— an afternoon tea.
“Kamu kok cuma ngajak Mama sih? Ibu mu gimana?”
Ajeng Putri Wirani — atau biasa kita kenal sebagai Mama dari Sera — melontarkan pertanyaan heran kala Sena menarik kursi untuknya duduk. A gentleman act yang biasa pemuda itu lakukan.
“Lagi di Paris. That’s why I’ll be in her place to take a good care of you for a while.” jawab Sena begitu telah mendudukkan dirinya di depan Mama. Senyumnya mengembang lebar terhadap perempuan kesayangannya yang ketiga — pertama dan kedua tentunya ditempati oleh Ibu dan Sera.
“Atau kamu mau jelasin sesuatu ke Mama?” tanya Mama menyelidik namun nada suaranya tetap tenang, seperti acuh tak acuh. Tangan Mama meraih buku menu di hadapannya dan membolak balik halamannya sebagai pengalih perhatian.
Sena meringis mendengar pertanyaan Mama, “A — aku cuma mau ngajak Mama keluar kok. That’s all. Memangnya aku gak boleh ngajak mama mertua sendiri jalan-jalan?”
“Not yet your mother-in-law sih, Sen. Tergantung Sera berubah pikiran atau enggak. I won’t let Sera forces her own happiness just because she’s already engaged and make her feels like she has to proceed it on to marriage.”
Pemuda itu tersenyum kecut. Nyalinya mendadak ciut. Nada Mama yang terlampau tenang bak ribuan bilah pisau yang menghujam serentak. Menyadarkan Sena bahwa tindakannya tidak hanya menyakitin Sera selama ini, namun juga orang-orang di sekitar Sera yang menyayangi gadis tersebut.
“Are you already lost your trust towards me, Ma?”
“Can I say that I’m just being a normal person and my reaction towards you is just normal thing to do?” Mama menutup buku menu dan kini memandang lurus pada dua manik mata Sena. “You know what I’m going through right now kan, Sena? Are you going to blame me if I feel like this?”
Sena menggeleng dengan cepat sebagai balasan. Ingin rasanya ia menghindar dari tatapan Mama namun ia tidak ingin menjadi lebih pengecut lagi dari ini. He should face it.
“Mama udah tahu tujuan kamu ngajak Mama keluar cuma berdua. Just use this chance to explain yourself, young man.”
Suasana temaram senja Jakarta hari ini cukup syahdu. Setidaknya layak untuk mendukung obrolan dari hati ke hati yang cukup serius.
“I’ll use it well, Ma. Jadi begini..”
“I already knew everything, Ki.”
Zacchio yang sedang mengemudi langsung menoleh kaget ke arah Sera yang duduk di sampingnya. “Knew about…?”
“Sena sama Alika.”
Pemuda yang lebih muda 3 tahun dari Sera itu menelan ludahnya dengan susah payah. Tidak siap dengan apa yang akan disampaikan Sera karena nada suara gadis itu terlampau gloomy.
Keheningan mengisi karena Sera tak kunjung membuka mulut lagi. Zacchio juga jadi tidak tahu harus berbuat apa. Should I comfort her? Or should I just keep quiet?, batin Zacchio.
“Kok kamu gak bereaksi apa-apa sihh??” protes Sera seraya mencubit lengan Zacchio. “A — aduh! Aku bingung harus reaksi gimana tauuuu Mbak!” keluh Zacchio. “Aku takut malah bikin Mbak makin sedih.” terangnya lagi.
Sera tertawa pelan, “I’m all good kok. Kak Sena udah ngejelasin semuanya ke aku kemarin, walaupun mungkin belum se detail itu.”
Nah ini dia, Zacchio membatin sendiri lega setelah sedari tadi ia mengemudi menyusuri ruas jalan lengang dari St. Pancras menuju apartemen mereka. Sera baru saja kembali dari Paris hari ini dengan menggunakan kereta, Gadis itu menghabiskan sehari tanpa Sena di Paris untuk bertemu dengan Ibu dan meyakinkan wanita tersebut bahwa ia tidak akan pergi kemana pun. Sera akan tetap bersama Sena, menemani perjalanan apapun itu ke depannya.
“He did it for me, Kio.”
Kening Zacchio mengerut secara instan. “Maksudnya? Selingkuh gitu kok dibilang seolah dia melakukan sesuatu buat Mbak? Gimana deh aku gagal paham?”
