— irresistable.
“Welcome — ”
Suara Karina tercekat begitu netranya menangkap sosok yang tidak asing. Sosok yang sanggup membuat dadanya sesak hanya dalam beberapa detik. Sosok yang… ia rindukan selama beberapa lama.
“Your cafe is getting nicer. I love the ambience, Rin.” Senyum manis nan lebar pemuda itu dalam sekejap meruntuhkan segala pertahanan Karina yang sudah disiapkan sedemikian rupa beberapa waktu lalu. She swears to herself that she won’t ever get sway easily by him. But now she just failed miserably, just by the moment she saw him.
Setelah segala hal yang Maraka perbuat kepada Karina — yang jelas sekali menghancurkan gadis itu hingga Haza sibuk harus kembali mengembalikannya menjadi kepingan utuh — ketika Karina hampir kembali utuh, pemuda itu malah datang. Masih lengkap dengan senyum lebar hangat, alis yang bergerak-gerak lucu, dan juga aroma myrrh khas yang menguar dari parfum yang dikenakan Maraka, menjadi combo penghancur pertahanan Karina dalam sekejap.
Karin masih mematung hingga Maraka harus menjentikkan jari di depan wajah gadis itu. “You okay?”
Untung saja, kafe sudah sepi karena 15 menit lagi memang akan tutup.
Gadis tersebut hanya dapat menyunggingkan senyum miring. Bisa-bisanya he asked that after what he has done?? Gila, batin Karin berapi-api. Tapi, tetap saja, Karin tidak bisa berbohong jika ia begitu merindukan Maraka.
“The US project already done?” Karin memilih menjadi pribadi berkepala dingin. Bercakap seolah ia tidak pernah memiliki masalah dengan pemuda di hadapannya — yang sejatinya, seharusnya berhutang banyak maaf kepadanya.
Maraka menggeleng sebagai jawaban. Detik berikutnya, senyum pahit terukir di bibir Maraka. Kepalanya terkulai lemas. Karina mengeryitkan dahinya. “Is there something bad happened in work?”
Maraka menggeleng lagi. “I’m the one that got bad.”
“And it affects your work?” Karina masih tidak paham akan jalan pembicaraan Maraka.
Suara mesin espresso mengalihkan atensi Karina sejenak. “Wait, I’ll grab your coffee first.”
Netra Maraka memerhatikan gerak cekatan Karina Si Barista yang sudah lama sekali tidak ia lihat. Oh how much he misses her and he didn’t even notice it until two days ago, Arin shook him, badly. Or to be exact, both of them, shook each other hardly.
“Here you go. Two shots of espresso, half cup of oatmilk, and a block of sugar. Just like what you always have.”
Maraka tersenyum miris. Exactly. This is exactly what he needs and also, this is exactly what Arin also told him.
That Karina will always remember small details about him, no matter what. Because simply Karina loves him abundantly.
And Arin didn’t. Because the small details that she remembers are Matteo’s. Not Maraka’s. Which we can conclude that Arin loves Matteo. A thing that she didn’t even realize until that late night talk she had with Maraka.
“Is it still fulfill your taste?”
“Absolutely.” Kepala Maraka yang tadinya tertunduk, lantas kembali tegap setelah menyesap kopi buatan Karina itu. Netra menatap lurus manik mata jernih kepunyaan Karina di hadapannya. Karina adalah gadis yang jelas tidak dapat memanipulasi ekspresinya. Dan kini, pipi merah merona itu langsung muncul ke permukaan.
“Jadi.. kenapa kamu tiba-tiba kesini Kak?” Karina berusaha mengalihkan pandangan dengan sibuk mengelap counter yang sebenarnya sudah bersih mengkilap itu. Maraka mengulum senyumnya, “Because I owe you an apology. Or maybe some apologies.”
Gerakan tangan Karina terhenti. Jemarinya bergetar karena menggenggam kain lapnya terlalu erat. Getaran luapan macam emosi mendadak menguasai dirinya. Matanya terpaku pada counter, tidak sanggup menatap pemuda di hadapannya.
