– a farewell.

aurevoiruna
6 min readJul 18, 2023

--

Destinasi terakhir dari wisata yang disediakan penyelenggara OSN adalah Tanah Lot. Pilihan yang sangat tepat mengingat sunset di Tanah Lot begitu memikat dan memukau siapapun yang dapat menyaksikannya.

Tezar terdiam, duduk di pinggiran anjungan yang memberikan pemandangan langsung ke arah Pura yang terdapat di atas karang di seberang sana. Sepoi angin pantai dengan lembut menyapa seluruh inderanya. Ia memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri yang terus menerus tersiksa di alam bawah sadar sana. Kepingan memori tidak dapat ia tahan untuk tidak muncul kembali.

“Mulai hari ini kalian harus ganti nama.” Jake Liu – ayah dari dua anak itu memberikan perintah tegas kepada Leon dan Stefany yang sedang memakan sarapan mereka sebelum mengantar Stefany pergi ke bandara. Ini hari keberangkatan Stefany menuju Harvard, universitas pilihan sebagai seorang Oswald awardee. Sekaligus tepat satu bulan dari kejadian kematian Louis Rutherford, yang menyebabkan Stefany menjadi awardee yang sah. Awalnya, Louis yang diumumkan mendapatkan posisi beasiswa itu. Namun, karena Louis pergi selamanya dari dunia, posisinya digantikan oleh Stefany yang menduduki peringkat kedua dalam daftar seleksi.

Leon dan Stefany yang tadinya sedang asik bercengkrama seraya menyendok serealnya, menatap ayah mereka dengan tidak mengerti. “Wait what? So sudden?” tanya Stefany heran, “Visa aku gimana? Paspor aku? Semua administrasi aku kemarin masih pakai nama Stefany Liu, Dad.” peringat Stefany. Jake mengangguk, “I know. I already took care of it. No problem darling.”

“Memangnya Mom setuju? Stefany kan nama yang dikasih Mom buat Cici.” sela Leon heran. Jake Liu memberikan side eye kepada anaknya sendiri, “She’s already went somewhere else, Leon. Sampai kapan kamu masih mau mempertahankan ilusi kamu itu sendiri?”

“Lagipula kenapa juga sih harus ganti nama? Does it changes everything? Buat apa, Pops?”

“Kamu kalau tidak tahu apa yang sedang Pops berusaha lakukan sebaiknya diam saja dan jangan membantah Leon. Mulai hari ini kamu juga bukan Leon Liu melainkan Tezar Novano.”

“Nama Cici jadi siapa?”

“Anna Wijaya. Got it? Jangan sampai kalian salah sebut nama kalian mulai dari sekarang. Or else we’ll get into trouble.”

Leon terdiam total. Sejak itu masa-masa kelam yang ia rasakan dimulai. Stefany yang mendadak sama sekali tidak ada kabar dan dia sungguh menjadi sendirian untuk menjalani seluruh kehidupan yang tidak pernah ada kata bahagia lagi.

Tezar buru-buru menggelengkan kepalanya sendiri, berusaha mengusir memori-memori buruk menyakitkan yang mulai menyambangi. Melamun dan tenggelam dalam pikiran sendiri memang tidak pernah baik bagi Tezar. Terlalu banyak hal yang dapat dipikirkannya dan terlalu banyak skenario lain yang terangkai dalam otaknya.

Langkah Tezar sudah hampir membawa pemuda itu untuk pergi, namun cengkraman erat pada lengannya menahan dirinya untuk berhenti. Detik berikutnya, kala Tezar menjatuhkan pandang pada siapa pelaku hal itu, matanya membulat sempurna. Natasha Rutherford berdiri di hadapannya dengan kilat mata yang menuntut penjelasan. Juga dengan penekanan bahwa ia tak dapat dibantah.

What is it again?” Tezar berusaha mati-matian membuat nada suaranya terdengar amat-sangat-tidak bersahabat. Pertanyaan itu hanya disambut dengan cengkraman Nata yang semakin mengerat pada lengan Tezar. Kilat matanya dipenuhi dengan ratusan emosi yang tumpang tindih, tidak dapat diterjemahkan. Bibir Nata juga masih terkatup rapat. Tezar hanya tidak tahu jika Nata sedang mati-matian merangkai kalimat tanya dalam otaknya.

