— still missing him.

aurevoiruna
6 min readNov 27, 2024

--

“Bengong mulu padahal ini kita lagi bikin farewell party buat lo loh, Nat! Dicariin orang-orang tuh di lantai bawah.” Abimanyu, atau kerap disapa Abim — teman dekat dari Tezar, Noah, dan Niel — menjetikkan jarinya tepat di depan muka Nata yang sedang tercenung di balkon rumahnya.

“Eh iya sorry, Kak Abim.”

“Nih.” Abim menyodorkan segelas matcha hangat ke depan Nata. Pemuda itu ikut menumpukan badannya pada balkon. Nata tersenyum melihat Abim yang sudah semakin seperti kakaknya sendiri semenjak tragedi Tezar menghilang kala itu.

“Kangen banget ya pasti, Nat? Apalagi karena lo tahu, kalau ngelepasin dia itu keputusan yang paling baik juga buat dia ya?”

Nata tersenyum miring. Abim memang selalu terus terang tanpa basa-basi. “Bohong kalau gue bilang gak kangen sih, Kak. You know it well.”

I know it well too kalau lo suka nya mendem itu. Makanya gue nanya biar lo ngeluarin aja kata-kata itu.”

Lagi dan lagi, Nata hanya bisa tersenyum miris mendengar respon Abim. “Gue.. menyedihkan banget ya kondisinya, Kak?”

Abim terlihat berpikir sejenak, “I’ve never been in the same exact situation, so I can’t judge it. But for me, losing Nata that cheerful, playful, and full of good energies is such a big loss for us. But we also understand that’s the way you do the griefing.”

Nata semakin terlarut dalam pikirannya. Gue memang sekangen itu sama Tezar sih sampe sering bengong sendiri. I know that I also lost myself that is always being positive towards anything, pikir gadis itu. Pandangannya kembali terlihat kosong. Abim hanya terdiam, membersamai Nata dalam hening. Setidaknya, agar gadis itu tidak terlalu lama sendirian di hari istimewanya.

“Kak.. what if I can’t feel anything again? Too much things happened and it makes me numb.”

“Mungkin sekarang lo masih ngerasa mati rasa and that’s totally okay. It’s a sign that you’re not okay. But you can heal it too kok, if you have willingness and also effort to do a lot of work to make it true. It won’t be an easy journey, but with little step, you’ll reach your destination. To found yourself again.”

Abim being Abim that Nata always can rely on if it’s about some comforting, rational, and wise words. Nata tersenyum tipis, “You’re right. It will take a lot of effort to do so. But I can do it, right?”

At those moments that you won’t even believe in yourself, please remember that you’ll always have us that are never lost our faith on you. Masuk yuk? It’s get windy and colder. You’ll catch a cold.”

Nata mengangguk dan mengekor di belakang pemuda yang lebih muda satu tahun darinya itu.

So.. we’re going to be apart again, yes?”

Stefany memandang adiknya yang sedang mengemas seluruh barang di kamar pemuda itu. Ia menumpukan beban tubuhnya pada daun pintu. Kedua tangannya tersilang di depan dada. Wajahnya terlihat acuh namun sebenarnya hatinya mulai remuk sedikit demi sedikit.

Tidak dapat dipungkiri, kehadiran Leon — atau kita kenal dengan Tezar — ke dalam kehidupan Stefany yang serba sendiri setelah hampir 5 tahun ke belakang, sudah menjadi kebiasaan yang rasanya sangat berat untuk kembali diubah. Tidak ada lagi adik jahil yang akan selalu mengusiknya dengan hal paling remeh. Tidak ada lagi adik bandel yang suka meledeknya atas seluruh kisah cinta yang gagal itu. Tidak ada lagi yang bisa tiba-tiba memberikan kejutan dengan masakan unik untuknya di tengah malam ketika ia sudah penat pulang bekerja.

Just for a while, Ci. We’ll meet again soon. Or else, just come lah to my place.”

Stefany memanyunkan bibirnya. Ia lantas memilih duduk di meja belajar pemuda itu. “Kenapa jadinya malah milih itu sih? Bukannya you have tons of choice ya? Apalagi aku tahu itu bukan pilihan yang paling kamu suka?”

Every choice is good enough no matter which one I decided to choose right?”

I know.. But still.. It’s like throwing away your lifetime dream?”

“Gak kok. Udah ah Ci.. We’re already discussed about this right? Gak akan ada yang bisa diubah juga sekarang.”

“Iya, iya.. Jangan galak-galak, bisa?”

“Bisa. Siapa juga sih yang galak ke Cici? Memangnya aku pernah marah ke Cici?”