“I haven’t had his spesific reason. Tapi secara garis besar, dia ngelakuin ini buat aku. Alika ternyata saudaranya Arya — anak dari Papa.”
Mata Zacchio melebar sempurna, “Wait what? Berarti dia secara gak langsung saudaranya Mbak Sera dong? Cuma beda ibu?!”
Sera mengangguk-angguk dengan mata yang kosong. Fakta itu masih saja membuatnya cukup terguncang. Bagaimana bisa Papa cheating on Mama selama itu bahkan hingga memiliki dua anak yang umurnya tidak beda jauh dengan Sera dan Jovan? Sera sungguh tidak habis pikir. Apa sih sebenarnya yang ada di benak orang yang tega melakukan perselingkuhan?
“Kak Sena knew all of these setelah dia pura-pura deket sama Alika. Seharusnya sih.. Kak Sena bakalan bantuin Mama di pengadilan nanti buat gugat Papa. Dia bakalan bantu Mama buat kumpulin bukti-bukti perselingkuhannya Papa.”
“Mbak Sera yakin Mas Sena cuma ngelakuin ini buat bantuin Mama? Does he look like he enjoy it? Maksudnya kayak.. jadi ngambil kesempatan dalam kesempitan.”
“Gak. Aku tahu dia jujur waktu bilang he doesn’t have any feelings towards Alika.”
“You’re not blinded by love, right?” Zacchio terdengar sangsi. Apalagi dia menjadi saksi selama hidup Sera rasanya berjalan tanpa semangat sedikit pun — bak mayat hidup selama beberapa bulan kemarin. Pemuda itu tahu persis setersiksa apa batin Sera walau Sera selalu berdalih ia baik-baik saja.
“Eyes won’t tell lies, Kio. You know it well right? His eyes didn’t tell any lie. ” balas Sera, menjawab keraguan Zacchio. Namun, tetap saja, Zacchio tidak percaya.
“And now your own eyes tell me that you are full of doubts about it. You’re not even sure with what you’ve said.” Tangan Sera mengepal perlahan mendengar sanggahan dari Zacchio yang cukup mendadak itu.
“Kalau takut wajar kan?”
Zacchio mengangguk sebagai persetujuan.
“Kita ke cafe nya Damian dulu gimana? He’s been ignoring my texts since my birthday.”
“Matteo?” tanya Zacchio heran, takut salah menangkap maksud Sera. “Iya. Matteo Damian.”
“You guys are on a fight?”
“I don’t knowww, that’s why I want to know by coming to him.” erang Sera frustasi seraya mengacak rambutnya. Gadis itu memang tidak suka jika mendadak bermusuhan dengan seseorang tanpa alasan yang jelas.
“Setahu aku dia lagi gak di London sih Mbak. But sure, let’s go to his cafe.”
“Kok kamu tahu dia lagi gak di London?”
“Kemarin Aya bilang begitu. She’s now Matteo’s manager.”
Mata Sera membulat sempurna, “Loh?? PA nya Kak Sena siapa dong sekarang?? Jangan bilang — ”
Zacchio tersenyum miring, “Semoga Aya dipindahtugas bukan karena Mas Sena ngerasa diawasin aja sih, Mbak.”
Sera menelan ludah dengan susah payah. Kegelisahan kembali merayap dalam benak.
Apa keputusan buat percaya ke Kak Sena lagi itu tepat ya?, lagi dan lagi Sera menjadi mempertanyakan diri sendiri.
“Begitu, Ma. Yang sebenernya terjadi.”
Sena mengakhiri penjelasan panjang kali lebarnya kepada Ajeng. Wanita berumur lima puluhan itu tercenung seraya menatap Sena lekat-lekat. “Is it necessary to do all of this, Sen? Yang paling rugi itu kamu disini.”
Kepala Sena menggeleng cepat, “Gak kok, Ma. Kalau semuanya bisa bahagia dengan sempurna, buat aku sudah cukup.”
“Jangan bohongin diri kamu sendiri, Sen. Your eyes get more teary everytime you mention Sera in every sentence.”
