gue laper jadi mau sekalian makan sambil bahas.”
“Kan gue udah bilang bahasnya di kantor aja. Harusnya lo bawa makanan lo kesini aja,” omel Laksmi galak. Mata Arghie melebar kaget, “Lah? Lo beneran marah? Katanya tadi gak marah? Lagipula kan gue maunya juga makan sama lo.”
“Siapa yang marah?!” sela Laksmi cepat namun nada suaranya bertentangan dengan pernyataannya sendiri. Gautama menghela nafasnya berat, “Berantem mulu apa gak capek sih? Baru juga 5 menit ketemu.”
“Mending lo urus mention party lo di Twitter itu deh. Temenin fans-fans lo yang mau ngerayain girlfriend’s day.” sindir Laksmi lagi dengan netra yang sama sekali enggan menatap ke arah Arghie.
Senyum Arghie terkulum, “Cemburu?” godanya. Laksmi sontak menoleh dengan mata membulat sempurna, “DIH? NGAPAIN???” serunya keras. Membuat baik Gautama dan Arghie terlonjak. Laksmi buru-buru bangkit dari kursinya, “Gue mau ke pantry ngambil air dingin.”
“Buat matiin api cemburu ya?” Lagi dan lagi, hobi Arghie adalah menggoda Laksmi.
“I hate you.” geram Laksmi seraya melempar pandangan tajam kepada Arghie.
Langkah kaki menghentak menandakan godaan itu sukses besar membuat Laksmi sebal. Arghie menyunggingkan senyuman puas. Gautama cuma bisa geleng-geleng kepala, “Katanya dulu lo sahabatan deket sama dia? Kok malah keliatan kayak musuh?” tanya Gautama terheran.
Arghie mengendikkan bahu, “Gatau.. Kayaknya banyak hal yang cukup berubah deh di antara gue sama dia, Mas. Dulu juga suka grumpy gitu sih cuma yaa gak langsung berantem kayak gini. Paling ngambek-ngambek kecil. Gue kan udah gak ketemu dia 4 tahun. Mungkin harus kenalan lagi biar bisa sedeket dulu.”
Gautama cuma mengangguk-angguk. Ponsel Arghie mendadak berdering. Ia terburu pergi agak menjauh dari Gautama untuk menerima panggilan. Sayup-sayup terdengar kata Hera disebut. Gautama sudah maklum, paling itu mantan pacar Arghie yang sering putus nyambung. Benar-benar tidak jelas.
“Mas, gue cabut dulu ya. Urgent. Nitip bilang ke Ayu lusa aja ketemunya. See you.”
Langkah kaki Arghie berderap keluar, memberikan suara menggema, mengisi setiap sudut kantor Soerjapradja Design yang sudah lengang. Wajar saja, jam sudah menunjukkan pukul setengah 9 malam. Gautama kembali fokus pada pekerjaannya sendiri. Targetnya adalah menyelesaikan semua ini agar ia dapat pulang pas jam 9 malam.
“Loh? Arghie mana, Mas?” Suara kebingungan Laksmi sejenak menyita atensi Gautama.
“Biasa lah.. Mantannya yang gak jelas nge call tadi. Gatau ada urusan apa tapi dia jadi buru-buru pergi.”
Mantan? Yang mana? Mantannya Arghie banyak…
Senyum miris langsung terpatri di bibir Laksmi. Kening Gautama mengerut melihat perubahan itu. “Is everything okay?” tanyanya memastikan. Laksmi buru-buru mengendalikan dirinya sendiri, melenyapkan senyuman miris yang bertengger di bibir.
“All good. Yuk Mas kita cepetan cari jalan tengahnya, Mas gak suka pulang lembur di atas jam 9 kan?”
“You know me well, Ms. Adhinatha.”
Ucapan Gautama selanjutnya terkait proyek rasanya hanya menjadi dengung semata karena Laksmi sama sekali tidak bisa fokus. Pikirannya kabur kemana-mana berusaha merangkai segala kemungkinan yang ada terkait apa yang dilakukan Arghie dan siapa yang dikunjungi pemuda itu. Rasa-rasanya, masa lalu seperti kembali terulang. Kala waktu yang sudah susah payah disisihkan Arghie untuknya, lenyap begitu saja jika salah satu wanita itu datang.
Hal yang membuat Laksmi merasa ia tidak pernah punya kesempatan untuk berdampingan bersama Arghie. Well, wajar bukan? Anggota keluarga Soerjapradja memang terkenal sulit untuk disentuh oleh sembarang orang. Dan Laksmi kebetulan termasuk ke dalam kategori ‘sembarang orang’ itu.