“Duh, iya deh kamu memang gabisa di debat. Aku siap-siap dulu deh baru anter kamu ke airport.”

Okay.”

Begitu suara debam pintu terdengar, Tezar menghela nafas panjang dan menghentikan kegiatan packingnya itu yang memang sengaja ia ulur-ulur. Tentunya karena pemuda itu tidak berani menatap Stefany di hari terakhir mereka tinggal bersama. Ia takut tangisnya pecah.

Selama nyaris satu tahun tinggal bersama Stefany lagi, Tezar akhirnya menemukan kembali kepingan yang bisa mengisi kosong dalam hatinya. Ternyata yang begitu ia rindukan selama ini adalah kasih sayang dari keluarga — yang begitu absen selama 5 tahun terakhir — setelah Mommy memilih untuk pergi begitu saja hingga tak dapat diketahui keberadaannya. Stefany sungguh menjadi pengganti sosok Ibu yang baik. Selalu menjadi tempat bersandar Tezar ketika seluruhnya terasa sulit. Selalu menjadi garda terdepan jika terdapat suatu masalah. Dan selalu menjadi seseorang yang memberikan pelukan paling hangat.

Kini, Tezar merasa begitu berat untuk meninggalkan Stefany. Terlebih, ia bisa melihat bahwa Si Sulung itu selama ini lebih kesepian dari dirinya. Selalu melakukan apapun sendiri karena memang hanya itu yang bisa ia terus jalani untuk bertahan hidup. Ia sudah bertekad bulat bahwa begitu ia menamatkan kuliahnya, Tezar akan segera mencari penghidupan yang layak baginya dan Stefany serta tentunya segala hal tidak akan ada campur tangan klan Liu.

Let’s go. I think there will be a storm. Maybe your flight also get delay.”

Tezar terkejut sedikit lantas menatap Stefany yang sudah menunggunya di depan pintu. “Mau dibantuin bawa kopernya juga?” tawar gadis itu. Tezar menggeleng, “I’m stronger than you, by the way.”

Stefany memutar matanya malas lantas membalikkan badan. Beberapa saat kemudian terdengar debam pintu disertai dengan suara mesin mobil dinyalakan. Tezar cuma bisa tersenyum tipis.

I’ll bring you back soon, Ci.

Thank you for coming, all. Byeee!”

Nata melambaikan tangannya ke arah seluruh temannya yang datang ke farewell party hari ini. Begitu ia menutup pintu rumahnya, gadis itu merosot duduk di atas lantai. Kepalanya terkulai lelah. Sebenarnya, farewell party hari ini sungguh menyenangkan, Nata merasa ia sungguh bisa menyimpan memori hangat hari ini untuk kotak memorinya kurang lebih 4 tahun ke depan kala ia mungkin akan lebih sulit bertemu dengan seluruh teman dan orang terkasihnya. And it energized her as well.

Di satu sisi lain, Nata merasa begitu lelah karena harapannya sendiri. Gadis itu berharap Tezar mendadak hadir di depan pintu. Muncul dengan senyuman menyebalkan sekaligus kedua tangan yang menenteng barang-barang kesukaannya. Ia berharap pemuda itu bisa muncul mendadak lagi, seperti 5 bulan yang lalu. Namun, nihil, hingga akhirnya gadis itu menutup pintu rumahnya hari ini, yang diharapkan tak muncul juga.

“Nona Nata, are you okay?” Nyonya Zhang tergopoh menghampiri gadis itu begitu ia sampai di ruang tamu. Ia berjongkok, menyejajarkan posisinya dengan Sang Nona.

Nata mengangguk lemas. Seperti biasa, bak bisa telepati, Nyonya Zhang langsung mengerti apa yang terjadi. “He won’t come, Nona. He’s not here.” Nata langsung mendongakkan kepalanya, menatap Nyonya Zhang dengan getir. “I’m tired, Nyonya Zhang. Can I just erase him from my mind? I wonder why I act soooo stupid if it comes about him.”

It’s love. It’s just love, Nona. Semakin kamu lawan, efeknya semakin buruk. Just let it be. Come on, get up. Nanti masuk angin.” Nyonya Zhang berdiri dan menawarkan tangannya di hadapan hidung Nata.

Let’s just unbox all of those gifts that your friends give it to you and I’ll help you pack it again after you decide which one that you’ll bring with to UK. How does it sound?”

Nata sedikit mengulas senyumnya dan menerima uluran tangan Nyonya Zhang. “Sounds like a good idea. I’m in.”

--

--

aurevoiruna
aurevoiruna

Written by aurevoiruna

kindly check my writings at twitter @aurevoiruna

No responses yet