Mata Sena mengerjap beberapa kali. “Is it?” tanyanya tidak percaya lantas mengusak kedua matanya. Ajeng tersenyum tipis, “Mama jadi yakin lagi kalau kamu memang cuma sayang ke Sera, Sen. Dan memang cuma Sera yang bisa bikin kamu jatuh sampai segininya. I do really hope you can take care of her for a really long time. Tapi semuanya balik lagi ke keputusan Sera ya, sayang. Mama cuma bisa doakan yang terbaik buat kamu. Buat kalian berdua.”
“No worries, Ma. Lebih dari apapun, yang penting Sera bahagia.” jawab Sena, masih dengan nada optimis dan riangnya. Tangan Ajeng meraih tangan Sena lantas mengelus punggung tangannya dengan lembut.
“Thank you ya, Sena. Sudah mau berkorban demi Mama, Ibu, dan juga Sera. Semoga rencana kamu benar-benar berhasil bisa bantu kita semua. You’re a good man and I’m lucky to know you.”
Pandangan Sena sedikit memburam karena lapisan tipis air mata mulai terbentuk. Hatinya mencelos lega kala mendengar kalimat terakhir Ajeng. Setidaknya, ada yang akhirnya mengakui dan paham akan pengorbanan yang sedang ia lakukan. “Thank you juga, Ma. Karena udah mau dengerin Sena dan benar-benar mengerti maksud Sena seutuhnya.”
Senyum Ajeng yang hangat menyapa ujung kalimat Sena. “Eat up, young man. Kamu bahkan belum nyentuh makanan kamu sama sekali daritadi.”
Sena terkekeh pelan, “I’ll eat up karena udah lega sekarang, Ma.”
“Kamu bakalan dateng ke sidang Mama yang selanjutnya, Sen?”
“Iya, Ma. Biar plan ku berjalan mulus. Masih 1,5 bulan lagi, kan?”
Ajeng mengangguk, “Ibu mu sudah tahu soal semua ini?”
Pemuda itu menggeleng, “Aku gamau Ibu ngehalangin rencanaku karena pasti beliau gak tegaan orangnya. Biarin aja, Ma. Setidaknya Mama nanti bisa bantu jelasin ke Ibu kalau memang benar-benar diperlukan.”
Lagi dan lagi Ajeng mengangguk seraya kemudian menyesap tehnya, “It’s the tastiest afternoon tea so far. Karena Mama udah gak gelisah lagi berkat kamu, Sen.”
Senyum lebar Sena timbul hingga matanya bak menghilang, “Please eat a lot, Ma. You look skinnier these days.”
“Bagus gak sih? Mama gak perlu diet.”
“Mama kan memang gak perlu diet! Tapi gak bagus juga kalau jadi sekurus ini, Maaaa, udah ya nih makan kuenya.” Sena meletakkan beberapa kue kecil pendamping minum teh itu ke atas piring di hadapan Ajeng.
Ajeng sedikit tercenung, memikirkan bagaimana perasaan anak gadisnya sekarang. Jika kepercayaan Sera telah hilang sepenuhnya pada Sena, Ajeng tidak heran. Namun, jika Sera bilang ada yang lebih mencintai gadis itu dibanding Sena, rasa-rasanya tidak akan pernah ada yang bisa menandingi.
Semoga kalian memang berjodoh ya, batin Ajeng setulus hati.
“Welcome – KOK ADA SERA?!”
Yohan – teman dekat Matteo sekaligus co-owner dari Vie Cafe – memekik terkejut kala Sera dan Zacchio masuk ke dalam kafe. Sera tersenyum lebar seraya melambaikan tangan dengan bersemangat.
“Mau duduk di tempat biasa?” tanya Yohan. Tempat biasa yang dimaksud adalah tempat duduk di pojok cafe dengan sebuah jendela tinggi besar yang menjadi sumber penerangan cafe sebelum malam tiba.
Sera mengangguk seraya langsung berjalan ke arah tempat tersebut. Yohan dengan tergopoh berusaha mendahului Sera agar dapat menarik kursi ke luar untuk gadis itu duduk.
“Thank you, Yohan. That’s so sweet of you as per usual. I would like to have my usual order ya.”
“Okay, Maam. Will come to you soon!” sahut Yohan dengan nada super bersemangat. Sera menahan lengan Yohan dengan cekatan sebelum laki-laki itu hilang beranjak.
“Dam lagi kemana, Han? Sibuk banget kah?”
Yohan melebarkan matanya, kaget. Raut wajahnya menggambarkan jika ada sesuatu yang sedang ia tutupi.
