– mama.
Kisah tentang apa yang terjadi antara Ajeng Putri Wirani (Mama) dan Ghandara Hayat (Papa).
Ajeng Putri Wirani. Itulah nama lengkap dari perempuan yang memiliki tiga anak hebat. Kerap dipanggil Mama oleh anak-anaknya. Selayaknya kebanyakan ibu-ibu di Indonesia, Ajeng memiliki sifat yang ceriwis, heboh, dan a total social butterfly yang suka arisan sana sini. She’s also always love to give her all for her beloved ones. Termasuk memberikan segalanya kepada Ghandara Hayat, 30 tahun lalu, sejak mereka bertemu pada makan malam keluarga yang tak pernah disangkanya akan menjadi pengawal segala kisah.
Makan malam itu awalnya Ajeng anggap biasa saja karena memang ia sudah terbiasa ikut makan malam bersama Papa dan Mama nya, mengunjungi kolega bisnis yang tersebar dimanapun. Ajeng yang merupakan anak tunggal selalu dibawa kemanapun, menjadi trophy kebanggaan dari keluarga Wirani. Cantik, pintar, attitude bagus, penyayang, ah sepertinya Ajeng memenuhi kriteria istri idaman seluruh laki-laki lajang. Malam itu juga termasuk ke dalam agenda keluarga Wirani untuk ‘memamerkan’ anak mereka yang sudah dibesarkan sedemikian hati-hati bak merawat porselen.
Semuanya terasa biasa saja hingga mendadak di tengah-tengah acara makan malam tersebut, muncul Ghandara Hayat – putra bungsu dari keluarga Hayat – yang datang dengan kondisi basah kuyup. Hujan deras memang sedang mengguyur di luar sana. Tuan dan Nyonya Hayat – Sang Tuan Rumah – memekik terkejut melihat keadaan mengenaskan putranya itu. Sebelum mulai diomeli, Ghandara atau biasa dipanggil Ghandi, menundukkan kepala sedalam-dalamnya sebagai permintaan maaf.
“Maaf Om, Tante, saya terlambat. Tadi ada urusan dulu dengan teman-teman kampus.” ucapnya dengan nada yang masih terengah. Ajeng menebak pemuda itu sepertinya berlari dari area drop off hingga ke pekarangan rumah tanpa memakai payung ataupun pelindung lainnya. Kediaman keluarga Hayat yang memang sangat besar itu membuat jarak tempat drop off ke pekarangan rumah utama bisa dibilang cukup jauh.
“Tidak apa-apa Nak. Apa tidak sebaiknya kamu ganti baju dulu? Bisa masuk angin loh itu..” suruh Tuan Wirani melihat keadaan anak dari koleganya tersebut. Pemuda itu mengangguk, “Saya akan ganti setelah memperkenalkan diri dulu. Nama saya Ghandara Hayat, biasanya dipanggil Ghandi saja biar singkat.”
“Oh iya Nak Ghandi… Ajeng, kenalan dulu.” suruh Tuan Wirani kemudian. Ajeng berdiri dari duduknya, “Saya Ajeng Putri Wirani, salam kenal.” Ajeng mengulurkan tangan ke arah Ghandi yang langsung disambut erat oleh pemuda itu, “Glad to see you, Nona Cantik.” ucap Ghandi seraya menatap lekat manik mata Ajeng, sekaligus melemparkan senyuman hangat.
Seketika itu juga, jantung Ajeng mendadak berdebar. Ajeng yang seharusnya sudah merasa biasa saja dengan pertemuan semacam ini – karena ia biasa bertemu dengan pria berparas rupawan serta hangat dan manis lainnya – cukup kebingungan dengan reaksi dari dalam dirinya sendiri. Aku kenapa?, batinnya.
Sapaan Nona Cantik, genggaman erat dan yakin, serta senyum hangat seorang Ghandara Hayat malam itu sukses membuat Ajeng terbius oleh suatu perasaan aneh yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Oh.. apa ini yang namanya cinta seperti yang selalu diceritakan orang-orang dalam kisah romansa ya?, lagi-lagi, Ajeng hanya dapat membatin.