“A — apology? What for?” Walaupun sudah mati-matian mengontrol dirinya sendiri, suara Karina tetap bergetar hebat. Pandangannya mulai berembun.
“Apologies for being a jerk and all of my shitty actions that I’ve done.”
Jantung Karina rasanya jatuh ke dasar lambung. So sudden? What’s going on?
“Ah..” Karina benar-benar kehilangan kata-katanya. Segala tindak tanduk Maraka sungguh tak pernah bisa tepat ia tebak. Tanpa bisa ia tahan, air matanya meleleh begitu saja. Seluruh beban yang tanpa ia sadari menumpuk di dalam sana, rasanya berhamburan keluar.
“I heard that Haza proposed you?”
Nafas Karina rasanya tercekat. Gadis itu kira, Maraka sudah sama sekali tidak pernah mempedulikan segala hal tentangnya lagi. Darimana dia bisa tahu?
“Sera told you?”
Maraka menggeleng. “Arin told me. She told me to chase you before it’s going too late.”
Karina mendongak karena keterkejutan luar biasa. Melupakan fakta mata sembabnya akan ketahuan oleh Maraka. “Kak Arin? How come she knew it..?”
“Matteo asked her about what’s the perfect plan on proposing someone. And he just spitted out that Haza was the one who asked him.”
“And why she told you about it? After months, aku rasanya kayak invisible buat kamu karena ada Kak Arin. Kenapa tiba-tiba malah dia yang ngasih tau kamu ini? Like she cares about me??”
“She cares about you a lot.” timpal Maraka cepat. Karina tampak tidak setuju.
“But she likes you. And I know she dislikes me that much because I kept bothering you.” terang Karina mati-matian karena sekarang rasanya hatinya sedang disayat ratusan bilah belati.
“Yes, we had a fling for a while. Also yes, she got jealous for a bit. But throughout the time, she realized that both of us kept talking about other persons when we were together. We didn’t talk about our future. I kept telling her about you. And she also kept telling me about Matteo.” Penjelasan panjang Maraka membuat Karina semakin mematung di tempatnya dan memandang Maraka kosong.
Otaknya terasa disfungsional.
Tangan Maraka terulur untuk mengusap jejak air mata di pipi Karina. “It’s my fault that I didn’t realize it sooner and made you feel miserable. I’m sorry, Rin. I know I’m wrong and if you don’t want to forgive me, it’s totally fine.”
“Also.. I know this one is too much to ask..” Maraka menjeda ucapannya. Jemarinya mengetuk meja dengan tak beraturan. Bibirnya juga ia gigit dengan gugup.
“But can I take you back — ”
“KAK MARAKAAA!!!”
Suara Maraka yang semakin melirih tadi sontak tertimbun oleh seruan kencang kepunyaan Sera, adiknya. Gadis itu berlari berderap menghampiri Maraka dan memeluknya erat-erat.
Buyar. Semuanya buyar. Maraka membelalakkan matanya, terkejut bukan main. Bagaimana bisa Sera tahu keberadaannya disini?
Maraka tidak memberitahu siapapun kecuali Arin bahwa ia akan pergi ke Indonesia dari California kemarin dan akan sampai hari ini. Apalagi, begitu sampai di bandara, Maraka langsung pergi ke kafe kepunyaan Karina ini tanpa menunda lagi.
Keterkejutan Maraka semakin bertambah karena di balik Sera yang kini sedang memeluknya erat, terlihat Haza dengan rahangnya yang mengeras, berjalan ke arah mereka. Jelas sekali, Haza begitu membenci kehadiran Maraka sekarang.
“Kok kamu tahu aku ada disini, little princess?” Maraka berusaha menyamarkan rasa terkejutnya. Sera mencebik sebal, “Gimana ceritanya sih pulang ke Indo tapi bukan aku yang pertama disamper?” protes Sera, menuntut penjelasan.
Haza langsung menangkup kedua pipi Karina begitu melihat gadis yang ia sayangi itu, terlihat sekali jejak menangisnya. “Astagaaaaa, jadi hidung jambu begini. Merah banget kebanyakan nangis ya?”
