– and that’s how you protect your loved ones.

aurevoiruna
6 min readJul 25, 2023

--

Suara hentakan heels runcing yang dikenakan Sera menandakan seberapa kalutnya perasaan gadis tersebut sekarang. Di tengah keramaian main venue, Sera berusaha mati-matian untuk menahan air matanya dan tetap menunduk menatap lantai untuk menghindari pertemuan pandang yang membuatnya harus menyapa atau berbasa basi. Ia sungguh berharap dirinya punya kekuatan teleportasi sekarang agar bisa sampai dalam sekejap mata.

“Ra!”

Suara familiar itu membuat Sera menghela nafas lega, benar-benar lega. Ia mendongak dan mendapati pemuda jangkung kesayangannya itu sudah merentangkan tangan lebar-lebar, siap memberikan pelukan paling hangat dan nyaman that she can ever ask for.

“EEEH don’t run like that – ” Ucapan Jovan terputus begitu Sera langsung berlari ke dalam dekapannya, memeluk erat Jovan hingga rasanya sesak.

“Abang.. Gue beneran sayang sama lo banget..” lirih Sera, parau. Tangan Jovan terulur menepuk punggung Sera, “You have me, Ra.. You will always have me.”

Suara bisikan yang cukup mendengung keras mulai terdengar di sekeliling Jovan dan Sera. Gadis itu sungguh melupakan fakta jika sekarang ia adalah publik figur yang dikenal secara internasional, yang dikenal banyak orang. Jovan menaikkan sebelah alisnya kala ia melihat tatapan orang di sekitarnya seolah ingin bertutur buruk.

“Kita ke mobil aja yuk? People are now start gossiping about us kayaknya..” Sera langsung menggelengkan kepalanya cepat, “Let me rest a bit…” Gadis satu itu semakin menenggelamkan wajahnya di antara dada bidang Jovan.

Matteo sedari tadi celingukan untuk mencari keberadaan Sera hingga akhirnya ia mendapati teman SD nya itu sedang memeluk seseorang. Namun dalam sekejap, ia mengenali siapa yang dipeluk Sera sehingga hatinya tidak jadi remuk untuk sementara. Lamat-lamat, ia masih mengenal baik rahang tegas kepunyaan Jovan yang menjadi ciri khas kakak dari Sera itu.

Ia lantas berjalan mendekat ke arah Sera dan Jovan, sedikit banyak mendengarkan gunjingan orang yang ia lewati. Kuping Matteo rasanya panas mendapati orang-orang mulai mereka-reka cerita sesuai versi mereka sendiri.

It’s her brother. Stop saying non sense.” Dengan galak, Matteo menimbrung beberapa percakapan jurnalis yang ia lewati lantas berlalu begitu saja.

“Ra.. yuk? Ke mobil abis itu cerita sama gue ada apa sebenernya.” bujuk Jovan.

“Kak Jovan?” Suara itu secara otomatis membuat Jovan menolehkan kepalanya, mendapati Matteo ada di hadapannya. Wajah yang tidak terlalu asing karena sudah beberapa kali beredar di dalam chat keluarga mereka.

“Ah.. Matteo Damian ya?”

Matteo sedikit terkejut kala Jovan langsung mengenalinya. Entah kenapa ia jadi merasa sedikit tersanjung. “Panggil aja Dam atau Theo atau Matt, Kak. Glad to see you again.”

Giliran Jovan yang terkejut, “We’ve met each other before?” Walaupun Jovan mengetahui fakta bahwa Matteo adalah teman SD Sera, ia merasa tidak pernah bertemu sebelumnya.

“Mungkin agak pangling sih, Kak. Gue dulu gendut pake kacamata soalnya.”

Jovan menjentikkan jarinya, “OOOH, you’re that kid. You grow up well.” Jovan menepuk-nepuk bahu Matteo dengan pandangan bangga.

Sera yang sedari tadi masih memeluk Jovan akhirnya melepaskannya pelan-pelan. Sedikit merasa malu karena kehadiran Matteo.