“Tangan kamu dingin, sebaiknya cepat ganti baju dulu.” ucap Ajeng sembari terburu melepas genggaman tangan mereka. Mendadak hawa di sekitarnya terasa panas. Ghandi tersenyum simpul melihat gadis di hadapannya tak berbeda dari gadis-gadis yang selalu ia temui. Pasti salah tingkah jika berkenalan dengannya untuk pertama kali. Hal yang biasa bagi seorang Ghandara Hayat – Si Pesohor Kampus.
“What is this?”
Ajeng melempar satu map cokelat berisikan banyak bukti yang menunjukkan satu hal tergila dalam hidupnya. Sekujur tubuh Ajeng bergetar hebat menahan amarah, kesedihan, dan kekecewaan yang tidak pernah ia kira akan datang menghampiri. Satu hal yang selama ini Ajeng kira takkan pernah ia alami, menilik bagaimana Ghandi selalu memperlakukannya dengan baik dan penuh cinta.
Satu hal itu adalah perselingkuhan.
Awalnya wanita 35 tahun itu menolak keras desas desus dari sumber tak dikenal yang diterimanya di pagi buta, enam bulan lalu. Informasi pertama yang ia dapatkan dari sumber anonim itu adalah foto klasik sumber kecurigaan, foto Ghandi dengan seorang wanita sedang bergandengan tangan, menyusuri pinggir Sungai Seine di sore hari. Ghandi memang sedang bertugas ke Perancis selama 2 minggu kala itu dan memang belum pulang karena masih masa dinasnya. Foto yang sanggup membuat jemari Ajeng dalam sekejap tremor. Ponselnya terjatuh secara dramatis.
Ajeng mengambil ponselnya yang tergeletak di atas lantai itu dengan cara bersimpuh. Membiarkan lantai dingin itu membuatnya semakin menggigil. “Gak mungkin kan… Itu bukan Mas Ghandi..” gumam Ajeng putus asa.
“Mama?? Mama kenapa duduk di atas lantai gini??” Suara panik Jovan – anak sulungnya yang kala itu masih berumur 11 tahun – membuat Ajeng terburu menyembunyikan ponselnya ke dalam cardigan rajut yang ia kenakan.
“Eh? Sudah pulang, Jagoan Mama??” Ajeng lantas memeluk erat Jovan. “Iya, tadi waktu Jovan ketuk pintu Mama gak denger ya?”
Ajeng melepas pelukan eratnya lantas menggeleng, “Maaf ya, Mama gak denger. Tadi sibuk bikin quiche kesukaan kamu.”
“QUICHE??” seru Jovan dengan mata berbinar. Senyum Ajeng lantas terkembang begitu saja. Melihat antusiasme anaknya saja sudah sangat cukup untuk membuat Ajeng bahagia dalam sekejap. Ia lantas lupa akan apa yang baru saja ia rasakan akibat kiriman dari sumber anonim itu.
Hal itu terus terulang selama 6 bulan ke belakang. Setiap kali Ajeng baru mendapat bukti dari sumber anonim, selalu saja salah satu anaknya baik itu Jovan atau Maraka, mendadak menemukan keberadaannya. Mungkin memang malaikat-malaikat kecil itu diutus Tuhan untuk mengusir rasa sedih Ajeng.
Hingga puncaknya, hari ini. Semuanya sudah final karena Ajeng menemukan fakta yang paling menyakitkan untuknya. Ghandi ternyata berhubungan dengan perempuan yang dulu memang mantan pacarnya. Pacar yang terpaksa harus Ghandi putuskan karena ia ingin melaksanakan wasiat kakeknya agar ia menikah dengan Ajeng saja. Katanya, masa depan Ghandi lebih cerah jika bersama Ajeng ketimbang dengan pacar Ghandi saat itu.