“Nat, for real, jangan gini. Nanti lo kena amuk Niana.” peringat Tezar. “I don’t care about her. I care more about you, Zar.” jawab Nata cepat. Pupil mata gadis itu bergetar seolah menahan sesuatu yang akan meledak dari dalam dirinya.

Kepalan tangan Tezar menguat hingga buku jarinya memutih, menyadari apa yang sepertinya ingin dibahas oleh Nata. “Lo udah liat kalau kasus Kakak gue dibuka lagi?”

Tezar mengendikkan bahu dengan raut wajah yang sebisa mungkin terlihat datar, “Gatau deh gue belum buka portal berita lagi.”

It’s all over the place, Zar. Don’t lie to me. Lo selalu up to date sama berita apapun itu karena memang lo rajin baca. Don’t lie to me except you really have something that you’re hiding from me.

I don’t lie! Semaleman sampe pagi ini gue beneran turn off hp gue, Nat. How can I know it?” Tezar bersikeras. Nata menelisik mata Tezar dalam-dalam, mencari kebenaran yang ia yakini masih tersembunyi disana.

Pemuda itu lagi-lagi hanya menunjukkan air muka tanpa ekspresinya. Nata mengerang, kenapa sih ini anak beneran se gak bisa dibaca itu?

“Lo beneran bukan menjauh dari gue karena kasus kakak-kakak kita kan, Zar? Lo gak menjauh karena lo sebenernya udah tau kebenaran semuanya kan?”

“Kakak-kakak kita? Nama Cici bukan Stefany Liu, Nat.” bantah Tezar cepat. Mata Nata menyipit lalu tersenyum miring, “So.. it really is your sister ya.. Katanya lo gatau apa-apa soal beritanya? Lo gaperlu kayak gini ke gue, Zar… What’s happened in the past, stay in the past. I’m more than ready to face the truth. Kalau memang ternyata.. Kak Louis dibunuh sama.. keluarga kalian.. I’ll ask you once again, Zar. Lo beneran ngejauhin gue karena kasus kakak-kakak kita?” Suara Nata terdengar getir, terbata, dan tercekat. Tezar dengan cepat mengatupkan bibirnya. Untuk pertama kalinya, ia melakukan kesalahan bodoh yang amat sangat memengaruhi seluruhnya. Sesuatu yang mati-matian ia tutupi beberapa waktu terakhir kala ia akhirnya menyadari cici nya memiliki hubungan dengan Louis Rutherford di masa lampau.

Sunset, Nat.” Tezar menujuk ke arah horizon barat yang menampilkan semburat jingga menyala. Awalnya, Nata sudah ingin protes karena pemuda itu sungguh mengalihkan pembicaraan mendadak, namun pemandangan yang begitu cantik di depan mata sungguh sayang untuk dilewatkan. Tezar kembali tenggelam dalam lautan pikirannya. Nata sekilas melihat betapa khidmatnya Tezar di sampingnya.

Gadis tersebut akhirnya memilih membiarkan Tezar lebih dahulu. Membiarkan kedamaian membersamai karena pemuda itu tampak sangat putus asa untuk dapat merasakannya. Mereka berada dalam posisi yang sama, dalam senyap yang sama selama kurang lebih 15 menit hingga akhirnya matahari sempurna tenggelam dan menyisakan keremangan lampu di sekitar mereka.

Lagi, Tezar mencoba mengambil langkah tanpa peringatan. Memang mau kabur. Dengan cekatan, Nata kembali menahan lengan Tezar. “You haven’t answer any questions from me.”

Can you please let me go, Nat?” Suara parau itu membuat Nata terkejut. Cengkramannya pada lengan Tezar mengendur, ia menatap mantan kekasihnya itu dengan kebingungan. Permintaan Tezar terdengar bukan hanya sesimpel meminta Nata melepaskan genggamannya dari lengan Tezar. Terdengar lebih dari itu. Seolah Nata harus merelakan Tezar seutuhnya. Seolah Nata tidak bisa bertemu pemuda itu sampai kapanpun lagi.