Godaan Haza sukses membuat Karina mendengus sebal dan mau tak mau sedikit tertawa karena bagaimanapun raut konyol Haza tidak ada duanya. “Gak usah lebay deh.” omel Karina seraya menyingkirkan tangan Haza yang mencubit hidungnya.
Haza tersenyum hangat, “Nah.. mendingan senyum aja. Aku gak tega kalau liat kamu nangis lagi. Apalagi masih karena cowok brengsek yang sama.” Tatapan tajam pemuda itu langsung menusuk ke arah sasarannya, tidak lain adalah Maraka.
“Kok lo ada disini sih?” tanya Karina, baru sadar. Haza menjitak kening Karina, “Kan seperti biasa aku pasti jemput kamu kalau kafe udah mau tutup kan? Sekalian bantu kamu beres-beres.”
Maraka yang melihat interaksi Haza dan Karina mendadak merasa ‘kecil’. Oh.. her smile.. being that pretty because of his silly acts?
“Are you coming back because this week will be the second trial of our parent’s divorce?” Sera memecah pikiran semrawut Maraka. Pemuda itu tergugah, menoleh Sera dengan sirat matanya yang tidak fokus.
“What did you say?”
Sera hanya bisa menghela nafas pelan melihat Maraka sungguh tidak bisa berbohong akan perasaannya sendiri. Seluruhnya tergambar jelas di dalam manik matanya. Terbaca bak buku terbuka.
“Kamu udah nginep di hotel apa mau nginep di rumah, Kak?” tanya Sera lagi. Maraka masih tidak merespons pertanyaannya.
“Yuk, Rin. I’ll drive you home. Sera sama Maraka pasti needs to talk. Ra, you can close the cafe by yourself right?” Haza memastikan. Sera membuat gestur oke dengan tangannya, membiarkan Haza hendak membawa pergi Karina yang tampak tidak baik-baik saja karena kehadiran Maraka.
Namun, baru selangkah Karina menjauh, gerakan kaki gadis itu terhenti karena pergelangan tangannya dicengkram dari belakang oleh Maraka. “Please.. don’t go. I need you now, Rin.” lirih pemuda itu, begitu pelan hingga nyaris berbisik.
Karina menelan ludahnya sendiri. Terlebih, sorot mata Haza yang menegang membuat hatinya semakin campur aduk tak karuan.
“Give her space, Kak. It’s unfair that you demand her to come back again to you after what you’ve done all these times. I’m your sister but still I’m also being objective now.” Sera melepaskan cengkraman tangan Maraka dari pergelangan tangan sahabatnya itu.
“Mending sekarang kamu pulang terus ketemu sama Mama. She’s in need of your support, ya?” Suara Sera semakin melembut. Ia paham betul, untuk melunakkan watak teguh Maraka, hanya bisa dilakukan dengan cara membujuknya pelan-pelan semacam ini.
Maraka memandang Sera dengan tatapan kosong. Ia bahkan tidak tahu harus menata diri bagaimana lagi. He already turned into pieces. Feels like too much on his plate.
“Dengerin Sera sekali ini aja boleh, Kak?”
Sera mengibaskan tangan di belakang punggungnya, memberikan cue untuk Haza dan Karina agar pergi saja dari kafe.
Haza mengangguk, untung saja Karina juga sedang tidak dalam mode perlawanan. Gadis itu dengan cepat mengekor Haza, mengikuti arah dari cowok yang menggenggam jemarinya erat.
“Sebentar ya Kak. Aku beresin lagi dulu sedikit lagi ini sebelum closing cafenya ya.”
Sera membiarkan Maraka terkulai lemas di atas bangkunya. Dengan tangan yang begitu lemah, susah payah ia membawa kopi dalam gelas itu untuk disesap oleh bibir.
Entah kenapa, cairan hitam itu hari ini terasa seribu kali lebih pahit. Mungkin ini salah satu efek samping dari pahitnya menjadi seseorang yang terlalu lama dalam menetapkan keputusannya sendiri.
Ah.. so I lost her?, pikir Maraka, meratapi keadaan naas yang sebenarnya dibuat sendiri.