Ghandi yang menyayangi Kakeknya lebih dari orangtuanya – karena kakeknya yang mengurus dirinya sejak kecil – akhirnya menuruti permintaan terakhir dari laki-laki sepuh bernama Adi Hayat itu. Namun sebenarnya, bukan itulah alasan utama Ghandi akhirnya menikahi Ajeng. Tetapi karena…
“Jujur sama aku, Mas. Jadi kata-kata kamu bohong waktu aku tanya ke kamu soal mantan pacarmu itu sebelum akhirnya kita menikah? Kamu bilang kamu sudah selesai dengan semuanya?” Suara Ajeng tercekat. Emosi membludak datang ke permukaan, segala emosi yang ia tahan selama ini. Ia tahan agar ia dapat mempertahankan keluarga yang utuh demi Jovan, Maraka, serta bayi kecil yang masih tersimpan dalam rahimnya.
“Iya. Aku bohong. Kamu puas?” Nada dingin itu disambut dengan isakan Ajeng yang pecah. Perempuan itu mencengkram kepalanya sendiri, “I’ve told you that you don’t have to force your own feelings towards me kan, Mas? I’ve told you hundreds times.”
“Iya, saya tahu. Masa-masa itu memang sangat merepotkan. Kamu tahu kan bagaimana rasanya harus terus berbohong?”
Hati Ajeng remuk, terlebih kini kilat mata kebencian terlihat dari manik mata Ghandi. “Saya nyaris menikah dengan Gendhis. Lalu kamu malah muncul sampai-sampai Kakek juga menyukai kamu lebih dibanding beliau menyukai Gendhis. Kamu tahu seberapa tersiksanya Gendhis waktu itu karena dia tahu posisinya tergantikan begitu saja?”
Mata Ajeng melebar tidak percaya, “Mas! Kamu sadar gak lagi ngomong apa sekarang???” jerit Ajeng putus asa. “Sadar. Saya sepenuhnya sadar, Ajeng.”
“Terus kenapa kamu memilih buat melanjutkan ini semua? Ketika aku sudah memberi kamu pilihan, Mas. Pilihan untuk menghentikan semuanya sebelum dimulai.”
“Karena wasiat Kakek bukan cuma soal menikahi kamu, Jeng. Tapi juga soal warisan yang terkait di dalamnya. Kalau saya tidak menikahi kamu, aset hotel di Canggu, tanah di Yogya, rumah di Kemang itu tidak akan jadi milik saya sekarang.”
Ajeng benar-benar tersentak. Jadi, selama ini… dia hanya menjadi syarat wasiat yang sesungguhnya?
Tawa miris dan sinis keluar dari mulut Ajeng. Ia sungguh tercengang dengan segala hal yang terasa seperti omong kosong ini. Ajeng merasa sudah merelakan segala hal yang ia punya dan ia bisa kerjakan demi mengikuti setiap langkah Ghandara Hayat untuk mencapai karirnya, namun ini balasannya?
“Lalu, 12 tahun pernikahan kita apa artinya buat kamu, Mas? Gak ada? Aku cuma jadi kunci kamu buat meraih semua harta itu, iya?”
Ghandi menundukkan kepalanya. Tidak sanggup melihat pendamping hidupnya selama 12 tahun itu perlahan hancur. Namun, ia juga tidak tahan untuk bisa menyembunyikan segalanya lebih lama. Ia tidak bisa berbohong jika hatinya masih terpaut hanya untuk Gendhis, mantan pacarnya dulu.
“MAS JAWAAAAB!” teriak Ajeng histeris.