“Mau kemana?” bisik Nata, suaranya bergetar karena kini beribu emosi mulai menguasai relung batinnya. Perasaan yang tak dapat disampaikan kepada targetnya, membuat dada Nata sesak. “Pergi.” jawab Tezar pelan. Perlahan, jemari Tezar melepas cengkraman Nata pada lengannya. “Gue harus bisa biasa tanpa kehadiran lo, Nat.”

Pupil Nata bergetar, maksudnya Tezar ngomong gini tuh apa sebenernya?

And you also have to do so.” lanjut Tezar. Pemuda itu mendekatkan wajah mereka berdua, menatap lekat dan dalam pada manik mata Nata, “Get it?” tanyanya memastikan lagi karena sedari tadi, Nata hanya dapat mematung. Menatap Tezar penuh dengan tanda tanya dan kecamuk emosi yang tergambar lewat kilat mata. “In this chapter of life, we’re not meant to be. But I do hope, we can bound in love again if the time is right ya, Nat? Take care,” Nada rendah di akhir kalimat kemudian disusul dengan bekas hangat di pipi kanan Nata.

We have to go. Bentar lagi jadwal makan malam. We have to part ways. Bye, Nat.”

Tezar dengan cepat melangkahkan kakinya menjauh dari Nata, meninggalkan gadis itu yang terlongong seraya mengusap pipi kanannya. Terlalu banyak tanda tanya dalam benak. Nata sungguh tidak bisa menerjemahkan perasaan apapun yang sedang hinggap dalam batinnya. Semuanya terjadi begitu cepat. Seolah tak pernah nyata.

Why does it feel like an absolute farewell? As if I can’t see him again?, Nata menatap nanar ke arah Tezar karena kini dirinya luluh lantak, berkeping-keping. Hingga rasanya tidak sanggup untuk menjadi utuh kembali.

Air matanya mengalir deras tanpa dapat ditahan. Dadanya sungguh sesak hingga rasanya akan meledak. Nata terhuyung sendiri hingga akhirnya memilih menumpukan diri pada pagar pembatas yang ada di sisinya. Isakannya pelan namun memilukan bagi yang dapat mendengarnya dengan baik.

Sebuah tepukan lembut terasa mendarat di atas puncak kepala Nata, sontak membuat Nata mendongak. Gadis itu terkesiap kala melihat satu sosok yang beberapa waktu belakangan tak pernah ia temui. “Kak Noah?” bisik Nata pelan, heran. Noah mengelus puncak kepala Nata, “He has his own reasons, Nat. Believe in him. He doesn’t want to hurt you furthermore.” ucap Noah, menjelaskan. Nata seketika paham kenapa Noah ada disini.

He sent you?”

Noah mengangguk, “To make sure you’re alright after he left.”

He already planned it.. Wah.. gelar jenius dia beneran gak sia-sia.” Nata sungguh tidak habis pikir sekaligus masih terkagum dan terheran. Rumor Tezar seolah dapat memprediksi masa depan sungguh tepat. Bagaimana bisa Tezar sudah memperkirakan jika Nata sungguh akan bertemu dengannya dan menghampirinya hari ini?

Mata Nata kembali memanas setelah tadi tangisnya sempat terhenti. Kepalanya langsung terkulai lemas, ingin menyembunyikan jejak air matanya lagi. Elusan di puncak kepala Nata belum terhenti sedari tadi. Hanya itu yang bisa Noah lakukan sekarang walaupun rasanya ia ingin sekali menarik gadis di hadapannya ke dalam dekapannya.

“Puasin dulu aja nangisnya, Nat. If that’s what you need to feel better. Aku yang anter kamu ke hotel nanti.”

Akhirnya, sepanjang malam penuh suara deburan ombak, Nata memilih untuk menghabiskan rasa sedihnya dan membiarkan Noah untuk menemaninya walau hanya dalam sepi di antara mereka berdua.

--

--

aurevoiruna
aurevoiruna

Written by aurevoiruna

kindly check my writings at twitter @aurevoiruna

No responses yet