– and if you ask me now how i feel.
Selama aku hidup 18 tahun ini, aku kira hal yang paling membuatku sedih hingga mati rasa adalah ketika kehilangan Kak Louis secara mendadak. Dengan banyak kejanggalan dan tanda tanya dalam benak, aku harus mengikhlaskan kepergian orang yang paling mengerti diriku setiap kali suara teriakan dan gelas pecah bersamaan menyambut gendang telinga. Cuma di dalam dekap Kak Louis, aku merasa aman dan dapat ‘beristirahat’ tanpa perlu mengejar apapun.
Selama aku hidup 18 tahun ini, aku kira aku sudah tidak dapat menafsirkan perasaan apapun lagi karena aku juga sudah tidak ingin merasakan apapun. Hidupku hanya penuh kelabu. Aku tidak pernah menjadi diriku sendiri, menjadi seorang Natasha Rutherford yang selayaknya. Menjadi seorang anak SMA yang seharusnya memiliki memori baik di zaman SMA yang kata orang tidak akan pernah bisa tertandingi keseruannya. Salah, semuanya salah. Aku ternyata memang tidak bisa berharap lebih pada hidup karena nyatanya babak dalam hidupku akan selalu diisi dengan memori mengenaskan yang membuatku selalu berharap bisa amnesia saja.
Aku hanya bisa tercenung di depan pusara Kak Louis. Sudah tiga jam aku habiskan tanpa kata dan hanya memandang pusaranya dengan nanar. Apa ketidakberuntungan begitu menyukaiku hingga rasanya tidak pernah ada hal bahagia lagi yang menghampiri? Aku sudah cukup dibuat sedikit bahagia kemarin, namun apa memang takdirku tidak pernah menyenangkan ya?
“Kenapa semua yang sayang sama aku, ninggalin aku ya Kak?” bisikku akhirnya, memecah hening suasana persemayaman terakhir. “Kalau Kakak mau bantah dengan bilang Mami juga sayang sama aku, can you just please stop it? We both know it’s all a lie.”
“Memangnya salah yaaa kalau aku mau bahagia sebentar? Setelah beberapa lama aku ngerasa aku memang gak pantes buat bahagia, nyatanya ada yang berhasil bikin aku ngerasain bahagia and feel connected. Guess what, Kak? Ternyata dia adiknya Kak Stefany, pacarnya Kakak dulu. Tipe kita ternyata sama ya?” Aku cuma bisa tertawa dengan suara parau karena kasihan pada diri sendiri.
“And I lose him now, Kak. Falling deeper into the darkest hole that I’ve never imagined before. Aku kira kehilangan Kak Louis udah paling menyakitkan. Ternyata ada lagi yang sama menyakitkannya. Apalagi aku tahu alasan kenapa ternyata aku harus kehilangan dia. Dia merasa dia harus menanggung dosa orangtuanya yang udah bunuh Kakak. Padahal kan enggak? Padahal kan aku juga gak akan bisa benci sama dia. Aku gak akan nyalahin dia juga kalau Kakak udah gak ada. But he refused to acknowledge it then chose his own way to lighten weights in his shoulder.”
“He left me, Kak. My source of happiness is gone. Gak ada yang bisa ngertiin aku lagi sebaik dia. Terus aku harus apa ya sekarang? Kalaupun akhirnya aku jadi Oswald awardee dan bisa lepas dari Mami, terus aku harus apa selanjutnya? Buat apa aku ngelanjutin hidup kalau gak ada siapapun yang nunggu aku di ujung jalan yang panjang ini?”
Ah, akhirnya aku tidak kuat juga. Mataku yang sudah memanas daritadi akhirnya mengalirkan air mata juga. Kak Louis selalu bilang boleh menangis di hadapannya tapi jangan di hadapan orang lain. Harus terlihat kuat di mata orang lain.
“Kak, kapan ya aku bisa hidup sama orang yang sayang sama aku tanpa syarat? Apa aku bisa nemu lagi yang minimal kayak Kakak atau Tezar? Rasanya mustahil deh.”
Seiring dengan air mataku yang menderas, entah kenapa aku seperti merasakan kehangatan di sekitar. Mungkin Kak Louis tidak tega juga melihatku menangis seperti ini hingga akhirnya meminta kepada Yang Kuasa untuk setidaknya memberikanku pelukan yang tak kasat mata. Setidaknya, aku tahu Kak Louis selalu ada di sisiku, mendukungku, dan selalu berharap yang terbaik untukku.
“Kalau ternyata aku gak bisa sayang sama siapapun orang yang ada di masa depan karena aku tahu hatiku cuma bisa untuk Tezar, aku harus apa ya Kak? Berpura-pura? Atau mengaku saja? Membiarkan orang-orang tahu mereka tidak akan pernah punya kesempatan?”
“Kak.. aku capek.. aku capek sendirian. Semuanya terlalu berat buat aku tanggung sendirian. Gak kehitung berapa kali aku sempat kepikiran buat nyusul Kak Louis. Tapi, kata Kak Louis, kesempatan yang sudah diberikan itu harus dihargai dan dimaknai kan? Aku bertahan cuma karena omongan Kak Louis yang itu. Kalau gak kayaknya harusnya kita udah ketemu sekarang.”
Setelah menyeka sudut mataku yang basah kuyup, aku memutuskan untuk menghentikan paksa tangisku. Kasihan juga jika Kak Louis melihatku seperti ini tapi tidak dapat melakukan apapun. “Minggu depan aku berangkat ke Boston buat international olympiad, Kak. Actually, I guess the place for Oswald awardee already secured for me since Tezar is gone. Cuma ya.. tau lah ya Mami kayak apa kalau misalnya aku santai-santai.”
Tanpa sadar, aku tertawa pelan sendiri, selayaknya ketika aku dan Kakak dulu berusaha menghibur diri akibat tekanan berlebihan dari Mami. Setidaknya, itu yang membuat kami bisa bertahan lebih lama. Ah.. betapa aku begitu merindukan senyumnya Kak Louis.
“Jagain aku dari atas ya Kak selama lomba nanti. I believe you’re always watching me from afar. Aku pergi dulu ya, harus ada extra session buat persiapan minggu depan.” Aku mengelus pusara Kak Louis dengan lembut lantas memberikan pelukan sehangat yang aku bisa. Walaupun wujud Kak Louis sudah tidak bisa aku raih, namun kekuatan yang dulu biasa ia berikan kepadaku, masih terasa hingga detik ini setiap kali aku mengunjunginya.
“Semoga semuanya lancar dan gak ada aneh-aneh.” bisikku sendiri.