“Iya. Semua yang kamu ungkapkan benar. Selama ini saya memperlakukan kamu seperti itu karena saya merasa ada tanggung jawab selayaknya seorang suami untuk kamu. Walaupun hati saya selalu terpaut untuk yang lain. Saya mencoba menjalankan tanggung jawab saya sebaik mungkin– ”
Pertengkaran yang terjadi di area dapur itu semakin memanas. Ajeng mendadak berderap ke arah pantry, meraih pisau paling tajam yang baru saja diasah kemarin. Ia berjalan tepat ke depan Ghandi lantas menyodorkan pisau itu, “Just kill me already, Ghandi. Jadi kamu tidak perlu repot-repot harus mengurus dua orang.”
Ghandi membelalak, terlebih, posisi pisau yang ditodongkan kepadanya cukup berbahaya. Sisi tajam terarah kepadanya seolah dapat menusuk kapan saja. “Ajeng, calm yourself down. This isn’t a way to solve this problem.”
“Are you kidding me? Am I a joke to you for these WHOLE TIME? Kamu suruh aku tenang ketika aku tahu aku hidup dalam pura-pura selama 12 tahun ini? Are you fucking insane?”
“Ajeng, I’m so sorry. I should’ve told you sooner about this.”
“Setidaknya, kalau memang sama sekali tidak pernah menaruh perasaan kepadaku, jangan membuat kita sampai punya tiga anak seperti ini, Mas. Kamu bahkan punya anak yang seumuran sama Jovan juga dari Gendhis. Kamu pernah memikirkan perasaan mereka jika tahu ini semua? Jika tahu kalau Papa mereka tidak pernah benar-benar menyayangi Mama mereka bahkan mungkin tidak sayang juga dengan mereka?”
Ghandi mengeratkan kepalan tangannya, “Saya tahu ini semua salah. So, please stop blaming me like this, Ajeng. It won’t change anything. Perasaan saya tidak bisa kamu paksa. Tapi, saya akan tetap menghidupi kalian selayaknya kewajiban saya sebagai seorang kepala keluarga.”
“Gila. Why don’t we get our divorce paper now? Kenapa kamu tidak mau pisah sama aku, Mas? Jelasin sekarang. Apa masih ada wasiat lain dari Kakek? Yang mengharuskan kamu untuk tetap bersama aku meski semua perasaan kamu yang sesungguhnya sudah terungkap?”
“Anak-anak tetap butuh sosok Papanya, Ajeng. This isn’t just our problem.”
“Mereka tidak butuh sosok Papa yang pura-pura sayang sama mereka. Atau kalau kamu masih bersikeras tidak mau cerai sama aku, just kill me. Apa aku harus ngelakuin ini juga sendiri? Iya? Kayak gini?”
Ajeng mengarahkan pisaunya ke arah lehernya, mulai sedikit menekannya. Ghandi terperanjat, “Ajeng! Jangan nekat! Gimana anak-anak kalau tidak ada kamu?!”
“Toh, ada kamu yang bersikeras mau mempertahankan posisimu sebagai Papa mereka kan, Mas? Mereka tidak akan pernah benar-benar sendiri.”
Tekanan itu semakin dalam, mulai membuat leher Ajeng meneteskan darah sedikit demi sedikit. “If you still don’t want to do it. I’ll finish it by myself, Mas. Tolong jaga anak-anak.”
Sedetik sebelum Ajeng sungguh nekat menekankan seluruh pisau itu ke dalam lehernya, Jovan meringsek masuk ke dalam dapur. Lantas langsung menubruk Ajeng, memeluknya erat-erat sambil menangis. “MAMA! MAMA MAU APA? MAMA KENAPA? MAMA STOP!”
Gerakan tangan Ajeng seketika terhenti. Ia menatap nanar dan kosong ke arah Jovan yang masih setinggi pundaknya. Anak sulungnya itu menenggelamkan kepala pada bahunya, terisak kencang. “MAMA STOP.. MAMA BERDARAH! MAMA AYO KE RUMAH SAKIT! WHY DID YOU DO THIS?!” amuk Jovan. Tangan Ajeng bergetar hebat kala ia akhirnya menaruh pisau yang mulai berlumuran darah itu ke atas meja yang terletak di tengah dapur.