Mata Sera benar-benar sembab. Dengan sigap, Matteo berdiri dengan posisi menghalangi Sera agar tidak dapat terlihat oleh siapapun. Ternyata menjadi terlalu tinggi juga ada keuntungannya. “Something happened ya that you changed your mind?” tanya Matteo lembut. Sera menatap Matteo dengan mata yang masih berkaca-kaca lantas mengangguk lemah.

Alright.. Jadi mau langsung pulang bareng gue atau Kak Jovan?” tawar Matteo lagi. Memilih tidak bertanya lebih lanjut terkait apa yang terjadi. Ia akan menunggu hingga Sera yang mau bercerita sendiri.

Both of you. Bang, ke apart gue dulu ya? I still need your hug.” pinta Sera. Jovan hanya mengangguk, “Apa yang gak sih buat this little princess.” Pemuda itu menjawil hidung Sera gemas. Membuat Sera dapat setidaknya tersenyum tipis.

“Sera?”

Sapaan tersebut membuat Sera tersentak. Sera mendadak merinding. Ini..

“Udah berapa kali Abang bilang Papa jangan dateng??!” Amukan itu segera terdengar. Sedikit menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka.

Benar, Ghandara Hayat atau Papa dari Sera dan Jovan kini sudah berdiri di hadapan mereka dengan sebuket besar bunga mawar pink di dalam dekapan. Jovan langsung pasang badan di depan Sera, “Don’t ruin her most important milestone, Pa.” geram Jovan. Tangannya terkepal seolah sudah siap melayangkan tinju.

Papa terdiam melihat bagaimana kilat benci dengan jelas tercetak dalam iris Jovan. “We need to talk.”

“Gak disini dan gak sekarang, Pa. You draw everyone’s attention right now.” bentak Jovan. “Stop merasa jadi pihak yang seolah berhak memiliki dan merasa paling tersakiti.” lanjut anak sulung dari Ghandara Hayat tersebut.

“Papa minta maaf ya, Ra.”

Mata Sera memanas. Ia semakin bersembunyi di balik kokohnya bahu Jovan. Ia tahu pertahanannya akan runtuh apabila ia bertemu pandang dengan Papanya. Terlebih, ini pertama kalinya, Papa benar-benar hadir dalam momen penting di dalam hidup Sera. Pertama kalinya selama hidup Sera, akhirnya Ghandara Hayat terlihat bisa meluangkan waktu untuk bertemu anak-anaknya dalam momen paling penting.

Sera sudah terbiasa akan absennya Papa dalam setiap momen penting dalam hidupnya. Wisuda dari SMP, SMA, bahkan kuliah, lalu semua pesta ulang tahunnya, Papa tidak pernah datang. He always exchange his presence with expensive gifts that Sera never asked for. Karena mau semahal apapun hadiah yang diberikan Papa, tetap tidak dapat menggantikan seberapa berharganya kehadiran Papa dalam hidup Sera. Dulu Sera senantiasa bertanya-tanya mengapa Papa tidak pernah bisa meluangkan waktunya.

Kini, Sera sudah paham. Papa memang tidak pernah benar-benar memprioritaskan mereka. Papa tidak pernah sungguh menyayangi mereka.

It’s too late, Pa. A sorry won’t ever change anything. Now please go or else I’ll call security to escort you out from here.” Jovan menatap mata Papa dengan tidak main-main. Menegaskan seberapa jijik dan bencinya Jovan sekarang.

“Ah.. gak deh. Let me and Sera out from here. Drive home safe, Pa. Yuk, Ra.” Jovan membalikkan badannya dan melingkarkan tangannya pada bahu Sera.

“Nak..” Papa berusaha menjangkau tangan Sera, ingin menyerahkan buketnya. Dengan cekatan, sebagai respon otomatis, Jovan menangkis tangan Papa, membuat buket itu terjatuh dan berserakan dengan mengenaskan.

Suara terkejut dan menahan nafas orang-orang langsung membeo. Papa terlihat sedikit terpukul. Sera akhirnya membalikkan badannya, menatap Papa lurus, “I never like pink roses, Pa. Maybe it’s your other daughter’s favorite.” Suara Sera tercekat, rasanya begitu sulit seperti menelan bola duri.