“E–eh gatau sih, Ra. Terakhir kontak sama dia seminggu lalu-”
“Lah, Mbak Sera, itu bukannya Mas Theo?”
Baik Sera maupun Yohan langsung memalingkan kepala ke arah yang ditunjuk Zacchio. Yohan mengaduh sendiri melihat kelakuan sahabatnya yang benar-benar di luar prediksi.
Sudah hampir 5 hari ini, Matteo sungguh seperti kehilangan diri sendiri. Dan Yohan paham, hal itu disebabkan karena patah hati. Makanya, Yohan berusaha untuk tidak mempertemukan Matteo dengan Sera karena ia tahu hal itu akan memperburuk suasana hati Matteo. Baru saja pemuda satu itu ingin mengucapkan kebohongan terkait keberadaan Matteo, malah yang mau dilindungi itu, muncul ke permukaan.
“Dam!!!” seru Sera lantang karena posisi Matteo yang cukup jauh. Zacchio yang duduk berhadapan dengan Sera, sorot matanya menegang kala mendapati Matteo merangkul seorang perempuan. Bukannya itu Aya ya?
“Damian!!” panggil Sera sekali lagi. Yang dipanggil bukannya menoleh, malah terlihat mempercepat langkah mereka untuk keluar dari cafe. Sera membelalak melihat respon yang tidak disangkanya itu. Terburu, gadis tersebut berlari ke arah pintu keluar.
“Matteo Damian!” pekik Sera seraya masih berusaha mengejar Matteo hingga akhirnya gadis itu selangkah lebih maju dibandingkan targetnya (baca: Matteo).
Sera dengan cepat merentangkan kedua tangannya di hadapan Matteo dan juga.. Aya yang sedari tadi dirangkul Matteo erat-erat. “Loh Aya?” ucap Sera heran sekaligus sedikit terdistraksi dari maksud awalnya mencegat Matteo.
Matteo bergeming. Matanya menatap ke arah Sera dengan kemelut emosi tergambar jelas dalam kilat mata. Membuat Sera harus memutar otaknya terkait kemungkinan yang sedang dirasakan Matteo. “Let’s take a walk. Aya, do you mind to leave us alone?” putus Sera akhirnya.
Aya terlihat meragu sejenak, terlebih ia tahu alasan dibalik segala tindak tanduk Matteo ini. Matteo memberikan isyarat pada Aya bahwa ia tidak apa-apa jika ditinggal. Gadis itu lantas mengangguk sebagai jawaban, “Saya permisi dulu, Mbak.”
“Wait here ya. Obrolan kita belum selesai tadi.” timpal Matteo cepat sebelum Aya pergi meninggalkan mereka, “Oke, Mas.”
“Ada Kio juga kok, Ay. Kamu bisa nunggu sama dia. Bills on me.” suruh Sera. Aya lagi-lagi cuma bisa mengangguk lantas akhirnya bisa menyingkir dari Matteo dan Sera.
“Shall we?” Sera mempersilahkan Matteo untuk berjalan berdampingan dengannya. Di mata Matteo sekarang pun, Sera tetap terlihat begitu menawan walau mungkin gadis itu hanya berdiam diri menatap ke arahnya dengan kebingungan.
“Dam?” Jemari lentik itu dijentikkan di depan wajah Matteo, untuk mendapatkan kembali atensi pemuda satu itu yang nampak sedang larut dalam pikiran sendiri.
Tanpa tanggapan berupa kata, Matteo akhirnya melangkahkan kakinya, sedikit mendahului Sera. Jantungnya berdetak tidak karuan. Ah, how he really miss this girl until he feels suffocated.
“What happened?”
Sera akhirnya membuka percakapan setelah beberapa saat mereka berjalan dalam keheningan dan Matteo terlihat enggan untuk mulai membuka mulut.
“Nothing.” jawab Matteo singkat. Sera menghembuskan nafasnya kencang, mulai merasa frustasi. “Clearly something happened so that you’ve been avoiding me like this. You’ve never left me on read, Dam. No matter how busy you are.”
“It is. Something happened. But even if I explain it now, it won’t change anything too. Gue sadar sama posisi gue, Ra.”
Sera mengerjapkan matanya, agak bingung, “Posisi?? Kerjaan lo lagi gak beres? Is there any bullying or harassment–”
Matteo tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menoyor jidat Sera pelan karena gemas akan pemahaman yang salah kaprah itu, “It’s about you, dummy.”