“MAMA! JAWAB JOVAN!” Jovan menatap Ajeng dengan kilat matanya yang marah. Air mata mulai menggenang di pelupuk Ajeng, “Mama mau pergi ya, Jagoan. Mama udah gak bisa sama Papa.”
Jovan memandang Ajeng kemudian memandang Ghandi dengan kebingungan secara bergantian. “Kenapa udah gak bisa? Papa ngapain Mama? Pasti Papa cuma bercanda, Ma! Papa sama Mama gaboleh pisah! Jovan sayang Papa Mama.” Anak laki-laki itu mendongak, menatap Ajeng dalam-dalam seraya masih memeluk Ajeng erat-erat.
Ajeng serasa ditonjok oleh fakta. Anak-anak tetap butuh sosok Papanya, Jeng, ucapan yang dilontarkan Ghandi beberapa saat lalu langsung dibuktikan dengan fakta konkrit seperti ini. Tangan Ajeng yang masih saja bergetar karena terlalu banyak macam emosi yang harus ia proses, mengusap lembut pipi Jovan, menghilangkan jejak air mata anak sulungnya.
“Iya, Mama gak jadi pergi.”
“Berarti Jovan masih bisa lihat Mama sama Papa bareng?”
Ajeng mengangguk seraya mengulaskan senyuman terbaik yang masih bisa ia suguhkan sekarang. “Mama, you’re still bleeding quite bad. We should really rush you into ER and get some help.” Jovan bergidik ngeri melihat satu garis panjang di leher Ajeng semakin banyak darah yang mengalir turun ke leher dan dada Ajeng sekarang.
“Okay, Jagoan. Kamu jaga Maraka dulu ya di rumah. Papa anter Mama dulu ke rumah sakit ya?” Ghandi akhirnya berusaha menguasai dirinya sendiri, ia mengangkat Jovan ke dalam gendongannya. Untuk kembali bersikap sebagaimana biasanya. Sebagai seorang Ghandara Hayat yang memang kepala dari keluarga ini. “Jovan mau ikut!”
“ER is too packed with people that needs to get help, Abang. Kalau kamu disana nanti dokternya kewalahan buat cari yang bener-bener butuh bantuan dia. Jadi, Abang di rumah ya jagain Maraka? Oke?” Ghandi sungguh kembali ke dalam mode seorang ‘Papa’ yang selama ini ditunjukkan kepada Jovan dan Maraka. Sebuah akting serius yang membuat seluruh orang percaya. Pria itu menggendong Jovan masuk ke dalam kamarnya kemudian bergegas kembali ke dapur, “Ayo, kita ke rumah sakit. Kamu bisa pingsan karena kehabisan darah kalau gini ceritanya. Mau dibantu jalan atau enggak? Saya menawarkan ini karena saya tahu kamu pasti sudah sangat marah dengan saya sekarang.”
“Aku bisa jalan sendiri.” ucap Ajeng walau cukup sempoyongan. Ghandi mengikuti langkah Ajeng di belakang wanita itu, was-was jika Ajeng tumbang mendadak. Ajeng menghentikan langkahnya sesaat lantas membalikkan badan. Ia menatap Ghandi sungguh-sungguh, “Aku maafin kamu kali ini, Mas. Bukan karena cuma masalah anak-anak, tapi karena..”
Ajeng menjeda ucapannya sendiri. Meragu apakah ia sungguh akan kalah dengan pertarungan ini jika ia mengungkapkannya.
“Karena aku masih sayang sama kamu sebesar itu dari dulu. Walaupun selama 6 bulan terakhir aku tersiksa, aku masih sayang sama kamu, Mas Ghandi. Dan kamu juga tidak berhak untuk serta merta memaksa aku menghilangkan perasaan itu.”
Itulah Mama. The one that always give her all for her beloved ones. Termasuk menyerahkan seluruh hatinya kepada Ghandara Hayat walaupun ia tahu mulai dari detik ini, ia akan terus terluka.