Di titik itu juga, Matteo yang sedari tadi hanya bisa terdiam dan mengamati, dapat dengan jelas melihat Ghandara Hayat sungguh terpukul dengan ucapan Sera.

“Ayo, Matt. Lo ikut pulang sama kita kan?” ajak Jovan. Matteo tergugah lantas mengangguk. Ia lantas mengekor di belakang Sera dan Jovan meninggalkan Ghandara Hayat yang masih terpaku pada tempatnya, terpukul telak.

“NAH AKHIRNYA KETEMU JUGA!” Kio berseru seraya menepuk bahu Sena yang berjalan beriringan dengan Alika menuju lobby. Adik tiri dari Sena itu mengeryitkan dahinya kala menyadari atmosfer di antara kedua atasannya terasa begitu berat. Terlebih, pandangan Sena yang kosong membuat Kio terheran sendiri.

“Lo dicariin sama Mbak Sera daritadi loh, Mas?? Lo gak cek HP apa? Mbak Sera udah nungguin lama di ruang tunggu.” omel Kio langsung panjang lebar. Tidak peduli bahwa ada Alika yang menyimak.

“Udah ketemu.” balas Sena dengan suara lemas. “Lo anterin Alika balik ke hotel deh, Ki. Gue balik sendiri aja nanti.”

Dahi Kio mengeryit, “Kenapa?”

I need to clear my mind.”

Kio melirik ke arah Alika, memerhatikan gerak gerik gadis tersebut yang semakin kikuk. Kio tersenyum miring, “Ketahuan Mbak Sera ya? Lo diputusin?”

Alika terbatuk sendiri mendengar pernyataan Kio yang terasa ‘menembak’ itu. Terlebih, tatapan sinis Kio sungguh menuduhnya.

“Mampus sih. Akhirnya Mbak Sera sadar kalau kelakuan sialan lo itu memang gabisa dimaafin lagi.” Kio puas sekali rasanya melihat seberapa sedihnya Sena kini di hadapannya. Kalau saja mereka tidak di tempat umum, mungkin Kio bisa lebih leluasa lagi untuk memaki Sena.

“Ayo ke lobby.” Sena tidak menghiraukan ucapan Kio lantas menarik tangan Alika agar perempuan itu mengikuti langkahnya. Kio menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, tidak habis pikir bagaimana bisa Sena setebal muka itu?

Kio keheranan kala melihat sebagian atensi kerumunan terlihat tertuju kepada satu arah di lobby. Begitu pula dengan Sena dan Alika yang kemudian melihat ke arah yang sama.

“Oh?? Papa??” seru Alika terkejut kala tatapannya tak sengaja bertemu dengan mata hitam legam pria sepuh yang kini sedang memungut kelopak mawar pink itu. Kio memicingkan matanya berusaha mengenali sosok yang tidak asing itu. Mata Kio melebar dengan sempurna lantas menoleh ke arah Alika dengan tidak percaya. Sena yang ada di samping Alika memberikan isyarat dengan menggeleng kala ia tahu persis adiknya itu akan melontarkan satu pertanyaan.

Beneran Papanya Mbak Alika?, batin Kio sendiri akhirnya melihat raut serius Sena yang melarangnya.

“Kamu salah lihat kali. Yuk, pulang. Ki, anterin Alika ya, kayaknya dia kecapekan.” Kio memandang Sena dengan penuh tanda tanya dan menuntut penjelasan. Sena hanya bisa menatap Kio balik dengan arti ‘later, Ki.’

Kio akhirnya menyerah. “Yuk, Mbak. Ke mobil.”

Adik tiri dari Sena itu akhirnya memboyong Alika pergi bersamanya. Menyisakan Sena yang kini melangkahkan kakinya ke arah pria sepuh yang sedang memungut mawar di atas lantai itu.

“Papa ngapain disini?” Sena kini juga ikut berjongkok di samping Ghandara Hayat, membuat pria sepuh itu sukses terkejut bukan main.

“Loh? Calon mantuku? Kamu ngapain disini, Nak?”

Sena tersenyum miring, “We need to talk, Pa. Sena tahu semuanya.”

--

--

aurevoiruna
aurevoiruna

Written by aurevoiruna

kindly check my writings at twitter @aurevoiruna

No responses yet