“MEEEE??” Pekik penuh nada keheranan itu semakin membuat pertahanan Matteo rasanya luluh lantak. Pertahanan agar ia tidak kembali meluluhkan hatinya untuk Sera. Agar perasaan itu terbendung. Nyatanya, berantakan juga melihat tindak tanduk Sera yang menggemaskan itu.
“Gue sadar kalau gue di masa sekarang jelas banget sudah kalah langkah sama Sena to get to know you. I knew you first, but during years, you must be already changed too, to a better version of yourself. Sekuat apapun usaha gue buat dapetin lo, bakalan tetep kalah sama Sena sih, Anne. Also, you’re someone’s fiancee.”
Matteo menjeda ucapannya. Pandangannya terlempar jauh ke depan, mengawang. Langkah mereka semakin melambat.
“But I’m not gonna lie, Anne. Walaupun gue udah susah payah buat nahan perasaan gue sendiri, semuanya tetep terasa sama. I’ll smile the widest when I see you happy, I’ll be the most miserable when I see you sad or cry, and I’ll be the proudest when you achieve something that you’ve wanted all of your life. All of my emotions strangely attach to yours. And that’s how I found out that I still fall for you and that feeling never get less. ”
Sera menghentikan langkahnya total setelah kalimat Matteo selesai. Entah kenapa, matanya terasa memanas dan siap menitikkan air mata.
Oh to receive this kind of confess with sincere feelings in it. Hanya ada 3 macam emosi yang mungkin bisa menjadi respon. Bahagia, bingung, atau malah sedih. Dan kini, Sera sedang mengalami opsi menjadi sedih. Gadis itu sedih karena ia tahu, ucapan Matteo benar adanya. Bahwa Matteo benar adanya soal hati Sera tidak akan bisa untuk orang lain lagi. Bahwa Matteo benar adanya soal penggambaran bagaimana rasanya jatuh untuk seseorang.
Deskripsi Matteo soal jatuh untuk seseorang persis seperti apa yang Sera rasakan selama ia mengenal Sena. Benar-benar persis. Sehingga ia juga mengerti pasti terkait betapa sesaknya dada Matteo sekarang. Sera seperti bertemu dengan dirinya sendiri hampir dua tahun lalu, ketika ia menyadari hatinya sudah dimiliki oleh Sena tanpa ia benar-benar ketahui.
“Please don’t say sorry because it’s not even your fault. It’s my own will to fall for you. And I’m more than blessed to meet you again, know that you’re doing alright.”
Air mata Sera menetes saat itu juga, “I know exactly how it feels to be you right now. I’ve gone through that phase. I do really hope you’ll meet someone who can resembles the amount of love that you deserve.” Suara serak Sera tidak terelakkan. Sapu tangan Matteo mengusap jejak air mata di pipi gadis itu dengan perlahan.
“Jangan nangis dong. Kan tadi gue udah bilang. I’ll be the most miserable when I see you sad or cry.”
“Right, sorry.” Sera mengusak sudut matanya. “So that’s the reason why you’ve been avoiding me, Dam?”
“Iya. To protect myself.”
“I’ll appreciate your decision. Gue gak akan nitip Shiro di lo lagi deh.”
Mata Matteo membulat, “Jangan dong! He’s my buddy!”
“But, he is mine?” Sera menaikkan sebelah alisnya. Matteo memberengut, “Ya, gak apa-apa kalau ketemu lo cuma sebentar sih. It won’t affect anything.”
“Yakin?” Sera benar-benar terdengar menyebalkan sekarang. Pemuda itu mendengus, “Iya lah! Sekarang aja gue bisa jalan berdua sama lo kayak gini baik-baik aja kan, Anne?”
“Siapa tahu terpaksa? Karena gue juga maksa sih tadi.” ujar Sera.
“Ya terpaksa dikit sih. But I feel better since I got the chance to convey my own feelings.”
“Thank you ya. It feels like the heavy weight in my chest is gone now.” sambung Matteo lagi lantas mengusak puncak kepala Sera.
“You’re very welcome. You can come to me everytime you need help ya, Dam. I’m here as your friend, always.”
note: if you guys already forgot, Matteo always calls Sera as Anne and Sera always calls Matteo as Dam.